Catatan Tambahan PJJ 16 - 22 Maret 2025

Seorang pengusaha atau mungkin politisi yang berbusana necis mengiming-imingi tulang pada seekor anjing yang sudah ia gergaji kakinya (BANKSY) |
Minggu ini kita masuk
kepada Minggu Passion ke 4, yang sering disebut Minggu Okuli yang artinya
“Mataku Tetap Terarah kepada Tuhan” (Mazmur 25 : 15). Ini diucapkan oleh
Pemazmur, seorang yang percaya dan tetap mengandalkan Tuhan dalam kehidupannya
sekalipun ia mengalami begitu banyak penderitaan, godaan, kesulitan bahkan
kematian yang menanti. Situasi hidup bisa berubah-ubah, tetapi iman dan
pengharapan kepada Allah tidak boleh berubah.
Dalam bahan yang
menjadi refleksi kita saat ini, yakni setelah bangsa Israel diizinkan
meninggalkan Mesir, mereka harus menempuh perjalanan panjang di gurun pasir
menuju tanah Perjanjian yang telah dijanjikan Allah bagi bangsaNya. Didalam
penyertaan dan pemeliharaan Allah, bangsa Israel menghadapi dan melewati
berbagai kedaan. Allah senantiasa menunjukkan dan menyatakan kasih setianya
bagi bangsa Israel yang tidak jarang memberontak kepada Allah. Ketika Bangsa
Israel tiba di gunung Sinai, Allah memberikan 10 hukum Taurat bagi bangsaNya
melalui pemimpin mereka Musa. Hukum ini sering juga disebut hukum
Musa (Ibrani “Torah”), yang dapat dibagi menjadi 3 yaitu : a). Hukum Moral yang
berisi peratura-peraturan Allah bagi umatNya untuk hidup kudus, b). Hukum
Perdata byang berisi hukum sosial masyarakat bangsa Israel, dan c). Hukum
Upacara yang memaparkan tentang bentuk dan upacara penyembahan umat kepada
Allah, termasuk tentang korban persembahan.
Hukum ini diberikan
kepada umatNya dalam hubungan perjanjian yang dibuat Allah bagi umatNya; dimana
Allah telah dan akan tetap menepati janjiNya, memberkati, menyertai dan
memelihara kehidupan umatNya. UmatNya harus merespon itu dengan relasi yang
baik dengan Allah dan juga sesamanya, mereka harus hidup dalam ketaatan dan
kesetiaan kepada Allah yang memiliki mereka. Ketaatan dan kesetiaan Israel
berdasar kepada kemurahan Allah yang telah menyelamatkan mereka
Perlu digarisbawahi
bahwa Allah memang telah dan akan tetap menepati janjiNya, memberkati,
menyertai dan memelihara kehidupan umatNya yang menaati hukumNya. Namun, ini tidak
berarti maka semua hal yang diminta manusia dapat dikabulkan oleh Allah begitu
saja. Karena aturan itu bukanlah syarat agar umat dikasihi oleh Allah,
sebaliknya dari semula Allah telah mengasihi umat manusia. Sehingga, Dia pula
yang paling mengetahui rancangan terbaik untuk umat manusia.
Tugas kita saat ini
seperti bangsa Israel yang menderita dalam perjalanan panjangnya menuju tanah
perjanjian. Sepuluh Hukum ini diingatkan kembali kepada kita, bukan sebagai
pembatas. Sebaliknya, hal ini diingatkan agar kita dalam masa penderitaan dan
pencobaan yang sedang kita alami saat ini, kita tidak terjatuh dalam dosa.
Bahkan lebih dari itu,
kita diajak pula untuk menggenapi Hukum tersebut. Adapun yang dimaksud
menggenapi Hukum itu seperti Andar Ismail berpendapat bahwa menggenapi berarti
memberi arti yang betul betul berbeda daripada yang semula. Perhatikan
kalimat-kalimat contoh yang diucapkan Yesus, “Kamu telah mendengar…tetapi aku
berkata..” (bdk Mat. 5:17-18). Konteks itu, bagi Andar Ismail memperlihatkan
Yesus menggenapi Taurat dengan memberi arti yang mendasar dari apa yang
tersurat. Atau dengan kata lain, Andar Ismail ingin kita melihat seluruh Taurat
dari perspektif Yesus bukan secara harafiah
Sederhananya seperti
ini, diantara kita mungkin ingat dan pernah mengucapkan sajak, “Disini dosa, disana dosa, dimana-mana ada dosa”. Sajak yang sering kali disukai banyak para pendeta, karena
puisi ini banyak orang mengaku dosa dan memberikan perpuluhan. Semoga, itu
hanya terjadi dulu dan tidak lagi terjadi untuk saat ini. Menuruti dan
bertobat? Siapakah yang benar-benar mampu menuruti semua hukum dan firman
Allah. Begitulah pertanyaan yang ada dalam benak saya, ketika mendengar tema
ini. Sebab hukum-hukum Tuhan adalah sempurna, dia bukanlah hukum yang
diciptakan oleh manusia. Jika hukum manusia dia bisa akan membawa orang yang
tak bersalah sekalipun kedalam penjara, karena kepentingannya. Namun bisa pula
memasukan orang-orang terdekatnya karena hukum yang telah dibuat olehnya.
Sementara yang saya imani, bahwa Yesus tidak
mengajarkan orang bagaimana caranya menaati hukum-hukum Allah secara sempurna, atau bagaimana
kiatnya agar dapat hidup tanpa berbuat salah, melainkan mengajak orang untuk Meninggalkan hubungan yuridis-formal
dengan Allah, dan menawarkan suatu kaidah yang baru, yaitu hubungan kasih, hubungan kekeluargaan. Bahkan saya juga menagalami bahwa Allah bukanlah hakim atau petugas hukum yang kerjanya mengawasi
tingkah laku kita sambil memeriksa ayat-ayat kita undang-undang, melainkan
sebagai bapa yang memandang dengan penuh kasih kepada anak-anaknya. Tapi yang
menjadi pertanyaan adalah, mengapa anak-anaknya yang mengaku sebagai hamba
Tuhan justru menjadi petugas-petugas hukum yang baru di tengah-tengah dunia
saat ini, dengan mengatakan “Disini dosa, disana dosa, dimana-mana dosa”.
Demikian jugalah Kekristenan hadir saat ini, bukan untuk menjadi alat yang
memilah-milah bahwa hal ini benar atau salah. Sebab kehadiran Gereja yang
demikian, membuat banyak orang tidak ingin lagi hadir ke Gereja. Seperti kisah
seorang Ibu yang memiliki anak sakit parah. Kemudian orang-orang di dalam
Gereja mendatangi dia dan berkata, bila engkau punya salah dan dosa.
Mengakulah! Sebab itu yang membuat Tuhan tidak menyembuhkan anakmu. Atau
seperti kisah seorang jemaat yang anak pertamanya harus meninggal, karena
kecelakaan. Kemudian dengan pandainya seorang pelayan Tuhan mengatakan,
“Bertobatlah! Ini semua karena dosamu! Mungkin kita benar dalam beberapa hal. Tapi jangan
pernah merasa benar, sebab saat itu kita sudah menjadi salah.
Hukum dan peraturan itu harus digunakan dalam semangat kasih dan
kemanusiaan. Sehingga hal ini akan berguna untuk memberi kekuatan yang lemah,
untuk membantu menyadarkan kekeliruan orang lain, untuk menggugah kepedulian,
juga untuk memberi keberanian mereka yang benar. Karena itu juga, hukum akan
selalu berdampingan pada pengampunan dan kerelaan. Sama seperti Allah yang
memberikan kasihnya kepada orang Israel, daripada harus menghukum orang Israel,
ia lebih memilih mengampuni tanpa tuntutan sekalipun.
Namun bukan berarti, setiap orang tidak perlu mengikuti hukum dan aturan
karena telah hidup sebagai Gereja yang penuh kasih kekeluargaan. Bukan seperti
itu! Setiap orang juga perlu turut dan taat kepada hukum. Tapi bukan taat,
karena tidak paham akan aturan. Sebaliknya, sadar kalau hukum dan aturan itu
berlandaskan kasih-kekeluargaan pula. Sehingga kemanusiaan ataupun kasih tidak
melampaui hukum, keduanya berjalan berdampingan. Sebab, kemanusiaan tanpa
aturan bisa menjadi kebablasan juga.
Lalu, jika Tuhan memang bukan petugas hukum. Mungkin pertanyaan yang muncul
adalah mengapa Tuhan ngambek pada
Israel, jika memang dia bukan sebagai petugas hukum? Saya tidak ingin membahas
hal ini lebih jauh, sebab ini bagian dari bahasa teologis. Sementara saya
bukanlah seorang profesor yang maha tahu soal, fiksi dan fiktif dari sebuah
Alkitab. Namun dari kisah ini, penulis bisa memberikan bahasa yang sangat
sederhana sehingga kita bisa memahami mengapa kita harus turut dan bertobat.
Bahkan memahami, hubungan kasih-kekeluargaan itu. Sebab Tuhanpun seperti orang
tua yang memberikan pengajaran kepaada anak-anaknya dengan membiarkan
anak-anaknya, untuk mengikuti apa kemauan anaknya sendiri seperti yang dia
inginkan. Sebab orang tua tersebut juga merasakan lelah untuk memberitahukan
kepadanya terus menerus. Jadi bukan sebagai petugas hukum. Persis, seperti
perumpamaan Yesus tentang anak sulung.
Sebab, orang tua sekalipun ia salah maka anaknya akan menjadi orang yang kuat.
Tetapi, jikapun anaknya salah, ia akan selalu memberikan tangan dan peluka yang
terbuka untuk anaknya.
Namun, beruntung kita karena Tuhan bukanlah mamak-mamak boru batak, mau
batak apapun itu, tobakah? karokah? Kalau sudah ngambek, mampuslah. Haruslah
kita pintar-pintar merayunya. Makanya laki-laki batak itu harus pintar seni.
Sebab itu, tuntutan untuk bisa merayu boru batak yang tidak menangis. Sebab
kalau boru batak menangis dan mengambek, udahlah muncul lagilah danau toba yang
baru. Tetapi kita tahu, Tuhan kita, memang Tuhan yang perasa, tapi dia juga
pemaaf seperti mamak-mamak batak yang selalu memberikan kata maaf kepada
anak-anaknya. Sebandal apapun itu, mamaklah yang lebih dahulu memberikan
pengampunan kepada anak-anaknya.
Komentar