Featured Post
Pendidikan Kepada Anak, Pertanggung Jawaban Kepada Tuhan/ Mazmur 127:3-5 (Pekan Penatalayanan Kedua)
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Photo by Vince Fleming on Unsplash |
Salah satu penyakit
yang melanda masyarakat Indonesia saat ini ialah sibuk dengan urusannya
sendiri. Dampak semua ini telah sering disaksikan dan terpapar di berbagai
media, baik cetak maupun elektronik; dan getarannya di dunia pendidikan telah
pula dirasakan. Contoh kasus seperti anak kurang menghargai guru atau orang
tuanya, degradasi moral, tidak ada perhatian terhadap pelajaran, sering
menggunakan bahasa yang kurang etis, gemar berbohong, malas, dan lain-lain
kerap dialamatkan sebagai dampak buruk dunia pendidikan; dan, dengan demikian,
perlu koreksi sekaligus solusi. Dalam kondisi semacam itu maka sering kaum
mudalah yang dituduh tidak tahu diri. Mareka dijadikan kambing hitam semua ini.
Padahal kalau dikembalikan pada makna pendidikan dalam arti yang sangat luas,
bukan mustahil semua itu merupakan akibat pandidikan umum (masyarakat) yang
salah dan tidak disadari. Semua itu merupakan hasil dari suatu proses yang
panjang dan kompleks.
Berbicara soal proses
yang Panjang dan kompleks, berbicara juga soal pendidikan orang tua atau
keluarga. Dalam kaitannya dengan kondisi masyarakat pada umumnya, bagaimana
sebenarnya proses pendidikan keluarga saat ini berlangsung? Kemudian, bagaimana
seharusnya? Sarana macam apa yang biasa digunakan oleh nenek-moyang pada masa
lampau? Apakah mungkin tradisi nenek-moyang itu dikembangkan dalam kaitannya
dengan pendidikan keluarga?
Budaya Bali sangat
mengutamakan pewarisan nilai-nilai hidup. Apa yang dianggap perbuatan luhur
dalam masyarakat Bali? Menggali sumur. Tetapi menggali serratus sumur masih
kalah luhur dari membuat empang yang bisa dimanfaatkan seluruh penduduk desa.
Tetapi… membuat serratus empang masih kalah luhur dari yadnya, yaitu
melakukan persembahan bagi Sang Hyang Widi Wasa. Tetapi … melakukan serratus yadnya
masih kalah luhur dari mendidik seorang nak menjadi suputra (= anak yang
berkelakukan baik). Itulah perbuatan paling luhur dari segala perbuatan luhu:
mewariskan sifat baik kepada anak.
Sejalan dengan refleksi
ktia hari ini, kita diingatkan untuk
memperlakukan anak -anak sedini mungkin seperti layaknya sebuah anak panah di
tangan seorang pahlawan!. Ditangan pahlawan sebuah anak panah adalah kehidupan!
Ia bisa sebagai alat pertahanan, ia bisa membunuh lawan, ia bisa dipakai
berburu untuk mencari makanan. Apabila pola pikir dan cara pandang kita
terhadap anak-anak kita seperti ini maka cara kita memperlakukan anak-anak kita
akan sangat berbeda.
Ada sebuah kalimat
menarik dalam buku The Old Man and the SEA karangan Ernest Hemingway.
Bunyinya: The old man had taught the boy to fish and the boy loved him” (Bapak
tua itu telah mengajarkan cara mengail ikan kepada si bocah dan sibocah mencintai
dia). Bapak tua itu telah mengajarkan mengail kepada si bocah. Ia memang tidak
memberi ikan, Ia pun tidak mewariskan kail. Ia meninggal dalam kemiskinannya. Si
Bocah tidak menerima warisan apapun juga. Namun, ia telah mengajarkan cara
hidup. Si bocah telah dilimpah hikmah oleh Bapak tua itu.
Dari kesemua cerita ini, tidak
lagi pantas untuk kita hanya menyalahkan situasi dan kondisi saat ini, terlebih
menjadikan anak-anak kita sebagai kambing hitam. Justru, sangat lebih baik bila
orangtua menyadari pentingnya memenuhi anak-anak dengan pengetahuan, pendidikan
dan pengenalan akan Tuhan yang baik dan benar sebagai bagian tanggung jawab
yang harus dilakukan kepada Allah. Cukup!
Komentar