Featured Post

Catatan Khotbah Minggu 12 Mei 2024

Gambar
 Minggu Eksaudi : Begiken Min O Jahwe Warna Mbentar Invocatio          :  “(Pilipi 3 : 16)” Ogen                     :  Perbahanen Rasul Rasul 1 : 1 - 5  (Tunggal )     Khotbah            :  Masmur 31 : 1 – 5      (Responsoria )     Thema                 :  Pemindon Lako Iampang-ampangi Tuhan              Khotbah : Masmur 31 : 1 – 5     Masmur Daud. Ku Kam aku cicio o TUHAN ula pelepas aku kemalun. Kam kap Dibata si bujur, mindo aku, maka IkeliniNdu aku. Begiken min pertotonku pedas min Kam reh mulahi aku. Jadi min Kam deleng batu inganku cicio, kubungku si nteguh inganku terkawal. Kam kap ingan cebuni dingen bentengku, tegu-tegu dingen babai aku erkiteken GelarNdu. Tegu-tegu aku maka ula aku kena siding itogeng kalak man bangku. Ampang-ampangi aku maka ula aku kena cilaka. Pembukaan   Syalomm mejuah juah senina ras turang, Kidekah nggeluh manusia ibas doni enda, lit lalap perbeben.  Lit nge lalap kiniseran, kiniseraan si mengancam keselamatan ta.  Tapi lit ka nge jalan keluar,

BAGAIMANA RESPON GEREJA DAN LITURGINYA DI MASA PASKAH 2021?



 
Cosmic Timetraveler on Unsplash

Masa Paskah kembali menyapa kita. Di masa Minggu Palmarum menuju Minggu Paskah, Gereja melakukan “Retreat Akbar” dengan merefleksikan makna hidup bersama Allah dan sesama. Rangkaian Liturgi harus diberikan, sebagai respon Gereja secara Proaktif dan Konkrit. Untuk membawa jemaat tetap berefleksi, juga tetap menghayati Masa Paskah  tahun ini. Namun, sebelum Gereja menjawab hal tersebut; baiklah bila dalam kesempatan ini secara bersama-sama kita melihat beberapa catatan mengenai Liturgi Gereja, Fungsi dan Kondisinya saat ini.

Liturgi secara teoritis tradisional seharusnya memenuhi fungsi umum dari sebuah ritual, yaitu menjadi semacam upaya menyelesaikan ketegangan-ketegangan religius, misalnya transisi antara yang sakral dan profan atau pemberian makna substansial pada relasi manusia, sesama dan ‘Yang Ilahi’, seperti dalam ritual ibadah minggu atau peran suami dan istri dalam sebuah pernikahan kristiani. Tentu di sini ada nilai-nilai dan makna religius tertentu yang melatarbelakangi, dipahami dan hidup di tengah pelaku liturgi tersebut. Karena itu liturgi adalah sebuah ekspresi religius yang muncul berdasarkan pemahaman kognitif religius yang sudah terbentuk sekian waktu dan kemudian dikonkretkan dalam tindakan-tindakan praktis. Di sini kita melihat kaitan yang kuat antara konsep apa yang dipercaya (belief) dan bagaimana kepercayaan itu dijalankan (practice)[1]. Di dalam masyarakat tradisional atau pada masa di mana agama menjadi domain yang mendominasi kehidupan sosial (ekonomi, politik, sosial dan budaya), apa yang dipercaya (belief) dan bagaimana kepercayaan itu dijalankan (practice) termasuk ritual dan liturgi di dalamnya seringkali diterima sebagai hal yang sudah ada sedari awal (taken-for-granted). Dengan demikian juga lalu dipahami sebagai yang harus dipertahankan sepanjang waktu sebagai keharusan dan kepastian.

Dalam berbagai perubahan di tengah kehidupan sosial, termasuk arus globalisasi dan sekularisasi, dominasi dari satu domain menjadi tidak lagi relevan. Setiap orang dan kelompok dapat berinteraksi serta saling mempengaruhi secara bebas dan luas. Fungsi domain-domain sosial seperti ekonomi, politik, sosial dan budaya pun menjadi semakin besar menghilangkan dominasi domain agama di tengah masyarakat. Dalam teori sekularisasi tradisional kondisi ini biasa digambarkan sebagai menyempit bahkan menghilangnya peran agama di tengah masyarakat. Tetapi lebih jauh, para ahli ilmu sosial modern dan penelitian-penelitian empiris kemudian mulai menyadari bahwa pendapat itu tidak sepenuhnya benar. Memang terjadi perubahan dan identifikasi peran sosial pada masingmasing domain, bahkan sebenarnya yang terjadi juga adalah proses saling mempengaruhi antar domain sosial, misalnya domain politik mempengaruhi domain ekonomi, domain ekonomi mempengaruhi domain budaya. Domain agama sendiri tidak terhindar dari proses saling mempengaruhi dan pada akhirnya identifikasi peran secara baru, di mana agama tidak lagi menjadi dominasi tunggal[2]. Dalam kondisi seperti ini, konsep taken-for-granted untuk apapun nampaknya sudah tidak dapat diterima lagi, karena segala sesuatu adalah hasil dari sebuah proses memahami dan dipahami. Niklas Luhman, seorang sosiolog, menegaskan bahwa dalam masyarakat modern, peran domain agama yang masih tetap diperlukan dan berfungsi sebenarnya adalah membangun religious communication, yang artinya agama membangun proses komunikasi pada masyarakat termasuk di tengah-tengah dominasi domain-domain sosial lainnya untuk menyampaikan pesan serta nilai religius[3]. Penyampaian pesan religius di sini bukan untuk mendominasi tetapi untuk memberikan tanggapan dan makna religius pada apa yang terjadi serta dilakukan dalam domain-domain yang lain. Dalam konteks ini baik bila kita menyebutnya sebagai ‘membangun proses dialog antara agama dan konteks serta kehidupan sehari-hari’. Pemahaman ini tentunya juga berpengaruh pada bagaimana gereja memahami keberadaan dan perannya. Dan konsekuensi dari peran komunikasi religius ini bukan hanya pada pengertian ‘apa itu religious belief and practice’ tetapi juga soal ‘bagaimana religious belief and practice’ itu dipahami dalam suatu konteks.

Anthony dalam tulisannya mengenai inkulturasi / kontekstualisasi memberikan penjelasan yang menarik mengenai proses ‘bagaimana religious belief and practice’ terjadi. Jika belief merupakan sistem makna dan nilai dari suatu agama, sedangkan liturgi adalah salah satu unsur tindakan praktis dan merupakan aspek ekspresi dari pemahaman agama tersebut, maka menurut Anthony, keduanya tidak bisa tidak akan berinteraksi dengan sistem nilai dan ekpresi yang hidup di tengah masyarakat. Sistem nilai suatu agama akan berjumpa dengan sistem nilai, filosofi, ilmu yang hidup pada suatu budaya lokal di mana agama itu hidup. Demikian juga liturgi akan berjumpa dengan ritual, simbol, seni, musik, tarian dsb dalam suatu masyarakat. Dalam relasi dan komunikasi ini kedua sisi saling mempengaruhi satu dengan yang lain, dan pada akhirnya terjadilah suatu proses dialog / komunikasi. [4]

Ketika pemahaman mengenai Tuhan yang secara tradisional lebih bersifat mistis-vertikal berjumpa dengan pemahaman masyarakat modern yang lebih rasional dan menekankan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga kemudian perjumpaan ini dapat menghasilkan pemahaman mengenai Tuhan yang mungkin lebih bersifat logis-horisontal. Pada saat yang bersamaan liturgi sebagai wujud ekspresi keagamaan semestinya juga tidak lagi mengekspresikan keberadaan Tuhan sama persis dengan pemahaman teoritis tradisional. Persoalan menjembatani batas antara yang sakral dan profan mungkin bukan lagi isu utama dalam liturgi gereja modern, tetapi seperti yang sudah kita bahas di atas, bagaimana pemaknaan pada simbol-simbol dan nilai-nilai keagamaan di dalam gereja yang harus kita bicarakan secara relevan dengan dengan persoalan-persoalan dan kebutuhan yang dihadapi oleh warga gereja . Dengan demikian, substansi pemahaman siapa manusia, sesama dan Tuhan, dan mungkin perlu ditambahkan: lingkungan, merupakan hal yang relevan dalam liturgi masa kini. Pada saat yang bersamaan, pemahaman mengenai ekspresi liturgi gereja yang tradisional juga berinteraksi dengan cara-cara masyarakat modern mengekspresikan dirinya, termasuk nyanyian, tarian, seni, gaya, metode dan berbagai hal lain yang berkaitan dengan ekspresi budaya di tengah masyarakat.

Sampai di sini, maka Gereja tiba pada apa yang tidak dapat hindari, yaitu ketegangan antara apa yang dipahami mengenai liturgi secara teoritis-tradisional dengan apa yang menjadi fakta empirismodern. Ketegangan itu sendiri pada dirinya tidak pernah salah, apalagi dalam suatu proses komunikasi. Justru tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk sekedar mendukung gaya kontemporer atau sebaliknya mempertahankan gaya tradisional. Tetapi tulisan ini hendak memperlihatkan bahwa ketegangan-ketegangan yang terjadi dalam pembicaraan mengenai liturgi (jangan-jangan) ungkapan ketidakbersediaan Gereja untuk berkomunikasi dengan konteks masyarakat saat ini, dan hanya sekedar mempertahankan yang sudah ada sebagai keharusan dan kepastian. 

Jika memang demikian maka persoalannya justru ada pada Gereja yang menjadi tidak kontekstual di tengah berbagai perubahan dan dinamika masyarakat. Atau sebaliknya ketika liturgi Gereja berubah-ubah secara pragmatis, sekedar menjadi pertunjukkan seni atau deretan lagu-lagu dan nyanyian tetapi kehilangan prinsip dan makna Pemahaman / nilai Kristiani Liturgi Pemahaman / nilai masyarakat umum Ekspresi masyarakat umum sebagai ekspresi dari komunikasi religius yang serius yang hendak dibangun oleh gereja di tengah masyarakat, maka kembali gereja sedang menghadapi persoalan pada hakikat keberadaannya. Dengan kata lain pula, GEREJA harus memiliki rancangan liturgi, bukan menyerah pada situasi dan kondisi. Gereja harus merespon secara proaktif dan konkrit, setiap fenomena-fenomena yang terjadi. Bukan menyerah pada keadaan!


[1] Robinson, Celebrating Unions. An Empirical Study of Notions about Church Marriage Rituals (dissertation), Radboud University Nijmegen, The Netherlands, (Remco: 2007), hal. 12-14.

[2] Berger, Peter L, “Orthodoxy and Global Pluralism”, in Demokratizatsiya: The Journal of Post-Soviet, 2005

[3] Laermans, Rudi; Verschraegen, “The Late Niklas Luhman on Religion: An Overview”, in Social Compass, 48 ,  (Gert; 2001), hal. 7-20

[4] Anthony, Francis-Vincent, “Ecclesial Praxis of Inculturation”, Liberia Anteneo Salesiano, (Roma : 1997) , hal. 194-195.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indah Pada Waktunya / Pengkhotbah 3:11-15 ( Pekan Penatalayanan Hari Keempat)

Catatan Tambahan PJJ 1 – 7 Oktober 2023

Catatan Tambahan PJJ 27 Agustus – 2 September 2023