Featured Post

Pekan Doa 2024 Berngi 3 .

Gambar
  Thema : Kekelengen Teridah Arah Perbahanen Nas : 1 Johanes 3 : 11 -18 Nas Renungen  Mula-mulana nari kin nggo ibegindu berita enda, e me kita arus sikeleng-kelengen. Ula bagi Kain si jadi anak Iblis, agina pe ibunuhna. Ngkai kin maka ibunuh Kain agina? E me erkiteken kai si ibahan Kain salah, janah kai si ibahan agina, rikutken si ngena ate Dibata. Jadi ula mamang atendu o senina-senina, adi nembeh ate bangsa doni enda man bandu. Sieteh kap maka nggo sitadingken kematen janah lawes kita ku kegeluhen; si enda sieteh perbahan keleng ateta seninanta. Kalak si la erkeleng ate, tandana ia tetap denga i teruh kuasa kematen. Kalak si nembah atena seninana, pemunuh kap. Janah ietehndu maka kalak pemunuh la lit i bas ia kegeluhen si tuhu-tuhu si la erkeri-kerin. Arah enda me sieteh kekelengen e: Kristus nggo ngendesken GeluhNa man gunanta. Emaka kita pe arus ngendesken geluhta guna seninanta. Adi lit sekalak bayak idahna seninana kekurangen, tapi la atena mekuah man seninana e, uga banci kala

KENAPA MALU MENJADI PETANI?

Instagram @aronginting_


Bila saat ini diajukan sebuah pertanyaan, apakah petani (khususnya petani yang bekerja dalam sektor pangan) dan karyawan merupakan pekerjaan yang sama? Mungkin diantara kita akan menjawabnya sebagai pekerjaan sama, tapi benarkah demikian? Menurut saya tidak!

Petani tidak sama dengan seorang karyawan, dahulu dan sampai sekarang. Status Petani selalu berbeda dengan seorang karyawan. Sebab status petani selalu lebih tinggi dari karyawan. Mengapa?

Kita mulai dengan beberapa pertanyaan;

·         Bila saudara seorang karyawan lalu perusahaan tidak memberikan gaji kepada saudara selama 2 bulan? Apa yang akan saudara lakukan, memakai tabungan?

·         Bila saudara seorang karyawan lalu perusahaan tidak memberikan gaji kepada saudara selama 6 bulan? Apa yang akan saudara lakukan, mengundurkan diri?

·         Setiap tanggal 1 Mei, semua karyawan demo dan protes akan kenaikan Gaji? Sedang petani, bagaimana?

Demikianlah, setiap orang harus menaruh rasa hormat kepada seorang petani, bukan sekedar memberikan simpati. Sebab petani tidak layak untuk mengemis simpati kepada seorang karyawan, apalagi kita yang setiap harinya mengonsumsi hasil dari pertanian.

Tapi, apakah rasa hormat itu ada sampai saat ini? Tampaknya tidak! Rasa Hormat kepada petani itu sudah hilang. Tidak heran, mengapa beberapa kaum muda merasa malu menjadi seorang petani. Bahkan fenomena sarjana pertanian menjadi seorang Karyawan Bank itu sudah menjadi lumrah saat ini. Hal ini didukung juga dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah pekerja di sektor pertanian turun dari 33% menjadi 29% dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Kenapa hal ini bisa terjadi?

Ada beberapa faktor kemungkinan yang saya pikir juga membuat keluarga petani tidak melulu karena rasa malu, maka dirinya tidak menginginkan anaknya menjadi seorang petani. Adapun kemungkinan itu menyangkut pula soal kehidupan.

Bayangkan saja, WHO menyatakan setiap tahun terjadi 1– 5 juta kasus keracunan pestisida pada pekerja pertanian dengan tingkat kematian mencapai 220.000 korban jiwa, sekitar 80% keracunan pestisida dilaporkan terjadi di negara-negara berkembang. Beberapa kasus keracunan pestisida yang terjadi di Indonesia, antara lain di Kulon Progo terdapat 210 kasus keracunan dengan pemeriksaan fisik dan klinis, 50 orang di antaranya diperiksa di laboratorium dengan hasil 15 orang (30%) positif keracunan. Daerah Kabupaten Sleman dilaporkan dari 30 orang petugas pemberantas hama 14orang (46,66%) mengalami gejala keracunan serta di Propinsi Bali. Berdasarkan data pemeriksaan aktivitas cholinesterase yang dilakukan UPT Balai Hiperkes dan KK Provinsi Bali pada tahun 2013, prevalensi petani di Bali yang mengalami keracunan pestisida sebesar 41%.

Bagaimana dengan daerah lainnya, saya yakin ada. Walaupun saya belum menemukan data yang valid!

Mungkin beberapa dari kita sudah berjuang dan berusaha untuk menimalisir ini dengan edukasi soal bahaya penggunaan pestisida. Tapi bagaimana setelahnya, apakah edukasi ini berarti? Menurut saya larangan bukanlah solusi. Petani menggunakan pestisida yang membuat diantara mereka mengalami keracunan dan merusak lingkungan juga dikarenakan tuntutan ekonomi yang semakin tinggi, sementara hasil panen dihargai murah oleh para tengkulak. Sedang para tengkulak menjualnya dengan harga yang sangat tinggi.

Bahkan berdasarkan dari data yang disampaikan oleh Mantan Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi yang dilansir oleh.cnbcindonesia.com, disebutkan bahwa data kemiskinan, sebagian besar kemiskinan tersebar di pedesaan di mana pendapatan penduduk bergantung dari sektor pertanian. Dia menjelaskan kontribusi pertanian terhadap GDP sekitar 12-13%, namun kontribusi terhadap kesempatan kerja masih sekitar 30%. "Maka yang 'krisis' sebenarnya adalah kesejahteraan petani karena pendapatan yang hanya 13% itu dibagi di antara yang 30%," Menurutnya, masalah kesejahteraan inilah yang pada akhirnya membuat generasi muda tidak tertarik terhadap pertanian. Karena itu, regenerasi petani menjadi sangat lambat, atau hampir tidak ada. "Hal ini juga yang menyebabkan sekitar setengah petani beralasan menjadi petani karena terpaksa, tidak ada pekerjaan lain," kata Bayu.

Atau dengan kata lain, logika seorang petani yang bekerja di sektor pangan tidak perlu takut lapar. Saat ini terlihat, justru merekalah yang selalu dihantui kelaparan. Jadi, apakah dengan demikian pemerintah dan kebijakannya menjadi bagian yang patut disalahkan? Tidak Juga!

Sejatinya saya tidak sepenuhnya menyalahkan pemerintah dan kebijakannya. Bahkan tujuan saya menuliskan artikel ini bukanlah untuk menyalahkan mereka, apalagi menaruh simpati kepada petani. Kembali lagi, petani tidak layak untuk mengemis simpati dari kita. Justru kitalah yang seharusnya menaruh hormat kepada petani dan merasa bangga untuk menjadi seorang petani. Sebab bila tidak demikian, kita tahu pertambahan penduduk setiap tahunnya sangatlah meningkat dan kebutuhan pangan juga berbanding lurus. Bila sektor pangan tidak menyanggupinya, maka pilihan impor pangan dan pemalsuan akan semakin sangat mungkin terjadi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Lalu, akankah kita mau beradaptasi juga dengan situasi seperti ini? Apakah tubuh juga harus beradaptasi dengan pemalsuan pada semua hal yang kita konsumsi saat ini? Atau kita menunggu sampai lingkungan benar-benar rusak dan meneriakkan keberadaan Tuhan?

Terakhir, tahukah kita bahwa dari banyak pekerjaan yang ada, Petani menjadi ilustrasi yang paling sering digunakan oleh berbagai Agama untuk mengajarkan tentang seorang beriman. Sebab, dalam seluruh pekerjaannyalah kita belajar tentang berhubungan dengan Tuhan, Manusia dan CiptaanNya. Tidak percaya? Lihatlah saja, seorang petani menaruh harapan dalam setiap benih yang dia tanam atau tabur, menyerahkan semuanya dari awal, dalam proses dan sampai penuaian, kepada Tuhan. Setelah penuaian, seorang petani tidak hanya berfikir soal dirinya tapi juga tentang kita yang membutuhkan. Lalu, alasan apalagi untuk kita tidak menaruh hormat pada petani?

Tidak perlu mengangkat senjata dan menghabiskan energimu untuk menyalahkan para pelaku tambang, petani sawit ataupun pembangunan-pembangunan infrastruktur lainnya. Kalau pada akhirnya, rasa hormat kita tidak ada bagi seorang petani; kita malu menjadi seorang petani; dan kitalah yang menjadi parasit bagi para petani, karena menekan harga hasil panennya.

Komentar

Analgin Ginting mengatakan…
Baru baru ini saya melihat sebuah youtube dimana diinfokan seorang Korea, menyewa tanah di Sekitar Porsea dan bertani Kentang. Masih malu jadi petani ???
Analgin Ginting mengatakan…
Baru baru ini saya melihat sebuah youtube dimana diinfokan seorang Korea, menyewa tanah di Sekitar Porsea dan bertani Kentang. Masih malu jadi petani ???

Postingan populer dari blog ini

Indah Pada Waktunya / Pengkhotbah 3:11-15 ( Pekan Penatalayanan Hari Keempat)

Catatan Tambahan PJJ 1 – 7 Oktober 2023

Catatan Tambahan PJJ 27 Agustus – 2 September 2023