Featured Post
GEREJA BATAK KARO PROTESTAN YANG BERDIALOG DENGAN AGAMA PEMENA
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Agama pemena, demikianlah agama yang dahulu dipercayai dan hidup ditengah-tengah Masyrakat Karo. Dalam agama ini, terdapat pencampuran konsep keagamaan terhadap Dibata Kaci-Kaci (Allah Pencipta) sebagai sisa-sisa “Ur-Moonotheism” dengan penyembahan yang sifatnya animistis yakni penyembahan atau pemujaan terhadap roh orang mati dan juga paham dinamisme yang masih hidup. Pencampuran inilah yang sering tampak di dalam banyak tata cara bicara, iman dan adat istiadatnya.[1] Namun, semua berubah ketika Injil sudah masuk dalam masyarakat Karo. Semua hubugan dengan yang bukan Kekristenan dialihkan kepada Allah Kekristenan, hal ini dilakukan dengan merubah isi dan pengarahan dalam upacara-upacara tertentu. Bahkan tidak jarang juga, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) bertindak tegas untuk menghapuskan dan meninggalkan adat-adat tertentu.[2] Dengan alasan, adat dan upacara tersebut disebutkan sebagai penyembahan berhala, dan bahkan penyebutan ini juga akhirnya menjadikan Agama Pemena (Agama Pertama/Awal) disebut oleh beberapa orang sebagai Agama Perbegu (=Agama Hantu, Agama Berhala).
Penyembahan Berhala (?)
Tak seorang pun pernah menyembah berhala. Sebagian orag meyembah Allah dalam bentuk berhala; itulah yang dimaksudkan dengan berhala. (Bahkan, mengenai apa yang keliru disebut sebagai penyembahan sapi, saya pun pernah mengatakan: “Orang-orang Hindu menghormati sapi yang mereka lihat, bukan sapi yang kita lihat[3]
Wilfred Cantwell Smith, pernah berjumpa
dengan ayat di dalam Yagavasistha yang
mengatakan tentang yang transenden (tentang Brahmana;tentang Allah, demikianlah
dapat kita katakana), berbunyi : “Engkau
tidak berbentuk. Bentuk-Mu satu-satunya adalah pengetahuan kami tentang
Engkau.”. Dalam perjumpaannya tersebut, Smith melihat bahwa ayat ini memberikan
suatu pernyataan yang secara teologis sangat tajam dan terang. Bahwa,
pengetahuan kita tentang Allah sudah tentu selalu sepihak; Para teolog Kristen
sudah tahu itu dan semakin mendalam mereka, semakin jelas mereka mengakuinya.
Allah tidak menyingkapkan teologi. Sehingga, dari hal ini nyatalah bagi Smith
bahwa sistem atau gagasan teologis
adalah suatu tanggapan.yang terbatas dan fana. Sekedar bangunan manusia. Walaupun,
teologi dapat berfungsi sebagai saluran-saluran yang memperkenalkan mereka yang
memikirkannya dan khususnya mereka yang menganutnya, mereka yang melihat
signifikansinya pada suatu kebenaran yang pada gilirannya lebih dari sekadar
bersifar manusiawi; lebih dari pada yang fana; kepada Allah.[4]
Tidak hanya itu saja, ayat ini dilihat
Smith juga melangkah lebih jauh. Ada kesadaran dalam diri Smith, melihat ayat
ini berbicara bukan tentang pernyataan-pernyataan teologis kita yang jelas,
melainkan tentang pengetahuan kita.[5] Apakah diungkap dalam pola
konseptual yang hebat atau sederhana, atau tidak diungkapkan, pengetahuan kita
tentang Allah adalah bentuk yang didalamnya Allah secara ideasional muncul
kepada kita masing-masing, dengan cara yang lebih atau kurang kaya. Semua tetap
saja tidak menjadi final atau lengkap, namun tidak dapat diabaikan juga.
Ideasional itu sendiri sudah tentu hanya hanya merupakan satu jenis bentuk di
antara bentuk lainnya; di dalamnya yang transenden itu ditangkap oleh dan
dikomunikasikan kepada manusia.
Walaupun demikian, melihat hal-hal tersebut
dengan cara demikian bagi Smith, tidak berarti menilai bahwa semua bentuk
akhrinya sama-sama sah, efektif atau dapat diterima. Sebaliknya, hal ini bagi
Smith menunjukan kepada kita bahwa tidak ada perbedaan prinsip dasariah antara
sebuah doktrin dan sebuah patung. Sehingga, tidak ada alasan secara kuat bagi
Smith untuk mengatakan mereka sebagai “penyembah berhala”. Sebab, kita bisa
keliru memahami apa yang sesungguhnya terlibat di antara mereka yang terlibat
di dalamnya.[6]
Karena hal yang demikian juga, kita tidak boleh menepisnya dan menganggap bahwa
hal itu konyol atau bodoh; sikap yang demikian ini hanya mencirikan kesombongan
iman kita. Suatu kebajikan keliru yang disebabkan oleh pemahaman keliru,
terdistorsi oleh penangkapan kesan yang salah.
Kenyataannya, kehidupan keagamaan berlangsung secara simbolis, dengan berbagai hal yang fana bertindak sebagai representasi simbolis atau saluran-saluran dari yang ilahi bagi kelompok-kelompok (mis: Agama Pemena) selama berabad-abad. Kita selalu memilih apa yang menurut kita baik, meskipun kita mungkin bisa keliru. Lalu, pantaskah jika pilihan tersebut kita orientasikan kepada semua kehidupan keagmaa semua komunitas?
Sedikit Catatan Tentang
GBKP dan Agama Pemena
Dalam penilitian yang dilakukan oleh GBKP
dan Staf Proyek Survey Menyelurh D.G.I yakni Dr. Farnk L. Cooley pada tahun
1976, terdapat beberapa prinsip pokok yang diikuti GBKP dalam menggumuli
soal-soal Agama Pemena yaitu: adat
yang memperbaiki masyarakat, yang berfungsi positif dalam kehidupan bersama, dipupuk. Adat yang ada hubungan dengan
kepercayaan terhadap dewa-dewa, arwah-arwah nenek moyang, roh-roh, dilawan oleh Gereja.[7] Dan hal ini tampaknya
terus berlangsung sampai tahun 1999. Menjadi menarik lagi, dalam ranah akademis
Ketua Sinodal GBKP (Moderamen) yang
menjabat sejak tahun 1991-2000, yakni Dr. E.P. Ginting, menuliskan dalam
bukunya yang Berjudul “Religi Karo”, masih menyebut Agama Pemena sebagai Agama Perbegu. Tidak hanya itu, agama ini juga
disebut sebagai bentuk kekafiran[8]. Padahal dalam sebuah
penelitian di GBKP si biru-biru, beberapa jemaat bahkan majelis yang meminta
bantuan dukun karo (Guru Sibaso). Apalagi dalam situasi kristis dan merasa
tidak ada pertolongan lain yang lebih efektif selain ke guru sibaso. Tindakan
tersebut, biasanya dilakukan secara tersembunyi agar tidak dipandang negatif
oleh Gereja. Pada saat di Gereja seluruh jemaat bertindak seakan tidak pernah
berhubungan dengan guru sibaso. Tidak sampai disitu saja, salah satu jemaat
dari GBKP Sibiru-biru ini juga salah satu dari guru sibaso itu.[9]Tidak hanya dalam GBKP
Sibiru-biru, Agama Pemena juga hidup
disekitaran kaki Gunung Sinabung. Ini dibuktikan dari ritual tolak bala yang
dilakukan dengan tujuan untuk menenangkan letusan Gunung Sinabung yang masih
aktif sampai saat ini[10]. Bahkan Agama Pemena ini-pun membentuk sebuah Pura Arih Ersada dan masuk dalam ajaran Hindu
yang menerima keberadaann Agama Pemena dan kearifan lokal Masyarkat Karo.[11]
Menanggapi fenomena ini, perlulah kita meninjau kembali makna kehadiran GBKP hadir di dunia ini. GBKP yang hadir bagi manusia yang tidak kosong. Aloysius Pieris, bahkan mengingatkan bahwa sebenarnya agama dan kebudayaan berjalan sepenuhnya seiring dalam masyarkat suku hampir di man-mana di Dunia Ketiga[12]. Sehingga dengan ini kebudayaan harus menjadi ungkapan agama yang beranekawarna. Karena agama-agama saling bertemu dalam dan melalui manifestasi – diri kebudayaan masing-masing, dihasilkan pembedaan yang hampir tidak tampak antara agama dan kebudayaan. Jadi orang dapat berbicara tentang agama dalam satu kebudayaan atau sebaliknya tentang agama dalam satu kebudayaan. Ranah pembicaraan ini, bisa dilakukan dalam bentuk Dialog Intra-Religius.
Dialog Intra-Religius
Raimundo Panikkar dalam salah satu bukunya
memilih judul “Dialog Intra-religius” dan
bukan ”Dialog Inter-religius”
(=dialog antar agama). Pemilihan judul tersebut, paling tidak menunjukkan
maksudnya, bahwa Panikkar bukan ingin menekankan dialog antar agama/antar umat
beragama melainkan dialog dengan pengalaman [diri] sendiri. Dialog Intrareligius adalah suatu dialog
batin dalam diri (saya) sendiri suatu perjumpaan dalam alam religius
pribadi saya yang paling dalam dan bersifat eksistensial.[13]
Petualangan dan peziarahan ini sudah pasti mengandung risiko[14]
bahkan dapat memunculkan suatu krisis
keagamaan[15],
karena setiap orang ditantang untuk berani melihat pengalamannya sendiri
secara lebih kritis, membuka tabir-tabir gelap yang penuh mitos dari
kepercayaan sendiri, yang sering menjadi tempat yang hangat dimana kedamaian
semu bersarang; atau menjadi benteng pertahanan yang tinggi dan kokoh untuk
mengkritik keberagamaan orang lain.[16]
Panikkar bahkan secara radikal menyebut petualangan ini sebagai “perjalanan yang penuh bahaya, sebab anda
bermain dengan hidup anda”. Konversi atau “pemilihan” keyakinan sangat
mungkin terjadi, sebab mungkin seseorang telah mendapatkan kenyataan ilahi yang
lebih luhur dalam diri Krisna daripada dalam diri Kristus.[17]
Namun sesungguhnya, jalan yang
mengerikan ini juga menjanjikan sebuah harta karun yaitu “pemurnian” menuju
kepada kesadaran akan identitas diri yang terbuka terhadap berbagai pengalaman
manusiawi yang mendasar dan menyelamatkan, tanpa memperlemah keyakinan mereka
akan keunikan dan kesetiaan terhadap panggilannya sendiri.[18]
Semua dimulai dari diri sendiri, dari hati yang mempersatukan akal budi dan
intuisi, intelegensia dan perasaan (khas spiritualitas dan filsafat Timur).
Oleh karena itu, harmoni dan ketenangan serta kedamaian hati merupakan
cita-cita tertinggi hidup yang sangat luhur.[19]
Lebih jauh, menurut Panikkar, dalam rangka merasakan kehadiran Tuhan, relfleksi
hening justru lebih bisa menghantar kita pada penghayatan ketuhanan, karena “keheningan adalah karakter Allah”.[20]
Gagasan yang menarik dari pikiran
Panikkar mengenai dialog adalah bahwa ia melihat dasar dialog yang hidup
hanyalah cinta yang membawa setiap kita yang berdialog kepada
yang kita cintai. [21] Panikkar ingin menekankan bahwa yang ia
bicarakan disini bukanlah dialog yang
dialektis yang sibuk membicarakan metode apa yang akan dipakai, namun dialog
yang dimaksud oleh Panikkar adalah dialog yang dialogis, yang merupakan
tindakan religius pada dirinya sendiri.[22]
Dialog yang berlandaskan cinta dan bersifat dialogis bukan dalam relasi
subjek-objek, namun dalam relasi subjek-subjek. Orang berdialog bukan tentang
sesuatu namun tentang diri mereka sendiri, sehingga setiap pihak harus
memandang dirinya dan yang lain apa adanya. Dialog yang dialogis tidak
semata-mata mendialogkan opini, apalagi doktrin. Ini adalah perjumpaan “diriku”
dan “dirimu” dan bukan “pikiranku” dan “pikiranmu”.
Panikkar menawarkan tiga macam model
yang dapat terjadi dalam dialog. Pertama,
model fisika: pelangi. Dimana
tradisi keagamaan manusia yang berbeda-beda seperti warna pelangi yang hampir
tak terbatas jumlahnya. Keberagaman agama merupakan keindahan dan kekayaan
manusia. Kedua, model geometri:
invariant topologis. Transformasi merupakan penyebab bentuk dan wujud yang
beragam dari sosok agama-agama yang berbeda. Ketiga, model antropologis: bahasa. Model ini menganggap setiap agama
sebgai suatu bahasa yang sangat luas, seluas kenyataan manusia. Oleh karena itu
setiap agama terbuka untuk bertumbuh dan berevolusi sebagaimana bahasa.[23]
Tujuan dialog intrareligius yang
berpusat pada batin atau hati (bahkan keheningan) adalah pemahaman, atau lebih
tepatnya pengakuan dan penerimaan akan realitas plural. Bukan untuk menonjolkan
superioritas, atau mencapai universalitas atau teologi universal, melainkan
komunikasi dan dialog yang menjembatani jurang tradisi masing-masing dengan
bahasa masing-masing. Dialog bukan bertujuan untuk keseragaman atau reduksi
perbedaan, melainkan penemuan eksistensi yang sebenarnya (otentik) dari
pribadi-pribadi yang beragama.[24]
Karenanya, menurut Panikkar dialog yang sehat adalah dialog yang saling
menyuburkan (inter-fertilisasi/Perichoresis),
dalam gerak saling memberi dan menerima.[25]
Oleh karena itu, menurut Panikkar, dialog yang sehat harus mengandung delapan
(8) prinsip dasar, yaitu: Bebas dari apologia khusus (tidak percaya kepada
patner dialog atau ingin menobatkannya); Bebas dari apologia umum (tidak
percaya pada kebenaran agama patner); Berani menghadapi tantangan pertobatan;
Dimensi historis penting namun tidak mencukupi (harus diimbangi dengan
perkembangan modern: penerimaan dimensi intuisi); Bukan sekadar kongres
Filsafat; Bukan sekadar simposium teologis; Bukan sekadar ambisi pemuka Agama;
dan Perjumpaan Agama itu berlangsung dalam Iman, Pengharapan dan Kasih. Menurut
Panikkar, pada tataran praktis dialog seharusnya: mengandaikan persiapan diri,
mengandaikan kepercayaan, dan kemampuan memilah masalah.[26]
Salah satu momen penting dalam teologi agama-agama adalah pembiacaraan rasional pada kancah teologis, langkah-langkah dalam tahap ini diuraikan oleh Raimon Panikkar sebagai berikut.
1.Orang mulai dengan pemahaman yang setia dan kritis mengenai tradisinya sendiri, suatu pemahaman yang dicapai dengan segala metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan yang kita kuasai: secara empiris, historis-kritis, filologis, fenomenologis, dll.
2.Memahami agama yang lain dengan cara yang sama
3.Pemahaman yang timbul kemudian menjadi keyakinan, yang terjadi adalah penemuan dan pengalaman keyakinan asli.
4.Selanjutnya terjadilah suatu dialog batiniah intra-religius antara dua keyakinan itu, sebagai hasilnya orang akan mencari bahasa bersama yang dapat mengungkapkan kebenaran dari kedua agama itu.
5.Dialog batiniah intra-religius berkembang pula menjadi dialog antar-religius ketika orang secara terbuka mengungkapkan interpretasinya yang baru kepada “wakil” dari tradisi lain itu.
6.Langkah 1-5 diandaikan bagi semua mitra dalam dialog.
7.Interpretasi-interpretasi baru diuji ortodoksonya dalam kedua tradisi itu. Jika ternyata tidak adekuat berarti perlu kembali kepada kancah pergumulan intra-religius dan kemudian mengulang kembali tahapan-tahapan tersebut.[27]
unsplash.com |
Penutup
GBKP hadir di dunia dan berhadapan dengan sesuatu yang tidak kosong. GBKP hadir dalam masyarakat Karo yang memiliki tata bicara, adat, iman dan kepercayaan yang dipengaruhi oleh Agama Pemena. Sehingga, GBKP tidak boleh menepis kenyataan tersebut dan menganggap bahwa hal itu konyol atau bodoh; sikap yang demikian ini hanya mencirikan kesombongan iman. Suatu kebajikan keliru yang disebabkan oleh pemahaman keliru, terdistorsi oleh penangkapan kesan yang salah. Karena realitanya, kehidupan keagamaan berlangsung secara simbolis, dengan berbagai hal yang fana bertindak sebagai representasi simbolis atau saluran-saluran dari yang ilahi bagi Gereja ataupun pada Agama Pemena juga. Kita selalu memilih apa yang menurut kita baik, meskipun kita mungkin bisa keliru. Untuk itu, baiklah bila GBKP dan Agama Pemena dapat membangun relasi dan berjalan seiringan untuk memberikan warna dalam teologia GBKP. Sebab hanya dengan relasi yang baik pula, GBKP dan Agama Pemena dapat saling memperkaya dan tetap hidup.
Daftar Pustaka
Ahmad Norma
Permata (ed), Metodologi Studi Agama, hal.
216.
Asemenintha,
Endhamya, Hubungan Dialektis Sebagai
Prinsip Misi Gereja Batak Karo Protestasn (GKBP) Birubiru Dalam Konteks
Budaya Karo yang Tidak Terpisahkan Dari
Agama Pemena,Yogyakarta : Skripsi S-1 Fakultas Teologia UKDW.
B.J. Banawiratma,
SJ., “Mengembangkan Teologi Agama-Agama”, dalam, Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di
Indonesia, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2007.
Dr. Frank L.
Cooley & Team Penelitian GBKP, Benih
yang Tumbuh IV : GBKP, Semarang:
PErcetakan Universitas Kristen Satya Wacaa, 1976)
E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata
yang Baru Kabanjahe:Abdi Karya, 1999
Herry Priono,
‘Nilai Budaya Barat dan Timur: Menuju Tata Hubungan Baru’ dalam Seri Filsafat Driyarkara: 4, Capita Selecta:
Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Panikkar,
Raimundo, Dialog Intra Religius, diedit
oleh A. Sudiarja, Yogyakarta: Kanisius,1994
Pieris, Aloysius, Berteologi Dalam Konteks Asia, Yogyakarta:Kanisius,1996
Simon, Jhon C, Merayakan Sang Liyan, Yogyakarta:
Kanisius, 2014
Smith, Wilfred
Cantwell, PEMBERHALAAN : Dalam Perspektif
Perbandingan, dalam Hick John & Paul F. Knitter, (peny.), Mitos Keunikan Agama Kristen, terj-
Stephen Suleeman, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001
[1] E.P.
Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo
dengan Mata yang Baru (Kabanjahe:Abdi Karya, 1999), hal.8
[2] Dr.
Frank L. Cooley & Team Penelitian GBKP, Benih
yang Tumbuh IV : GBKP, (Semarang:
PErcetakan Universitas Kristen Satya Wacaa, 1976), hal. 123
[3] Smith,
Wilfred Cantwell, PEMBERHALAAN : Dalam
Perspektif Perbandingan, dalam Hick John & Paul F. Knitter, (peny.), Mitos Keunikan Agama Kristen, terj-
Stephen Suleeman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hal.83
[4]
Smith, Wilfred Cantwell, PEMBERHALAAN :
Dalam Perspektif Perbandingan, hal. 88-89
[5] Smith,
Wilfred Cantwell, PEMBERHALAAN : Dalam
Perspektif Perbandingan, hal.89
[6] Smith,
Wilfred Cantwell, PEMBERHALAAN : Dalam
Perspektif Perbandingan, hal.92
[7]
Dr. Frank L. Cooley & Team Penelitian GBKP, Benih yang Tumbuh IV : GBKP,
hal.124
[8] E.P.
Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo
dengan Mata yang Baru , Ibid., hal.31
[9] Asemenintha,
Endhamya, Hubungan Dialektis Sebagai
Prinsip Misi Gereja Batak Karo Protestasn (GKBP) Birubiru Dalam Konteks
Budaya Karo yang Tidak Terpisahkan Dari
Agama Pemena,Yogyakarta : Skripsi S-1 Fakultas Teologia UKDW. hal. 4
[10] http://Sumutpos.co/pengungsi-memohon-raja-gunung-bujuk-penguasa-sinabung/
diakses tanggal 21 Mei 2016, jam 2:05 WIB
[11] http://www.majalahraditya.com/?page/detail-rubrik/14/harapan%20Pura%20Arih%20Ersada%20akan%20%20Lestarikan%20Tradisi%20Lokal
diakses tanggal 21 Mei 2016 jam 1:15 WIB
[12]
Pieris, Aloysius, Berteologi Dalam
Konteks Asia, (Yogyakarta:Kanisius,1996), h.162
[13] Panikkar,
Raimundo, Dialog Intra Religius, diedit
oleh A. Sudiarja, (Yogyakarta: Kanisius,1994), hal. 5; 80
[14] Panikkar,
Raimundo, Dialog Intra Religius, hal.
5
[15] Panikkar,
Raimundo, Dialog Intra Religius, hal.
46
[16] Panikkar,
Raimundo, Dialog Intra Religius, hal.
5
[17] Panikkar,
Raimundo, Dialog Intra Religius, hal.
50
[18] Panikkar,
Raimundo, Dialog Intra Religius, hal.
52
[19]
Herry Priono, ‘Nilai Budaya Barat dan Timur: Menuju Tata Hubungan Baru’ dalam Seri Filsafat Driyarkara: 4, Capita Selecta:
Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993,
hal. 5, 8
[20] Simon,
Jhon C, Merayakan Sang Liyan,(Yogyakarta:
Kanisius, 2014) hal. 166
[21]
Panikkar, Raimundo, Dialog Intra
Religius, hal. 75
[22] Panikkar,
Raimundo, Dialog Intra Religius, hal.
64
[23] Simon,
Jhon C, Merayakan Sang Liyan, hal.
168
[24] Panikkar,
Raimundo, Dialog Intra Religius, hal.
33-34
[25] Simon,
Jhon C, Merayakan Sang Liyan, hal.
169
[26] Panikkar,
Raimundo, Dialog Intra Religius, hal.
64-77
[27]
B.J. Banawiratma, SJ., “Mengembangkan Teologi Agama-Agama”, dalam, Tim
Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi
Agama-agama di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)., hal 45-46
Komentar