Featured Post
Ajarlah Mereka Menjadi Remaja Kristen yang Pengasih
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Instagram @aronginting_ |
Seorang remaja di abad ke 20 menurut Wibowo mengalami terlalu banyak tuntutan dan
tekanan yang luar biasa. Pelajaran dan kurikulum yang sangat menekan mereka,
ditambah dengan tuntutan orang tua juga kepada remaja, menambah daftar beban
remaja.[1]
Wibowo dalam
artikelnya yang berjudul Ajarlah Mereka
Mengasihi mengajak pembaca-pembacanya untuk mengajarkan kepada remaja
tentang rasa cinta-kasih. Ia menggunakan kata cinta-kasih, karena baginya,
cakupannya jauh lebih luas dibanding cinta dan kasih saja. Baginya kasih,
adalah tindakan balasan yang didorong oleh rasa syukur kepada Tuhan. Tindakan
mencinta adalah tindakan yang didorong oleh kesadaran bahwa orang yang cinta
memang berhak menerima balasan cinta. Sedangkan cinta-kasih ini jauh lebih luas
dan dari cinta-kasih inilah yang menjadi dasar teori Budiono untuk mengajarkan
seorang remaja mengasihi.[2]
Tulisan ini,
seluruhnya merupakan hasil review saya atas dua tulisan Wibowo yang berjudul
“Ajarlah Mereka Mengasihi” dan “Gereja Mendampingi Remaja”, yang dengan harapan
bisa membawa Gereja untuk mau mengenali dan melihat remaja beserta beberapa
tanggapan saya juga terhadap tulisan Wibowo. Sehingga, dari tulisan ini juga
pembaca bukan hanya, mampu melihat dan mengenali dunia remaja, dengan harapan
juga bahwa pembaca dapat menghindarkan para remaja dari penyakit vertigo yang bisa saja terkena pada
remaja karena beban dan tekanan yang datang padanya terlalu berlebihan. Bukan
hanya itu juga, dari tulisan ini pembaca juga mampu mengajak mereka untuk
memiliki identitas dan integritas sebagai remaja yang mengasihi dengan
cinta-kasih.
Kebutuhan-Kebutuhan Remaja
Pada artikel
Wibowo yang berjudul “Ajarlah Mereka Mengasihi”, ia memberikan beberapa hal-hal
penting yang dibutuhkan remaja untuk menjadi seorang remaja yang mampu
mengasihi dengan cinta-kasih. Adapun hal-hal yang dibutuhkan oleh remaja
,sebagai berikut :
1.
Kebutuhan akan Harga Diri
yang Baik
Seorang remaja
membutuhkan sikap yang hangat dan penghargaan jujur terhadap dirinya,
terutama dari “orang-orang terpenting”nya. Tuntutan dan harapan orang-orang
terpenting hanya akan membuat gambaran Diri Ideal semakin tinggi dan sulit
dicapai. Untuk itu dalam proses pematangan remaja belajar menerima diri sendiri
dengan menempatkan Diri Ideal tidak jauh dari potensi dirinya. Pada proses
inilah menurut Budiono, perlu dibantu oleh orangtua, guru dan pembimbing dengan
memberikan tuntutan dan harapan yang realistik pada remajanya. Sebab tuntutan dan
harapan juga tetap perlu untuk mendorongnya mencapai prestasi yang memadai.[3]
2.
Kebutuhan untuk
Dimengerti, Dimaafkan dan Diterima
Penghayatan bahwa
ia dimengerti dan dimaafkan oleh Tuhan dan orang-orang “terpenting”nya,
memudahkan remaja mengerti dan memaafkan orang yang bersalah kepadanya.
Sebaliknya, tidak adanya pengertian dan penerimaan dan dukungan yang sedemikian
rupa dapat menyebabkan remaja merasa kesepian dan frustasi, lalu mengarah pada
berbagai sikap negatif seperti kenakalan remaja atau bunuh diri. Perasaan bahwa
dirinya dihakimi hanya akan membentuk watak yang suka menghakimi orang lain.[4]
3.
Kebutuhan untuk Berempati
Menurut Wibowo
yang remaja butuhkan adalah pengertian tentang berbagai motivasi manusia yang
menimbulkan ketidakadilan. Karena dengan demikian rasa empati mereka tidak
membawa pada sikap agresif tetapi dilengkapi dengan kebijakan dan pandangan
yang luas. [5]
4.
Kebutuhan Memiliki Sikap
Terbuka dan Inklusif
Pengajaran Agama
sering memberikan penekanan tentang “kebenaran” yang bersifat mutlak, tertutup
dan satu-satunya, sehingga menghasilkan sikap beragama yang tertutup dan
ekslusif. Hal-hal seperti ini, hanya
akan membentuk watak remaja yang tidak dapat melihat adanya kebenaran yang
berbeda dari kebenaran yang sudah diajarkan. Saya teringat tentang Perang Salib
Anak dan beberapa anggota dari ISIS yang ternyata memiliki banyak anggota yang
masih remaja atau pemuda. Tak salah lagi, inilah yang mungkin dimaksudkan
Wibowo. Baik Gereja, orangtua dan pembimbing haruslah mengajarkan mereka
tentang “budaya” kelompok yang bersikap terbuka, karena inilah yang dibuthkan
oleh remaja. Kegiatan-kegiatan yang berupa kerjasama dan perjumpaan antar
kelompok remaja yang dijauhkan dari suasana persaingan, sangat disarankan
Budiono dalam membantu para remaja memiliki sikap terbuka dan inklusif[6]
Gereja Mendampingi Remajanya
Selanjutnya
setelah membahas tentang hal-hal yang dibutuhkan seorang Remaja untuk menjadi
Remaja pengasih. Pada bagian ini, kita akan lihat tentang pengmatan Wibowo
terhadap Gereja yang mendampingi remajanya
Menurut
pengamatannya, secara peran dan kedudukan remaja dalam gereja, para pembimbing
gereja melihat remaja sebagai anak-anak yang sedang dipersiapkan untuk masa
depan mereka maupun untuk masa depan gereja. Secara tidak langsung, dari sudut
tujuan pendidikan, peran remaja sebagai naradidik yang sedang dipersiapkan
untuk masa depan, merupakan hal yang wajar. Namun Wibowo, mengingatkan kembali
bahwa hal demikian hanya membuat remaja sebagai objek, bukan subjek. Sehingga
hal ini membuat peran mereka tidak terlihat. Secara sederhana, saya berfikir
bahwa Wibowo ingin mengajak remaja bukan hanya sebagai objek, melainkan seperti
“pembimbing yang seharusnya” membimbing dengan menolong setiap remaja menemukan
dan mengembangkan setiap talenta yang Tuhan berikan; membiarkan para remaja
bertumbuh menjadi dirnya sendiri dan menemukan rencana Tuhan dengan hidup
mereka masing-masing.[7]
Bukan hanya itu,
pembimbing juga perlu menempatkan diri sebagai tempat bertanya dan mencurahka
isi hati. Pembimbing juga tidak perlu takut bila kelemahanya diketahui oleh
remaja yang dibimbingnya. Figur ynag dibutuhkan bukanlah figur sempurna,
melainkan figur serius yang bergumul dengan kehendak Tuhan. Terakhir,
pembimbing juga harus berperan sebagai gembala yang sungguh-sungguh menjad
domba-dombanya.[8]
Kesimpulan
Keempat hal yang
dibutuhkan remaja untuk menjadi remaja yang mengasihi, haruslah mampu dipenuhi
oleh para orangtua,pembimbing dan guru. Selain itu, sebagai Remaja Kristiani,
peran dan kedudukannya dalam Gereja juga harus dlihat bukan hanya sebagai
objek. Untuk itu, dalam hal ini anda , selain memberikan peran dan kedudukan
bagi mereka dalam mengembangkan dirinya. Anda juga harus memiliki identitas dan
integritas sebagai orang yang mengasihi. Mungkin bisa saja, seperti yang
diungkapan Budiono dalam peran sebagai pembimbing remaja dalam Gereja atau
bahkan lebih. Seperti yang dibahas dalam buk Palmer yang berjudul, “The Courage to Teach: Exploring the Inner Landscape of a Teacher’s
Life”, yang
terpenting bukanlah teknik-teknik dalam menagajar. Melainkan sebaliknya yaitu
dengan identitas dan intergritas[9].
Sehingga, jika Wibowo pada artikelnya yang berjudul “Ajarlah Mereka Megasihi”
memiliki harapan agar para remaja memiliki citra yang mengasihi[10],
maka menurut saya, dengan memiliki identitas dan intergritas; seorang
pengasih dengan cinta-kasih akan membentuk diri remaja yang memiliki identitas
dan intergritas seorang pengasih pula.
[1] Wibowo, Budiono Adi. “Ajarlah
Mereka Mengasihi.” Dalam Andar Ismail (ed.), Ajarlah Mereka Melakukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998,h. 140
[2] Ibid, 145-146
[3]Ibid, ,h. 147
[4]Ibid ,h. 148
[5] Ibid ,h. 149
[6] Ibid ,h. 150
[7] Wibowo, Budiono Adi, “Gereja
Mendampingi Remajanya”. Memperlengkapi Lagi Pelayanan dan Pertumbuhan. Tim
Penyusun Buku dan Redaksi BPK Gunung Mulia. Jakarta: Gunung Mulia, 2010, h.
251-254
[8] Ibid, h. 254-255
[9] Palmer, Parker. The Courage to Teach: Exploring the Inner Landscape of a Teacher’s Life.
San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1998, bab 1
[10] Wibowo, “Ajarlah Mereka Mengasihi”, Ibid, h. 143
Komentar