Featured Post

Catatan Tambahan PJJ 2 - 8 Nopember 2025

Gambar
Thema: Agama yang Benar dan Baik Nas: Yakobus 1:26–27 “ Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya. Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.” Pengantar Dalam kehidupan beriman, seringkali manusia terjebak dalam bentuk-bentuk lahiriah agama, tetapi mengabaikan hakikat batiniahnya. Rasul Yakobus menegaskan bahwa ukuran kebenaran dan kemurnian agama bukan terletak pada ritual semata, melainkan pada buah kehidupan dan perilaku sehari-hari yang memuliakan Allah melalui tindakan kasih kepada sesama. Dengan demikian, agama yang benar tidak berhenti pada liturgi, tetapi berlanjut dalam empati, kepedulian, dan disiplin moral yang nyata dalam hidup sehari-hari.¹ Fakta • Kehidupan beragama dewasa ini sering diwarnai oleh paradoks: semakin banya...

Belajar? Atau Sibuk Mengajar? Kisah Para Rasul 18:24-28

Instagram @aronginting_


Salah satu unsur penting dalam Manajemen Diri adalah membangun kebiasaan untuk terus-menerus belajar atau menjadi manusia pembelajar yang senantiasa haus akan informasi dan pengetahuan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Henry Ford, pendiri General Motors yang mengatakan,

“Tidak peduli berapa pun usia kita, jika saudara memilih untuk berhenti belajar, berarti kita sudah tua, sedangkan mereka yang senantiasa belajar akan tetap awet muda. Karena hal terbaik di dunia akan kita peroleh dengan memelihara pikiran kita agar tetap muda.

Sayangnya, sebagian besar orang tidak pernah punya waktu untuk BELAJAR. "Merasa" sudah memahami atau merasa sudah cukup dan puas pada pemahaman-pemahaman itu saja. Sehingga, sesuatu yang diluar daripada itu dianggap menjadi sesuatu yang menyalahi ataupun menyerang diri saudara.

Alasan-alasan ini, membuat banyak orang saat ini merasa terjebak dan akhirnya justru, ditenggelamkan oleh perkembangan. Padahal, kenyamanan dan kepuasaan pada pemikiran itu membuat banyak orang tidak memiliki kesempatan untuk mengasah pikirannya. Misalnya masalah waktu, betapa sering orang mengeluhkan waktu yang tidak cukup, terlalu sibuk ataupun banyaknya kerjaan yang telah menunggu daripada harus belajar. Tapi pemikiran-pemikiran demikian justru membuat kita tidak lebih seperti pemuda yang sedang terburu-buru memotong kayu bakarnya dengan kapaknya yang sudah tumpul.

Dikisahkan, seorang pemuda dengan kapak tumpulnya, sejak siang tadi ia telah memotong kayu bakarnya, dan kini ia hanya memiliki waktu tinggal 2 jam lagi. Tapi ia sangatlah letih akan pekerjaan tersebut, sampai seorang kakek tua yang sedari tadi telah melihat pekerjaannya mendatanginya dan memintanya untuk istirahat sejanak. Namun pemuda tersebut tidak mengindahkan perkataan kakek tua tersebut, sebab pikirnya bila ia istirahat. Tentu waktu akan terus berjalan dan dia tidak akan bisa menyelesaikan tugasnya tepat pada waktunya. Tapi kakek itu tidak menyerah, ia tetap menasihati pemuda tersebut dan berkata “Pemuda, istirahat itu perlu. Kamu bisa menggunakan waktu istirahatmu untuk mengasah kapakmu. Sehingga setelah kamu selesai beristirahat dan mengasahnya, maka pekerjaanmu pun akan lebih mudah dan cepat terselesaikan.”. Tapi pemuda itu tetap tidak mengindahkan perkataan kakek itu. Pemuda itu justru mengatakan bahwa, “Saya tidak punya waktu untuk mengasah kapak saya, karena saya sedang sibuk memotong kayu bakar saya!”

Ya, tak lebih dari seorang pemuda dengan kapak tumpulnya, kita lupa bahwa kebiasaan mengasah diri menjadi “hal penting” untuk memelihara dan meningkatkan aset terbesar yang kita miliki yaitu diri kita. Bahkan, dapat memperbarui keempat dimensi alamiah kita—fisik, mental, spiritual, dan sosial/emosional.

BELAJAR juga merupakan cara untuk memperbaiki dan meningkatkan keefektifan diri kita. Karena itu, bila saudara merasakan pelayanan, pekerjaan atau diri saudara berjalan begitu-begitu saja. Mungkin saudara perlu waktu untuk jeda dan belajar kembali untuk mengasah diri, terlebih mengembangkannya kepada sesuatu yang lebih baik lagi. Jangan cepat berpuas diri, sebab hal yang lebih baik sudah menanti dirimu didepan sana.

Sebab demikian pula yang terjadi pada bahan refleksi kita Kisah Para Rasul 18:24-28. Yangmana Priskila dan Akwila adalah sahabat-sahabat Paulus yang seringkali membantu pelayanan yang dilakukan Paulus. Mereka mengikuti perkembangan pelayanan Apolos dan mereka tiba pada satu kesimpulan bahwa pemahaman Apolos masih terlalu dangkal yaitu seputar babtisan Yohanes. Karena Priskila dan Akwila sudah menerima pengajaran tentang Jalan Tuhan (baca: menjadi pengikut Kristus) dari Paulus sehingga mereka berdua  berinisiatif mengundang Apolos untuk datang kerumahnya. Mereka mengajarkan pada Apolos tentang jalan Tuhan yang lebih tepat (mengajarkan tentang babtisan roh). Dengan pengajaran dan masukan yang diberikan Priskila dan Akwila pada Apolos maka terjalinlah hubungan yang positif dan saling membantu diantara mereka. Hal ini terlihat ketika Apolos ingin pergi ke Akhaya maka saudara-saudara di Efesus mengirim surat kepada murid-murid di Akhaya sehingga Apolos diterima dalam lingkaran pelayanan dan oleh karena kasih karunia Allah akhirnya ia menjadi sangat berguna bagi orang-orang percaya. Dengan semangat penginjilan yang tinggi ia membuktikan dari Kitab Suci bahwa Yesus adalah Mesias.

Jadi bagaimana? Apakah kita mau merendahkan hati untuk menjadi seorang Apolos yang mau belajar kembali? Atau tugas kita hanya sibuk dengan mengajari orang lain, tanpa mau belajar dari orang lain?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Tambahan PJJ 6 - 12 Juli 2025

Catatan Tambahan PJJ 6 - 12 April 2025

Catatan Tambahan PJJ 11 – 17 Mei 2025