Featured Post

Catatan Khotbah Minggu 12 Mei 2024

Gambar
 Minggu Eksaudi : Begiken Min O Jahwe Warna Mbentar Invocatio          :  “(Pilipi 3 : 16)” Ogen                     :  Perbahanen Rasul Rasul 1 : 1 - 5  (Tunggal )     Khotbah            :  Masmur 31 : 1 – 5      (Responsoria )     Thema                 :  Pemindon Lako Iampang-ampangi Tuhan              Khotbah : Masmur 31 : 1 – 5     Masmur Daud. Ku Kam aku cicio o TUHAN ula pelepas aku kemalun. Kam kap Dibata si bujur, mindo aku, maka IkeliniNdu aku. Begiken min pertotonku pedas min Kam reh mulahi aku. Jadi min Kam deleng batu inganku cicio, kubungku si nteguh inganku terkawal. Kam kap ingan cebuni dingen bentengku, tegu-tegu dingen babai aku erkiteken GelarNdu. Tegu-tegu aku maka ula aku kena siding itogeng kalak man bangku. Ampang-ampangi aku maka ula aku kena cilaka. Pembukaan   Syalomm mejuah juah senina ras turang, Kidekah nggeluh manusia ibas doni enda, lit lalap perbeben.  Lit nge lalap kiniseran, kiniseraan si mengancam keselamatan ta.  Tapi lit ka nge jalan keluar,

GEREJA BATAK KARO PROTESTAN YANG BERDIALOG DENGAN AGAMA PEMENA

Agama pemena, demikianlah agama yang dahulu dipercayai dan hidup ditengah-tengah Masyrakat Karo. Dalam agama ini, terdapat pencampuran konsep keagamaan terhadap Dibata Kaci-Kaci (Allah Pencipta) sebagai sisa-sisa “Ur-Moonotheism” dengan penyembahan yang sifatnya animistis yakni penyembahan atau pemujaan terhadap roh orang mati dan juga paham dinamisme yang masih hidup. Pencampuran inilah yang sering tampak di dalam banyak tata cara bicara, iman dan adat istiadatnya.[1] Namun, semua berubah ketika Injil sudah masuk dalam masyarakat Karo. Semua hubugan dengan yang bukan Kekristenan dialihkan kepada Allah Kekristenan, hal ini dilakukan dengan merubah isi dan pengarahan dalam upacara-upacara tertentu. Bahkan tidak jarang juga, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) bertindak tegas untuk menghapuskan dan meninggalkan adat-adat tertentu.[2] Dengan alasan, adat dan upacara tersebut disebutkan sebagai penyembahan berhala, dan bahkan penyebutan ini juga akhirnya menjadikan Agama Pemena (Agama Pertama/Awal) disebut oleh beberapa orang sebagai Agama Perbegu (=Agama Hantu, Agama Berhala).

Penyembahan Berhala (?)

Tak seorang pun pernah menyembah berhala. Sebagian orag meyembah Allah dalam bentuk berhala; itulah yang dimaksudkan dengan berhala. (Bahkan, mengenai apa yang keliru disebut sebagai penyembahan sapi, saya pun pernah mengatakan: “Orang-orang Hindu menghormati sapi yang mereka lihat, bukan sapi yang kita lihat[3]

Wilfred Cantwell Smith, pernah berjumpa dengan ayat di dalam Yagavasistha yang mengatakan tentang yang transenden (tentang Brahmana;tentang Allah, demikianlah dapat kita katakana), berbunyi : Engkau tidak berbentuk. Bentuk-Mu satu-satunya adalah pengetahuan kami tentang Engkau.”. Dalam perjumpaannya tersebut, Smith melihat bahwa ayat ini memberikan suatu pernyataan yang secara teologis sangat tajam dan terang. Bahwa, pengetahuan kita tentang Allah sudah tentu selalu sepihak; Para teolog Kristen sudah tahu itu dan semakin mendalam mereka, semakin jelas mereka mengakuinya. Allah tidak menyingkapkan teologi. Sehingga, dari hal ini nyatalah bagi Smith bahwa  sistem atau gagasan teologis adalah suatu tanggapan.yang terbatas dan fana. Sekedar bangunan manusia. Walaupun, teologi dapat berfungsi sebagai saluran-saluran yang memperkenalkan mereka yang memikirkannya dan khususnya mereka yang menganutnya, mereka yang melihat signifikansinya pada suatu kebenaran yang pada gilirannya lebih dari sekadar bersifar manusiawi; lebih dari pada yang fana; kepada Allah.[4]

Tidak hanya itu saja, ayat ini dilihat Smith juga melangkah lebih jauh. Ada kesadaran dalam diri Smith, melihat ayat ini berbicara bukan tentang pernyataan-pernyataan teologis kita yang jelas, melainkan tentang pengetahuan kita.[5] Apakah diungkap dalam pola konseptual yang hebat atau sederhana, atau tidak diungkapkan, pengetahuan kita tentang Allah adalah bentuk yang didalamnya Allah secara ideasional muncul kepada kita masing-masing, dengan cara yang lebih atau kurang kaya. Semua tetap saja tidak menjadi final atau lengkap, namun tidak dapat diabaikan juga. Ideasional itu sendiri sudah tentu hanya hanya merupakan satu jenis bentuk di antara bentuk lainnya; di dalamnya yang transenden itu ditangkap oleh dan dikomunikasikan kepada manusia.

Walaupun demikian, melihat hal-hal tersebut dengan cara demikian bagi Smith, tidak berarti menilai bahwa semua bentuk akhrinya sama-sama sah, efektif atau dapat diterima. Sebaliknya, hal ini bagi Smith menunjukan kepada kita bahwa tidak ada perbedaan prinsip dasariah antara sebuah doktrin dan sebuah patung. Sehingga, tidak ada alasan secara kuat bagi Smith untuk mengatakan mereka sebagai “penyembah berhala”. Sebab, kita bisa keliru memahami apa yang sesungguhnya terlibat di antara mereka yang terlibat di dalamnya.[6] Karena hal yang demikian juga, kita tidak boleh menepisnya dan menganggap bahwa hal itu konyol atau bodoh; sikap yang demikian ini hanya mencirikan kesombongan iman kita. Suatu kebajikan keliru yang disebabkan oleh pemahaman keliru, terdistorsi oleh penangkapan kesan yang salah.

Kenyataannya, kehidupan keagamaan berlangsung secara simbolis, dengan berbagai hal yang fana bertindak sebagai representasi simbolis atau saluran-saluran dari yang ilahi bagi kelompok-kelompok (mis: Agama Pemena) selama berabad-abad. Kita selalu memilih apa yang menurut kita baik, meskipun kita mungkin bisa keliru. Lalu, pantaskah jika pilihan tersebut kita orientasikan kepada semua kehidupan keagmaa semua komunitas?

Sedikit Catatan Tentang GBKP dan Agama Pemena

Dalam penilitian yang dilakukan oleh GBKP dan Staf Proyek Survey Menyelurh D.G.I yakni Dr. Farnk L. Cooley pada tahun 1976, terdapat beberapa prinsip pokok yang diikuti GBKP dalam menggumuli soal-soal Agama Pemena yaitu: adat yang memperbaiki masyarakat, yang berfungsi positif dalam kehidupan bersama, dipupuk. Adat yang ada hubungan dengan kepercayaan terhadap dewa-dewa, arwah-arwah nenek moyang, roh-roh, dilawan oleh Gereja.[7] Dan hal ini tampaknya terus berlangsung sampai tahun 1999. Menjadi menarik lagi, dalam ranah akademis  Ketua Sinodal GBKP (Moderamen) yang menjabat sejak tahun 1991-2000, yakni Dr. E.P. Ginting, menuliskan dalam bukunya yang Berjudul “Religi Karo”, masih menyebut Agama Pemena sebagai Agama Perbegu. Tidak hanya itu, agama ini juga disebut sebagai bentuk kekafiran[8]. Padahal dalam sebuah penelitian di GBKP si biru-biru, beberapa jemaat bahkan majelis yang meminta bantuan dukun karo (Guru Sibaso). Apalagi dalam situasi kristis dan merasa tidak ada pertolongan lain yang lebih efektif selain ke guru sibaso. Tindakan tersebut, biasanya dilakukan secara tersembunyi agar tidak dipandang negatif oleh Gereja. Pada saat di Gereja seluruh jemaat bertindak seakan tidak pernah berhubungan dengan guru sibaso. Tidak sampai disitu saja, salah satu jemaat dari GBKP Sibiru-biru ini juga salah satu dari guru sibaso itu.[9]Tidak hanya dalam GBKP Sibiru-biru, Agama Pemena juga hidup disekitaran kaki Gunung Sinabung. Ini dibuktikan dari ritual tolak bala yang dilakukan dengan tujuan untuk menenangkan letusan Gunung Sinabung yang masih aktif sampai saat ini[10]. Bahkan Agama Pemena ini-pun membentuk sebuah Pura Arih Ersada dan masuk dalam ajaran Hindu yang menerima keberadaann Agama Pemena  dan kearifan lokal Masyarkat Karo.[11]

Menanggapi fenomena ini, perlulah kita meninjau kembali makna kehadiran GBKP hadir di dunia ini. GBKP yang hadir bagi manusia yang tidak kosong. Aloysius Pieris, bahkan mengingatkan bahwa sebenarnya agama dan kebudayaan berjalan sepenuhnya seiring dalam masyarkat suku hampir di man-mana di Dunia Ketiga[12]. Sehingga dengan ini kebudayaan  harus menjadi ungkapan agama yang beranekawarna. Karena agama-agama saling bertemu dalam dan melalui manifestasi – diri kebudayaan masing-masing, dihasilkan pembedaan yang hampir tidak tampak antara agama dan kebudayaan. Jadi orang dapat berbicara tentang agama dalam satu kebudayaan atau sebaliknya tentang agama dalam satu kebudayaan. Ranah pembicaraan ini, bisa dilakukan dalam bentuk Dialog Intra-Religius.

Dialog Intra-Religius

Raimundo Panikkar dalam salah satu bukunya memilih judul “Dialog Intra-religius” dan bukan ”Dialog Inter-religius” (=dialog antar agama). Pemilihan judul tersebut, paling tidak menunjukkan maksudnya, bahwa Panikkar bukan ingin menekankan dialog antar agama/antar umat beragama melainkan dialog dengan pengalaman [diri] sendiri. Dialog Intrareligius adalah suatu dialog batin dalam diri (saya) sendiri suatu perjumpaan dalam alam religius pribadi saya yang paling dalam dan bersifat eksistensial.[13] Petualangan dan peziarahan ini sudah pasti mengandung risiko[14] bahkan dapat memunculkan suatu krisis keagamaan[15], karena setiap orang ditantang untuk berani melihat pengalamannya sendiri secara lebih kritis, membuka tabir-tabir gelap yang penuh mitos dari kepercayaan sendiri, yang sering menjadi tempat yang hangat dimana kedamaian semu bersarang; atau menjadi benteng pertahanan yang tinggi dan kokoh untuk mengkritik keberagamaan orang lain.[16] Panikkar bahkan secara radikal menyebut petualangan ini sebagai “perjalanan yang penuh bahaya, sebab anda bermain dengan hidup anda”. Konversi atau “pemilihan” keyakinan sangat mungkin terjadi, sebab mungkin seseorang telah mendapatkan kenyataan ilahi yang lebih luhur dalam diri Krisna daripada dalam diri Kristus.[17]

Namun sesungguhnya, jalan yang mengerikan ini juga menjanjikan sebuah harta karun yaitu “pemurnian” menuju kepada kesadaran akan identitas diri yang terbuka terhadap berbagai pengalaman manusiawi yang mendasar dan menyelamatkan, tanpa memperlemah keyakinan mereka akan keunikan dan kesetiaan terhadap panggilannya sendiri.[18] Semua dimulai dari diri sendiri, dari hati yang mempersatukan akal budi dan intuisi, intelegensia dan perasaan (khas spiritualitas dan filsafat Timur). Oleh karena itu, harmoni dan ketenangan serta kedamaian hati merupakan cita-cita tertinggi hidup yang sangat luhur.[19] Lebih jauh, menurut Panikkar, dalam rangka merasakan kehadiran Tuhan, relfleksi hening justru lebih bisa menghantar kita pada penghayatan ketuhanan, karena “keheningan adalah karakter Allah”.[20]

Gagasan yang menarik dari pikiran Panikkar mengenai dialog adalah bahwa ia melihat dasar dialog yang hidup hanyalah cinta  yang membawa setiap kita yang berdialog kepada yang kita cintai. [21] Panikkar ingin menekankan bahwa yang ia bicarakan disini bukanlah dialog yang dialektis yang sibuk membicarakan metode apa yang akan dipakai, namun dialog yang dimaksud oleh Panikkar adalah dialog yang dialogis, yang merupakan tindakan religius pada dirinya sendiri.[22] Dialog yang berlandaskan cinta dan bersifat dialogis bukan dalam relasi subjek-objek, namun dalam relasi subjek-subjek. Orang berdialog bukan tentang sesuatu namun tentang diri mereka sendiri, sehingga setiap pihak harus memandang dirinya dan yang lain apa adanya. Dialog yang dialogis tidak semata-mata mendialogkan opini, apalagi doktrin. Ini adalah perjumpaan “diriku” dan “dirimu” dan bukan “pikiranku” dan “pikiranmu”.

Panikkar menawarkan tiga macam model yang dapat terjadi dalam dialog. Pertama,  model fisika: pelangi. Dimana tradisi keagamaan manusia yang berbeda-beda seperti warna pelangi yang hampir tak terbatas jumlahnya. Keberagaman agama merupakan keindahan dan kekayaan manusia. Kedua, model geometri: invariant topologis. Transformasi merupakan penyebab bentuk dan wujud yang beragam dari sosok agama-agama yang berbeda. Ketiga, model antropologis: bahasa. Model ini menganggap setiap agama sebgai suatu bahasa yang sangat luas, seluas kenyataan manusia. Oleh karena itu setiap agama terbuka untuk bertumbuh dan berevolusi sebagaimana bahasa.[23]

Tujuan dialog intrareligius yang berpusat pada batin atau hati (bahkan keheningan) adalah pemahaman, atau lebih tepatnya pengakuan dan penerimaan akan realitas plural. Bukan untuk menonjolkan superioritas, atau mencapai universalitas atau teologi universal, melainkan komunikasi dan dialog yang menjembatani jurang tradisi masing-masing dengan bahasa masing-masing. Dialog bukan bertujuan untuk keseragaman atau reduksi perbedaan, melainkan penemuan eksistensi yang sebenarnya (otentik) dari pribadi-pribadi yang beragama.[24] Karenanya, menurut Panikkar dialog yang sehat adalah dialog yang saling menyuburkan (inter-fertilisasi/Perichoresis), dalam gerak saling memberi dan menerima.[25] Oleh karena itu, menurut Panikkar, dialog yang sehat harus mengandung delapan (8) prinsip dasar, yaitu: Bebas dari apologia khusus (tidak percaya kepada patner dialog atau ingin menobatkannya); Bebas dari apologia umum (tidak percaya pada kebenaran agama patner); Berani menghadapi tantangan pertobatan; Dimensi historis penting namun tidak mencukupi (harus diimbangi dengan perkembangan modern: penerimaan dimensi intuisi); Bukan sekadar kongres Filsafat; Bukan sekadar simposium teologis; Bukan sekadar ambisi pemuka Agama; dan Perjumpaan Agama itu berlangsung dalam Iman, Pengharapan dan Kasih. Menurut Panikkar, pada tataran praktis dialog seharusnya: mengandaikan persiapan diri, mengandaikan kepercayaan, dan kemampuan memilah masalah.[26]

Salah satu momen penting dalam teologi agama-agama adalah pembiacaraan rasional pada kancah teologis, langkah-langkah dalam tahap ini diuraikan oleh Raimon Panikkar sebagai berikut.

1.Orang mulai dengan pemahaman yang setia dan kritis mengenai tradisinya sendiri, suatu pemahaman yang dicapai dengan segala metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan yang kita kuasai: secara empiris, historis-kritis, filologis, fenomenologis, dll.

2.Memahami agama yang lain dengan cara yang sama

3.Pemahaman yang timbul kemudian menjadi keyakinan, yang terjadi adalah penemuan dan pengalaman keyakinan asli. 

4.Selanjutnya terjadilah suatu dialog batiniah intra-religius antara dua keyakinan itu, sebagai hasilnya orang akan mencari bahasa bersama yang dapat mengungkapkan kebenaran dari kedua agama itu. 

5.Dialog batiniah intra-religius berkembang pula menjadi dialog antar-religius ketika orang secara terbuka mengungkapkan interpretasinya yang baru kepada “wakil” dari tradisi lain itu. 

6.Langkah 1-5 diandaikan bagi semua mitra dalam dialog. 

7.Interpretasi-interpretasi baru diuji ortodoksonya dalam kedua tradisi itu. Jika ternyata tidak adekuat berarti perlu kembali kepada kancah pergumulan intra-religius dan kemudian mengulang kembali tahapan-tahapan tersebut.[27] 

unsplash.com

 

Penutup

GBKP hadir di dunia dan berhadapan dengan sesuatu yang tidak kosong. GBKP hadir dalam masyarakat Karo yang memiliki tata bicara, adat, iman dan kepercayaan yang dipengaruhi oleh Agama Pemena. Sehingga, GBKP tidak boleh menepis kenyataan tersebut dan menganggap bahwa hal itu konyol atau bodoh; sikap yang demikian ini hanya mencirikan kesombongan iman. Suatu kebajikan keliru yang disebabkan oleh pemahaman keliru, terdistorsi oleh penangkapan kesan yang salah. Karena realitanya, kehidupan keagamaan berlangsung secara simbolis, dengan berbagai hal yang fana bertindak sebagai representasi simbolis atau saluran-saluran dari yang ilahi bagi Gereja ataupun pada Agama Pemena juga. Kita selalu memilih apa yang menurut kita baik, meskipun kita mungkin bisa keliru. Untuk itu, baiklah bila GBKP dan Agama Pemena  dapat membangun relasi dan berjalan seiringan untuk memberikan warna dalam teologia GBKP. Sebab hanya dengan relasi yang baik pula, GBKP dan Agama Pemena dapat saling memperkaya dan tetap hidup.

Daftar Pustaka

Ahmad Norma Permata (ed), Metodologi Studi Agama, hal. 216.

Asemenintha, Endhamya, Hubungan Dialektis Sebagai Prinsip Misi Gereja Batak Karo Protestasn (GKBP) Birubiru Dalam Konteks Budaya  Karo yang Tidak Terpisahkan Dari Agama Pemena,Yogyakarta : Skripsi S-1 Fakultas Teologia UKDW.

B.J. Banawiratma, SJ., “Mengembangkan Teologi Agama-Agama”, dalam, Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2007.

Dr. Frank L. Cooley & Team Penelitian GBKP, Benih yang Tumbuh IV : GBKP, Semarang: PErcetakan Universitas Kristen Satya Wacaa, 1976)

E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru Kabanjahe:Abdi Karya, 1999

Herry Priono, ‘Nilai Budaya Barat dan Timur: Menuju Tata Hubungan Baru’ dalam Seri Filsafat Driyarkara: 4, Capita Selecta: Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Panikkar, Raimundo, Dialog Intra Religius, diedit oleh A. Sudiarja, Yogyakarta: Kanisius,1994

Pieris, Aloysius, Berteologi Dalam Konteks Asia, Yogyakarta:Kanisius,1996

Simon, Jhon C, Merayakan Sang Liyan, Yogyakarta: Kanisius, 2014

Smith, Wilfred Cantwell, PEMBERHALAAN : Dalam Perspektif Perbandingan, dalam Hick John & Paul F. Knitter, (peny.), Mitos Keunikan Agama Kristen, terj- Stephen Suleeman, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001



[1] E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe:Abdi Karya, 1999), hal.8

[2] Dr. Frank L. Cooley & Team Penelitian GBKP, Benih yang Tumbuh IV : GBKP, (Semarang: PErcetakan Universitas Kristen Satya Wacaa, 1976), hal. 123

[3] Smith, Wilfred Cantwell, PEMBERHALAAN : Dalam Perspektif Perbandingan, dalam Hick John & Paul F. Knitter, (peny.), Mitos Keunikan Agama Kristen, terj- Stephen Suleeman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hal.83

[4] Smith, Wilfred Cantwell, PEMBERHALAAN : Dalam Perspektif Perbandingan, hal. 88-89

[5] Smith, Wilfred Cantwell, PEMBERHALAAN : Dalam Perspektif Perbandingan, hal.89

[6] Smith, Wilfred Cantwell, PEMBERHALAAN : Dalam Perspektif Perbandingan, hal.92

[7] Dr. Frank L. Cooley & Team Penelitian GBKP, Benih yang Tumbuh IV : GBKP, hal.124

[8] E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru , Ibid., hal.31

[9] Asemenintha, Endhamya, Hubungan Dialektis Sebagai Prinsip Misi Gereja Batak Karo Protestasn (GKBP) Birubiru Dalam Konteks Budaya  Karo yang Tidak Terpisahkan Dari Agama Pemena,Yogyakarta : Skripsi S-1 Fakultas Teologia UKDW. hal. 4

[12] Pieris, Aloysius, Berteologi Dalam Konteks Asia, (Yogyakarta:Kanisius,1996),  h.162

[13] Panikkar, Raimundo, Dialog Intra Religius, diedit oleh A. Sudiarja, (Yogyakarta: Kanisius,1994), hal. 5; 80

[14] Panikkar, Raimundo, Dialog Intra Religius, hal. 5

[15] Panikkar, Raimundo, Dialog Intra Religius, hal. 46

[16] Panikkar, Raimundo, Dialog Intra Religius, hal. 5

[17] Panikkar, Raimundo, Dialog Intra Religius, hal. 50

[18] Panikkar, Raimundo, Dialog Intra Religius, hal. 52

[19] Herry Priono, ‘Nilai Budaya Barat dan Timur: Menuju Tata Hubungan Baru’ dalam Seri Filsafat Driyarkara: 4, Capita Selecta: Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993, hal. 5, 8

[20] Simon, Jhon C, Merayakan Sang Liyan,(Yogyakarta: Kanisius, 2014) hal. 166

[21] Panikkar, Raimundo, Dialog Intra Religius, hal. 75

[22] Panikkar, Raimundo, Dialog Intra Religius, hal. 64

[23] Simon, Jhon C, Merayakan Sang Liyan, hal. 168

[24] Panikkar, Raimundo, Dialog Intra Religius, hal. 33-34

[25] Simon, Jhon C, Merayakan Sang Liyan, hal. 169

[26] Panikkar, Raimundo, Dialog Intra Religius, hal. 64-77

[27] B.J. Banawiratma, SJ., “Mengembangkan Teologi Agama-Agama”, dalam, Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)., hal 45-46

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indah Pada Waktunya / Pengkhotbah 3:11-15 ( Pekan Penatalayanan Hari Keempat)

Catatan Tambahan PJJ 1 – 7 Oktober 2023

Catatan Tambahan PJJ 27 Agustus – 2 September 2023