Featured Post
BAGAIMANA RESPON GEREJA DAN LITURGINYA DI MASA PASKAH 2021?
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Cosmic Timetraveler on Unsplash |
Masa Paskah kembali menyapa kita. Di masa Minggu Palmarum menuju Minggu Paskah, Gereja melakukan “Retreat Akbar” dengan merefleksikan makna hidup bersama Allah dan sesama. Rangkaian Liturgi harus diberikan, sebagai respon Gereja secara Proaktif dan Konkrit. Untuk membawa jemaat tetap berefleksi, juga tetap menghayati Masa Paskah tahun ini. Namun, sebelum Gereja menjawab hal tersebut; baiklah bila dalam kesempatan ini secara bersama-sama kita melihat beberapa catatan mengenai Liturgi Gereja, Fungsi dan Kondisinya saat ini.
Liturgi
secara teoritis tradisional seharusnya memenuhi fungsi umum dari sebuah ritual,
yaitu menjadi semacam upaya menyelesaikan ketegangan-ketegangan religius,
misalnya transisi antara yang sakral dan profan atau pemberian makna
substansial pada relasi manusia, sesama dan ‘Yang Ilahi’, seperti dalam ritual
ibadah minggu atau peran suami dan istri dalam sebuah pernikahan kristiani.
Tentu di sini ada nilai-nilai dan makna religius tertentu yang
melatarbelakangi, dipahami dan hidup di tengah pelaku liturgi tersebut. Karena
itu liturgi adalah sebuah ekspresi religius yang muncul berdasarkan pemahaman
kognitif religius yang sudah terbentuk sekian waktu dan kemudian dikonkretkan
dalam tindakan-tindakan praktis. Di sini kita melihat kaitan yang kuat antara
konsep apa yang dipercaya (belief) dan bagaimana kepercayaan itu dijalankan
(practice)[1].
Di dalam masyarakat tradisional atau pada masa di mana agama menjadi domain
yang mendominasi kehidupan sosial (ekonomi, politik, sosial dan budaya), apa
yang dipercaya (belief) dan bagaimana kepercayaan itu dijalankan (practice)
termasuk ritual dan liturgi di dalamnya seringkali diterima sebagai hal yang
sudah ada sedari awal (taken-for-granted). Dengan demikian juga lalu dipahami
sebagai yang harus dipertahankan sepanjang waktu sebagai keharusan dan
kepastian.
Dalam
berbagai perubahan di tengah kehidupan sosial, termasuk arus globalisasi dan
sekularisasi, dominasi dari satu domain menjadi tidak lagi relevan. Setiap
orang dan kelompok dapat berinteraksi serta saling mempengaruhi secara bebas
dan luas. Fungsi domain-domain sosial seperti ekonomi, politik, sosial dan
budaya pun menjadi semakin besar menghilangkan dominasi domain agama di tengah
masyarakat. Dalam teori sekularisasi tradisional kondisi ini biasa digambarkan
sebagai menyempit bahkan menghilangnya peran agama di tengah masyarakat. Tetapi
lebih jauh, para ahli ilmu sosial modern dan penelitian-penelitian empiris
kemudian mulai menyadari bahwa pendapat itu tidak sepenuhnya benar. Memang
terjadi perubahan dan identifikasi peran sosial pada masingmasing domain,
bahkan sebenarnya yang terjadi juga adalah proses saling mempengaruhi antar
domain sosial, misalnya domain politik mempengaruhi domain ekonomi, domain
ekonomi mempengaruhi domain budaya. Domain agama sendiri tidak terhindar dari
proses saling mempengaruhi dan pada akhirnya identifikasi peran secara baru, di
mana agama tidak lagi menjadi dominasi tunggal[2].
Dalam kondisi seperti ini, konsep taken-for-granted
untuk apapun nampaknya sudah tidak dapat diterima lagi, karena segala sesuatu
adalah hasil dari sebuah proses memahami dan dipahami. Niklas Luhman, seorang
sosiolog, menegaskan bahwa dalam masyarakat modern, peran domain agama yang
masih tetap diperlukan dan berfungsi sebenarnya adalah membangun religious communication, yang artinya
agama membangun proses komunikasi pada masyarakat termasuk di tengah-tengah
dominasi domain-domain sosial lainnya untuk menyampaikan pesan serta nilai
religius[3].
Penyampaian pesan religius di sini bukan untuk mendominasi tetapi untuk
memberikan tanggapan dan makna religius pada apa yang terjadi serta dilakukan
dalam domain-domain yang lain. Dalam konteks ini baik bila kita menyebutnya
sebagai ‘membangun proses dialog antara agama dan konteks serta kehidupan
sehari-hari’. Pemahaman ini tentunya juga berpengaruh pada bagaimana gereja
memahami keberadaan dan perannya. Dan konsekuensi dari peran komunikasi
religius ini bukan hanya pada pengertian ‘apa itu religious belief and
practice’ tetapi juga soal ‘bagaimana religious
belief and practice’ itu dipahami dalam suatu konteks.
Anthony
dalam tulisannya mengenai inkulturasi / kontekstualisasi memberikan penjelasan
yang menarik mengenai proses ‘bagaimana religious belief and practice’ terjadi.
Jika belief merupakan sistem makna dan nilai dari suatu agama, sedangkan
liturgi adalah salah satu unsur tindakan praktis dan merupakan aspek ekspresi
dari pemahaman agama tersebut, maka menurut Anthony, keduanya tidak bisa tidak
akan berinteraksi dengan sistem nilai dan ekpresi yang hidup di tengah
masyarakat. Sistem nilai suatu agama akan berjumpa dengan sistem nilai,
filosofi, ilmu yang hidup pada suatu budaya lokal di mana agama itu hidup.
Demikian juga liturgi akan berjumpa dengan ritual, simbol, seni, musik, tarian
dsb dalam suatu masyarakat. Dalam relasi dan komunikasi ini kedua sisi saling
mempengaruhi satu dengan yang lain, dan pada akhirnya terjadilah suatu proses
dialog / komunikasi. [4]
Ketika
pemahaman mengenai Tuhan yang secara tradisional lebih bersifat mistis-vertikal
berjumpa dengan pemahaman masyarakat modern yang lebih rasional dan menekankan
nilai-nilai kemanusiaan, sehingga kemudian perjumpaan ini dapat menghasilkan
pemahaman mengenai Tuhan yang mungkin lebih bersifat logis-horisontal. Pada
saat yang bersamaan liturgi sebagai wujud ekspresi keagamaan semestinya juga
tidak lagi mengekspresikan keberadaan Tuhan sama persis dengan pemahaman
teoritis tradisional. Persoalan menjembatani batas antara yang sakral dan
profan mungkin bukan lagi isu utama dalam liturgi gereja modern, tetapi seperti
yang sudah kita bahas di atas, bagaimana pemaknaan pada simbol-simbol dan
nilai-nilai keagamaan di dalam gereja yang harus kita bicarakan secara relevan
dengan dengan persoalan-persoalan dan kebutuhan yang dihadapi oleh warga gereja
. Dengan demikian, substansi pemahaman siapa manusia, sesama dan Tuhan, dan
mungkin perlu ditambahkan: lingkungan, merupakan hal yang relevan dalam liturgi
masa kini. Pada saat yang bersamaan, pemahaman mengenai ekspresi liturgi gereja
yang tradisional juga berinteraksi dengan cara-cara masyarakat modern
mengekspresikan dirinya, termasuk nyanyian, tarian, seni, gaya, metode dan
berbagai hal lain yang berkaitan dengan ekspresi budaya di tengah masyarakat.
Sampai di sini, maka Gereja tiba pada apa yang tidak dapat hindari, yaitu ketegangan antara apa yang dipahami mengenai liturgi secara teoritis-tradisional dengan apa yang menjadi fakta empirismodern. Ketegangan itu sendiri pada dirinya tidak pernah salah, apalagi dalam suatu proses komunikasi. Justru tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk sekedar mendukung gaya kontemporer atau sebaliknya mempertahankan gaya tradisional. Tetapi tulisan ini hendak memperlihatkan bahwa ketegangan-ketegangan yang terjadi dalam pembicaraan mengenai liturgi (jangan-jangan) ungkapan ketidakbersediaan Gereja untuk berkomunikasi dengan konteks masyarakat saat ini, dan hanya sekedar mempertahankan yang sudah ada sebagai keharusan dan kepastian.
Jika memang demikian maka persoalannya justru ada pada Gereja yang menjadi tidak kontekstual di tengah berbagai perubahan dan dinamika masyarakat. Atau sebaliknya ketika liturgi Gereja berubah-ubah secara pragmatis, sekedar menjadi pertunjukkan seni atau deretan lagu-lagu dan nyanyian tetapi kehilangan prinsip dan makna Pemahaman / nilai Kristiani Liturgi Pemahaman / nilai masyarakat umum Ekspresi masyarakat umum sebagai ekspresi dari komunikasi religius yang serius yang hendak dibangun oleh gereja di tengah masyarakat, maka kembali gereja sedang menghadapi persoalan pada hakikat keberadaannya. Dengan kata lain pula, GEREJA harus memiliki rancangan liturgi, bukan menyerah pada situasi dan kondisi. Gereja harus merespon secara proaktif dan konkrit, setiap fenomena-fenomena yang terjadi. Bukan menyerah pada keadaan!
[1] Robinson, Celebrating Unions. An Empirical Study of Notions about
Church Marriage Rituals (dissertation), Radboud University Nijmegen, The
Netherlands, (Remco: 2007), hal. 12-14.
[2] Berger, Peter L, “Orthodoxy and Global Pluralism”, in
Demokratizatsiya: The Journal of Post-Soviet, 2005
[3] Laermans, Rudi; Verschraegen, “The Late Niklas Luhman on Religion: An
Overview”, in Social Compass, 48 ,
(Gert; 2001), hal. 7-20
[4] Anthony, Francis-Vincent, “Ecclesial
Praxis of Inculturation”, Liberia Anteneo Salesiano, (Roma : 1997) , hal.
194-195.
Komentar