Featured Post
Penataan Adat / Matius 15:1-9 (Pekan Penatalayanan Keenam)
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
AGM Galeri |
Apakah memang,
adat-istiadat / kebudayaan itu bertentangan dengan Injil?
Injil berasal dari
Allah. Sedangkan kebudayaan bersumber dari idea atau gagasan, tindakan dan
karya cipta manusia. Karena budaya berasal dari manusia maka budaya sangat
beraneka-ragam dan bahkan bertentangan antara satu budaya dengan budaya lainnya
(Contoh: adat kawin di suku Batak berbeda dengan adat kawin di suku Nias, walau
sama-sama di Sumatra dan berdekatan). Tetapi Injil itu satu dan berasal dari
satu Allah. Injil tidak mungkin bertentangan. Pertentangan antara Injil terjadi
karena manusia mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam memahami Injil itu.
Budaya bisa beraneka ragam, karena itu budaya tidak boleh menerangi Injil.
Injil yang harus menerangi budaya.
Dalam pelayanan dan
pengajaran dari Tuhan Yesus, seringkali juga menggunakan pendekatan dari
adat-istiadat. Misalnya, ketika Tuhan Yesus mencuci kaki para murid. Pada
awalnya mencuci kaki ini adalah adat-istiadat yang berlaku bahwa ketika masuk
ke suatu rumah harus terlebih dahulu mencuci kaki. Dan tugas yang mencuci kaki
itu adalah tugas seorang hamba. Makan bersama tidak akan mungkin dilakukan jika
pencucian kaki tidak dilaksanakan. Tuhan Yesus menggunakan kebiasaan ini untuk
mengajarkan hal kerendahan hati, di dalam saling melayani. Yesus lahir dan
dibesarkan oleh orang tua yang memegang teguh kebudayaan Yahudi. Yesus sendiri
dibesarkan dan mati dalam tradisi Yahudi. Ia disunat seperti anak-anak orang
Yahudi lainnya (Luk 1:23). Ia juga hadir di pesta kawin yang menggunkaan
adat-istiadat / kebudayaan Yahudi (Yoh 2:1-11). Ketika Yesus mati dan dikubur,
mereka mengapani dan merempahi mayat Yesus menurut adat orang Yahudi (Yoh
19:40).
Dalam hal ini jelas
bahwa Tuhan Yesus tidak menentang adat-istiadat / kebudayaan yang ada dan
berlaku pada waktu itu. Tetapi, ada juga dalam tindakan-tindakan Tuhan Yesus
sepertinya menentang adat-istiadat/budaya yang berlaku pada waktu itu.
Misalnya, dalam Injil Matius 15:1–9.
Kemudian datanglah
beberapa orang Farisi dan ahli Taurat dari Yerusalem kepada Yesus dan berkata:
"Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka
tidak membasuh tangan sebelum makan." Tetapi jawab Yesus kepada mereka:
"Mengapa kamu pun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek
moyangmu? Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa
yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati. Tetapi kamu berkata:
Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang
dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada
Allah, orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya. Dengan
demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri.
Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu: Bangsa ini
memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma
mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah
manusia.
Sekali lagi saya
katakan, manusia tidak bisa hidup terbebas dari budaya/adat-istiadat. Lalu
bagaimana manusia bersikap menghadapi budaya/adat-istiadat tersebut, agar
kehadirannya sungguh-sungguh memberikan nilai kehidupan yang berarti bagi
manusia itu?
Richard Niebuhr dalam
bukunya Christ and Culture mengungkapkan lima pendekatan antara kebudayaan dan
Kristus namun perhatikan, kelima pendekatan ini tidak dapat dikatakan benar
secara keseluruhan, yakni:
1. Christ against
culture
Kristus menghancurkan
seluruh kebudayaan yang ada di dunia karena semua kebudayaan dipandang salah
dan jahat. Hal ini tidaklah tepat sebab dalam banyak aspek, Kristus tetap
berada dalam budaya, Kristus tetap menjalankan budaya Yahudi. Kritus melawan
budaya ini seolah-olah menjadikan Kristus tinggi dan Kekristenan agung.
Pandangan-pandangan radikal seperti ini akhirnya membuat Kekristenan tidak bisa
lagi hidup di tengah dunia. Orang yang memegang prinsip ini, biasanya akan
tersingkir dan Kristus menjadi kalah. Mereka membentuk kebudayaan sendiri,
kelompok tersendiri dan hidup tersendiri. Mereka menganggap kebudayaan itu
sebagai kebudayaan Kristus tetapi sesungguhnya, kebudayaan itu tidak ubahnya
dengan budaya dunia yang membedakan kebudayaan mereka tidak cocok dengan
kebudayaan dunia. Perhatikan, Alkitab tidak pernah mengajarkan kita untuk
melawan dan menjadi anti budaya.
2. Christ of Culture
Budaya harus diisi
dengan hal-hal yang berbau Kekristenan dengan demikian kebudayaan itu menjadi
milik Kristus sekarang. Konsep inilah yang hari ini banyak dipakai. Orang
menganggap cara ini merupakan suatu kerjasama dimana kita tidak menghancurkan
budaya tetapi kita menggunakan semua budaya yang ada dengan demikian budaya
yang tadinya budaya setan kini menjadi budaya Kristus. Adalah kesalahan fatal,
banyak orang yang menganggap budaya itu sifatnya netral maka tergantung dari
siapa yang memakainya. Budaya itu akan menjadi milik setan kalau setan yang
memakainya maka budaya itu menjadi the culture of satan, atau kalau manusia
yang menggunakannya akan menjadi the culture of human being, dan kalau Kristus
yang memakai budaya akan menjadi the culture of Christ. Sebagai contoh, banyak
musik duniawi yang diberi tambahan ayat alkitab langsung dikatakan sebagai
budaya Kristus. Demikian pula halnya dengan cara berpakaian, orang menganggap
sudah menjadi budaya Kristus kalau sudah memberinya dengan aksesori atau
atribut ”rohani.” Orang Yahudi juga melakukan hal yang sama, budaya duniawi
yang mereka pandang baik lalu dilabel dengan agama maka mereka sudah
menganggapnya sebagai agama. Hari inipun masih banyak orang yang tidak mengerti
apa itu agama, mereka hanya memakai adat istiadat yang diberi label agama
tertentu dan menganggapnya sebagai budaya. Dalam hal ini budaya itu lebih besar
sedang Kristus hanya mengikut di dalamnya.
3. Christ above Culture
Konsep ini hendak
melengkapi konsep kedua namun justru menjadikan budaya itu aneh; Kristus
seolah-olah hanya hidup dalam satu kultur tertentu yang mengatasi semua kultur.
Islam menjadikan
kultur Timur Tengah
sebagai suatu kultur agama sehingga cara berpakaian, cara makan, dan lain-lain
harus mengikuti satu kultur tersebut. Dalam kondisi budaya seperti demikian
maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah budaya ini merupakan budaya yang
boleh diberi label tertentu lalu dibawa ke semua tempat? Seberapa jauhkah
relatifitas suatu daerah dalam budaya? Demikian halnya dengan kultur barat yang
membawa Kekristenan masuk ke Indonesia membawa dampak besar. Kultur Eropa itu
dianggap sebagai kultur Kristen. Dampak itu tidak hanya pada cara hidup saja
tetapi juga jiwa kolonialisme itu mempengaruhi pemikiran orang-orang di Asia.
Ketika orang-orang Eropa datang ke Asia. Dalam bagian ini, Kristus membangun
suatu kultur yang sifatnya kaku dan spesifik yang dan semua kultur yang ada
harus mengikut pada satu kultur ini. Tidak!
4. Christ and Culture
in Paradox
Budaya hidup berada
dalam dua dunia – Kristus punya kultur tersendiri dan dunia juga punya kultur
tersendiri, kedua kultur ini berjalan secara bersamaan dimana keduanya tidak
saling menganggu dan tidak saling meniadakan. Pandangan inilah yang diajarkan
oleh kaum posmodern. Konsep ini menjadikan orang Kristen hidup dalam dua dunia.
Ketika orang berada di dalam gereja maka ia harus langsung menyesuaikan diri
dengan kultur yang dianggap sebagai kultur Kristen, orang harus berlaku sopan,
jujur namun ketika berada di luar lingkungan gereja maka orang boleh liar dan
berbuat sesuka hati layaknya dunia. Konsep ini dianggap relevan di abad 20 ini
namun Kekristenan tidak setuju akan pandangan ini.
5. Christ Transform
Culture
Dari kelima konsep yang
diungkapkan oleh Niebuhr maka konsep kelima ini yang paling banyak diingat oleh
orang. Kristus mentransform kultur artinya bahwa kultur itu tidak salah cuma
kultur itu perlu ditransformasi. Pertanyaannya benarkah kultur bisa dirubah?
Atau lebih tepatnya, Christ redeem the culture – Kristus menebus budaya berarti
ada nilai yang harus dibayar. Hal ini yang lebih tepat dalam mandat budaya.
Theologi Reformed umumnya, secara posisi mengikut konsep ini, yakni Christ
transforming culture, Kristus mengisi kembali budaya yang sudah ada untuk
dikembalikan pada apa yang seharusnya. Ada beberapa prinsip penting yang harus
diperhatikan ketika mentransform, yakni: kita harus tahu mana yang harus dan
mana yang tidak, mana yang mutlak dan mana yang relatif. Sesuatu yang harus
dirubah maka harus dirubah – perubahan ini sifatnya esensial tetapi ada
bagian-bagian tertentu yang relatif harus berproses seiring dengan berjalannya
waktu. Kita harus peka ketika kita masuk dalam suatu budaya, kita tidak perlu
merubah budaya yang ada sepanjang budaya itu baik dan agung.
Jadi kita kemana? “Dialog Intra-Religius” (Baca
Selengkapnya… https://www.katmospir.com/2020/12/gereja-batak-karo-protestan-yang.html)
Tujuan dialog intrareligius yang berpusat pada batin
atau hati (bahkan keheningan) adalah pemahaman, atau lebih tepatnya pengakuan
dan penerimaan akan realitas plural. Bukan untuk menonjolkan superioritas, atau
mencapai universalitas atau teologi universal, melainkan komunikasi dan dialog
yang menjembatani jurang tradisi masing-masing dengan bahasa masing-masing.
Dialog bukan bertujuan untuk keseragaman atau reduksi perbedaan, melainkan
penemuan eksistensi yang sebenarnya (otentik) dari pribadi-pribadi yang
beragama.[1]
Karenanya, menurut Panikkar dialog yang sehat adalah dialog yang saling
menyuburkan (inter-fertilisasi/Perichoresis),
dalam gerak saling memberi dan menerima.[2]
Oleh karena itu, menurut Panikkar, dialog yang sehat harus mengandung delapan
(8) prinsip dasar, yaitu: Bebas dari apologia khusus (tidak percaya kepada
patner dialog atau ingin menobatkannya); Bebas dari apologia umum (tidak
percaya pada kebenaran agama patner); Berani menghadapi tantangan pertobatan;
Dimensi historis penting namun tidak mencukupi (harus diimbangi dengan
perkembangan modern: penerimaan dimensi intuisi); Bukan sekadar kongres
Filsafat; Bukan sekadar simposium teologis; Bukan sekadar ambisi pemuka Agama;
dan Perjumpaan Agama itu berlangsung dalam Iman, Pengharapan dan Kasih. Menurut
Panikkar, pada tataran praktis dialog seharusnya: mengandaikan persiapan diri,
mengandaikan kepercayaan, dan kemampuan memilah masalah.[3]
.
Kekristenan hadir di
dunia dan berhadapan dengan sesuatu yang tidak kosong. Kekristenan hadir dalam
masyarakat yang memiliki tata bicara, adat, iman dan kepercayaan yang
dipengaruhi oleh Agama Kepercayaan. Sehingga, Kekristenan tidak boleh menepis
kenyataan tersebut dan menganggap bahwa hal itu konyol atau bodoh; sikap yang
demikian ini hanya mencirikan kesombongan iman. Suatu kebajikan keliru yang
disebabkan oleh pemahaman keliru, terdistorsi oleh penangkapan kesan yang
salah. Karena realitanya, kehidupan keagamaan berlangsung secara simbolis, dengan
berbagai hal yang fana bertindak sebagai representasi simbolis atau
saluran-saluran dari yang ilahi bagi Gereja ataupun pada Agama Masyarakat juga.
Kita selalu memilih apa yang menurut kita baik, meskipun kita mungkin bisa
keliru. Untuk itu, baiklah bila Kekristen dan Agama Kepercayaan dapat membangun relasi dan berjalan seiringan
untuk memberikan warna dalam Kekristen. Sebab hanya dengan relasi yang baik
pula, Kekristenan dan Agama Kepercayaan dapat saling memperkaya dan tetap hidup.
Komentar