Featured Post

Pekan Doa 2024 Berngi 2.

Gambar
Thema     : Kuinget Kam Ibas Pertotonku Nas : Pilemon 1 : 4 - 7 Nas Renungen  Rusur kukataken bujur man Dibatangku tep-tep kali kam kuinget i bas pertotonku. Sabap nggo kubegi kerna kekelengenndu man anak-anak Dibata ras kiniteken si lit i bas kam nandangi Tuhan Jesus. Ertoto aku gelah arah persadanta kalak si erkiniteken mabai kita ku pengertin si terbagesen kerna kerina pemere si ialoken kita i bas kegeluhenta erkiteken persadanta ras Kristus. O seninangku si kukelengi,  kekelengenndu e erbahanca ateku malem dingen mpegegehi aku! Kerina anak-anak Dibata nggo ermeriah ukur ibahanndu Fakta dan Makna  1. Sabap Enggo Kubegi Kerna kekelengendu man anak anak Dibata ras kiniteken si lit ibas kam Salah sada ke biasaan kalak si tek man Dibata emekap kekelengenna nandangi anak anak Dibata.  Enda me siidah Paulus bas diri Pilemon.  Emaka alu kalimat komunikasi s transparan i peseh Paulus hal enda man Pilemon secara langsung. Kalak singet muji pelayanan kalak si deban, labo erkiteken atena pes

Penataan Adat / Matius 15:1-9 (Pekan Penatalayanan Keenam)

 

AGM Galeri

Apakah memang, adat-istiadat / kebudayaan itu bertentangan dengan Injil?

Injil berasal dari Allah. Sedangkan kebudayaan bersumber dari idea atau gagasan, tindakan dan karya cipta manusia. Karena budaya berasal dari manusia maka budaya sangat beraneka-ragam dan bahkan bertentangan antara satu budaya dengan budaya lainnya (Contoh: adat kawin di suku Batak berbeda dengan adat kawin di suku Nias, walau sama-sama di Sumatra dan berdekatan). Tetapi Injil itu satu dan berasal dari satu Allah. Injil tidak mungkin bertentangan. Pertentangan antara Injil terjadi karena manusia mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam memahami Injil itu. Budaya bisa beraneka ragam, karena itu budaya tidak boleh menerangi Injil. Injil yang harus menerangi budaya.

Dalam pelayanan dan pengajaran dari Tuhan Yesus, seringkali juga menggunakan pendekatan dari adat-istiadat. Misalnya, ketika Tuhan Yesus mencuci kaki para murid. Pada awalnya mencuci kaki ini adalah adat-istiadat yang berlaku bahwa ketika masuk ke suatu rumah harus terlebih dahulu mencuci kaki. Dan tugas yang mencuci kaki itu adalah tugas seorang hamba. Makan bersama tidak akan mungkin dilakukan jika pencucian kaki tidak dilaksanakan. Tuhan Yesus menggunakan kebiasaan ini untuk mengajarkan hal kerendahan hati, di dalam saling melayani. Yesus lahir dan dibesarkan oleh orang tua yang memegang teguh kebudayaan Yahudi. Yesus sendiri dibesarkan dan mati dalam tradisi Yahudi. Ia disunat seperti anak-anak orang Yahudi lainnya (Luk 1:23). Ia juga hadir di pesta kawin yang menggunkaan adat-istiadat / kebudayaan Yahudi (Yoh 2:1-11). Ketika Yesus mati dan dikubur, mereka mengapani dan merempahi mayat Yesus menurut adat orang Yahudi (Yoh 19:40).

Dalam hal ini jelas bahwa Tuhan Yesus tidak menentang adat-istiadat / kebudayaan yang ada dan berlaku pada waktu itu. Tetapi, ada juga dalam tindakan-tindakan Tuhan Yesus sepertinya menentang adat-istiadat/budaya yang berlaku pada waktu itu. Misalnya, dalam Injil Matius 15:1–9.

Kemudian datanglah beberapa orang Farisi dan ahli Taurat dari Yerusalem kepada Yesus dan berkata: "Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan." Tetapi jawab Yesus kepada mereka: "Mengapa kamu pun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu? Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati. Tetapi kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah, orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri. Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.

Sekali lagi saya katakan, manusia tidak bisa hidup terbebas dari budaya/adat-istiadat. Lalu bagaimana manusia bersikap menghadapi budaya/adat-istiadat tersebut, agar kehadirannya sungguh-sungguh memberikan nilai kehidupan yang berarti bagi manusia itu?

Richard Niebuhr dalam bukunya Christ and Culture mengungkapkan lima pendekatan antara kebudayaan dan Kristus namun perhatikan, kelima pendekatan ini tidak dapat dikatakan benar secara keseluruhan, yakni:

1. Christ against culture

Kristus menghancurkan seluruh kebudayaan yang ada di dunia karena semua kebudayaan dipandang salah dan jahat. Hal ini tidaklah tepat sebab dalam banyak aspek, Kristus tetap berada dalam budaya, Kristus tetap menjalankan budaya Yahudi. Kritus melawan budaya ini seolah-olah menjadikan Kristus tinggi dan Kekristenan agung. Pandangan-pandangan radikal seperti ini akhirnya membuat Kekristenan tidak bisa lagi hidup di tengah dunia. Orang yang memegang prinsip ini, biasanya akan tersingkir dan Kristus menjadi kalah. Mereka membentuk kebudayaan sendiri, kelompok tersendiri dan hidup tersendiri. Mereka menganggap kebudayaan itu sebagai kebudayaan Kristus tetapi sesungguhnya, kebudayaan itu tidak ubahnya dengan budaya dunia yang membedakan kebudayaan mereka tidak cocok dengan kebudayaan dunia. Perhatikan, Alkitab tidak pernah mengajarkan kita untuk melawan dan menjadi anti budaya.

2. Christ of Culture

Budaya harus diisi dengan hal-hal yang berbau Kekristenan dengan demikian kebudayaan itu menjadi milik Kristus sekarang. Konsep inilah yang hari ini banyak dipakai. Orang menganggap cara ini merupakan suatu kerjasama dimana kita tidak menghancurkan budaya tetapi kita menggunakan semua budaya yang ada dengan demikian budaya yang tadinya budaya setan kini menjadi budaya Kristus. Adalah kesalahan fatal, banyak orang yang menganggap budaya itu sifatnya netral maka tergantung dari siapa yang memakainya. Budaya itu akan menjadi milik setan kalau setan yang memakainya maka budaya itu menjadi the culture of satan, atau kalau manusia yang menggunakannya akan menjadi the culture of human being, dan kalau Kristus yang memakai budaya akan menjadi the culture of Christ. Sebagai contoh, banyak musik duniawi yang diberi tambahan ayat alkitab langsung dikatakan sebagai budaya Kristus. Demikian pula halnya dengan cara berpakaian, orang menganggap sudah menjadi budaya Kristus kalau sudah memberinya dengan aksesori atau atribut ”rohani.” Orang Yahudi juga melakukan hal yang sama, budaya duniawi yang mereka pandang baik lalu dilabel dengan agama maka mereka sudah menganggapnya sebagai agama. Hari inipun masih banyak orang yang tidak mengerti apa itu agama, mereka hanya memakai adat istiadat yang diberi label agama tertentu dan menganggapnya sebagai budaya. Dalam hal ini budaya itu lebih besar sedang Kristus hanya mengikut di dalamnya.

3. Christ above Culture

Konsep ini hendak melengkapi konsep kedua namun justru menjadikan budaya itu aneh; Kristus seolah-olah hanya hidup dalam satu kultur tertentu yang mengatasi semua kultur. Islam menjadikan

kultur Timur Tengah sebagai suatu kultur agama sehingga cara berpakaian, cara makan, dan lain-lain harus mengikuti satu kultur tersebut. Dalam kondisi budaya seperti demikian maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah budaya ini merupakan budaya yang boleh diberi label tertentu lalu dibawa ke semua tempat? Seberapa jauhkah relatifitas suatu daerah dalam budaya? Demikian halnya dengan kultur barat yang membawa Kekristenan masuk ke Indonesia membawa dampak besar. Kultur Eropa itu dianggap sebagai kultur Kristen. Dampak itu tidak hanya pada cara hidup saja tetapi juga jiwa kolonialisme itu mempengaruhi pemikiran orang-orang di Asia. Ketika orang-orang Eropa datang ke Asia. Dalam bagian ini, Kristus membangun suatu kultur yang sifatnya kaku dan spesifik yang dan semua kultur yang ada harus mengikut pada satu kultur ini. Tidak!

4. Christ and Culture in Paradox

Budaya hidup berada dalam dua dunia – Kristus punya kultur tersendiri dan dunia juga punya kultur tersendiri, kedua kultur ini berjalan secara bersamaan dimana keduanya tidak saling menganggu dan tidak saling meniadakan. Pandangan inilah yang diajarkan oleh kaum posmodern. Konsep ini menjadikan orang Kristen hidup dalam dua dunia. Ketika orang berada di dalam gereja maka ia harus langsung menyesuaikan diri dengan kultur yang dianggap sebagai kultur Kristen, orang harus berlaku sopan, jujur namun ketika berada di luar lingkungan gereja maka orang boleh liar dan berbuat sesuka hati layaknya dunia. Konsep ini dianggap relevan di abad 20 ini namun Kekristenan tidak setuju akan pandangan ini.

5. Christ Transform Culture

Dari kelima konsep yang diungkapkan oleh Niebuhr maka konsep kelima ini yang paling banyak diingat oleh orang. Kristus mentransform kultur artinya bahwa kultur itu tidak salah cuma kultur itu perlu ditransformasi. Pertanyaannya benarkah kultur bisa dirubah? Atau lebih tepatnya, Christ redeem the culture – Kristus menebus budaya berarti ada nilai yang harus dibayar. Hal ini yang lebih tepat dalam mandat budaya. Theologi Reformed umumnya, secara posisi mengikut konsep ini, yakni Christ transforming culture, Kristus mengisi kembali budaya yang sudah ada untuk dikembalikan pada apa yang seharusnya. Ada beberapa prinsip penting yang harus diperhatikan ketika mentransform, yakni: kita harus tahu mana yang harus dan mana yang tidak, mana yang mutlak dan mana yang relatif. Sesuatu yang harus dirubah maka harus dirubah – perubahan ini sifatnya esensial tetapi ada bagian-bagian tertentu yang relatif harus berproses seiring dengan berjalannya waktu. Kita harus peka ketika kita masuk dalam suatu budaya, kita tidak perlu merubah budaya yang ada sepanjang budaya itu baik dan agung.

Jadi kita kemana? “Dialog Intra-Religius” (Baca Selengkapnya… https://www.katmospir.com/2020/12/gereja-batak-karo-protestan-yang.html)

Tujuan dialog intrareligius yang berpusat pada batin atau hati (bahkan keheningan) adalah pemahaman, atau lebih tepatnya pengakuan dan penerimaan akan realitas plural. Bukan untuk menonjolkan superioritas, atau mencapai universalitas atau teologi universal, melainkan komunikasi dan dialog yang menjembatani jurang tradisi masing-masing dengan bahasa masing-masing. Dialog bukan bertujuan untuk keseragaman atau reduksi perbedaan, melainkan penemuan eksistensi yang sebenarnya (otentik) dari pribadi-pribadi yang beragama.[1] Karenanya, menurut Panikkar dialog yang sehat adalah dialog yang saling menyuburkan (inter-fertilisasi/Perichoresis), dalam gerak saling memberi dan menerima.[2] Oleh karena itu, menurut Panikkar, dialog yang sehat harus mengandung delapan (8) prinsip dasar, yaitu: Bebas dari apologia khusus (tidak percaya kepada patner dialog atau ingin menobatkannya); Bebas dari apologia umum (tidak percaya pada kebenaran agama patner); Berani menghadapi tantangan pertobatan; Dimensi historis penting namun tidak mencukupi (harus diimbangi dengan perkembangan modern: penerimaan dimensi intuisi); Bukan sekadar kongres Filsafat; Bukan sekadar simposium teologis; Bukan sekadar ambisi pemuka Agama; dan Perjumpaan Agama itu berlangsung dalam Iman, Pengharapan dan Kasih. Menurut Panikkar, pada tataran praktis dialog seharusnya: mengandaikan persiapan diri, mengandaikan kepercayaan, dan kemampuan memilah masalah.[3]

.

Kekristenan hadir di dunia dan berhadapan dengan sesuatu yang tidak kosong. Kekristenan hadir dalam masyarakat yang memiliki tata bicara, adat, iman dan kepercayaan yang dipengaruhi oleh Agama Kepercayaan. Sehingga, Kekristenan tidak boleh menepis kenyataan tersebut dan menganggap bahwa hal itu konyol atau bodoh; sikap yang demikian ini hanya mencirikan kesombongan iman. Suatu kebajikan keliru yang disebabkan oleh pemahaman keliru, terdistorsi oleh penangkapan kesan yang salah. Karena realitanya, kehidupan keagamaan berlangsung secara simbolis, dengan berbagai hal yang fana bertindak sebagai representasi simbolis atau saluran-saluran dari yang ilahi bagi Gereja ataupun pada Agama Masyarakat juga. Kita selalu memilih apa yang menurut kita baik, meskipun kita mungkin bisa keliru. Untuk itu, baiklah bila Kekristen dan Agama Kepercayaan  dapat membangun relasi dan berjalan seiringan untuk memberikan warna dalam Kekristen. Sebab hanya dengan relasi yang baik pula, Kekristenan dan Agama Kepercayaan  dapat saling memperkaya dan tetap hidup.



[1] Panikkar, Raimundo, Dialog Intra Religius, hal. 33-34

[2] Simon, Jhon C, Merayakan Sang Liyan, hal. 169

[3] Panikkar, Raimundo, Dialog Intra Religius, hal. 64-77

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indah Pada Waktunya / Pengkhotbah 3:11-15 ( Pekan Penatalayanan Hari Keempat)

Catatan Tambahan PJJ 1 – 7 Oktober 2023

Catatan Tambahan PJJ 27 Agustus – 2 September 2023