Featured Post
VALENTINE ITU BUDAYA SIAPA?
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Photo by Jonathan Borba on Unsplash |
Setiap tanggal 14 Febuari, kita akan selalu melihat banyak topik-topik yang
dibicarakan adalah Valentine. Kali ini, hastag yang paling tranding sepertinya
mengenai #Valentinebukanbudayakita. Karena itu, saya ingin mengkritisi kembali
hastag ini. Benarkah demikian? Sebab bagi saya valentine itu merupakan budaya
kita, budaya Indonesia. Tergantung dari bagaimana cara kita melihat hal
ini. Namun, saya tidak ingin membahas hal ini dari segi sejarah ataupun
ritus-ritus tertentu.
Sebab anda tidak bisa mengatakan suatu “Benda” ini berasal dari A dan
mengembalikannya kembali kepada A. Apabila “Benda” itu sendiri sudah
dikonfirmasi dan diterima oleh masyarakat secara luas dengan cara mereka
masing-masing. Terlebih, sibuk mengatakan bahwa perayaan ini bukan soal kasih
sayang, melainkan kematian. Anda tidak bisa memberikan kesimpulan itu terlalu
cepat. Sebab, bisa saja anda fokus pada kematiannya, sementara mereka diluar
sana lebih memilih untuk melihat bagaimana perjuangan untuk pengutaraan cinta
dan mewujudkannya dalam pengorbanan.
Bagi beberapa orang, valentine hanya akan mendatangkan musibah, karena
naiknya tindakana seks bebas dikalangan masyarakat. Sementara para petani biji
coklat dan penjual bunga merasa hari valentine sebagai hari yang memberkahinya.
Karena harga biji coklat dan bunga yang ikut menaik. Jadi ini, memang tentang
bagaimana cara kita melihat dan memandang perayaan ini. Demikianlah, saya
berharap anda bisa sepakat dengan saya, lebih dulu mengenai poin ini. Sebab
saya akan menggunakan dasar pemikiran ini untuk melihat beberapa hal
selanjutnya yang terjadi dalam suatu perayaan valentine.
Saya sering ikut gabung dengan berbagai macam perayaan-perayaan valentine
yang diselenggarakan dalam Gereja. Sampai saat ini, saya belum pernah melihat
perayaan-perayaan ini mengarah pada sesuatu yang sifatnya sering ditakutkan
oleh beberapa orang. Saya juga, pernah beberapa kali mengikuti event-event
mengenai valentine di luar Gereja. Itu juga, belum pernah saya melihat sesuatu
yang melebihi batas wajar, semua masih terkendali. Walaupun saya menyadari,
bahwa setelahnya ada beberapa teman yang juga jatuh pada hasrat seksualnya.
Tapi, sangat naif bila kita menyangkutkan ini pada perayaan valentine saja.
Sebab, setiap haripun ada banyak kalangan muda yang melakukan seks bebas, tanpa
harus menunggu hari valentine. Jadi, bila anda mengatakan bahwa valentine
menjadi faktor utamanya, maka saran saya, kopdarlah sebentar. Nanti, kita akan
mengerti dan memahaminya, jangan hidup dalam ketakutan dan menilainya dengan
apa kata orang. Sebab, tidak semua kacamata orang bisa anda pergunakan untuk
diri anda sendiri.
Sadar atau tidaknya, valentine menjadi populer juga karena ada peran media
yang begitu besar padanya. Sehingga setiap kalangan bisa melihat
perayaan-perayaan ini secara bebas. Terlebih kalangan kita yang melihat
drama-drama yang menggambarkan perayaan valentine ini dengan antusias dan
mengaplikasikannya secara langsung. Dengan kata lain, setiap dari kita yang
merayakan valentine ini bukan seperti seorang yang sedang dipaksakan mengenakan
gaun yang tidak disukainya, tetapi sedang memakaikan sesuatu yang memang dia
senangi dan sukai. Karena itu, bila anda ingin mengkritisinya, silahkan saja.
Tapi anda harus memahami, bahwa perayaan inipun bukanlah perasaan. Bahkan tidak
ada pemaksaan dari pemerintah untuk mengajak kita dan membuatnya jadi hari
libur nasional, bukan?
Saya setuju, bila valentine didefinisikan sebagai perayaan untuk kita
“bercinta”. Saya sengaja memberikan tanda kutip pada kata “bercinta”. Sebab,
kata ini sepertinya memiliki definisi yang terlalu negatif untuk kalangan kita.
Seolah-olah bercinta dengan bersenggama adalah kata yang sama. Padahal
seseorang yang bercinta, dikarenakan adanya komitmen untuk saling mengikatkan
diri. Sementara tanpa komitmen apapun orang bisa bersenggama. Karena itu,
bersenggama bukanlah bercinta, bahasa Indonesia justru hanya akan dipersempit
oleh hal itu. Sementara mereka yang merayakan cinta itu bukanlah kumpulan
orang-orang yang beranggapan bahwa daya tarik fisik atau seksual itu sebagai
yang utama. Sebab mereka yang merayakan cinta, menyadari daya tarik memang
berdasar, namun tidak berakar, sehingga sulit bertahan, apalagi bertumbuh dan
bertambah. Karena itu, merayakan cinta memang harus dilakukan untuk setiap
harinya. Sekalipun disisi berbeda, mengambil satu “momen” untuk bercinta, itu
benar-benar memberikan kesempatan untuk kita lebih ekspresif dalam
mengungkapkannya. Jadi apakah, hari lainnya kita tidak lebih ekspresif? Anda
juga bisa lebih ekspresif untuk hari setelahnya. Seperti halnya dengan Hari
Ibu. Setiap waktunya bagi saya adalah hari Ibu, sebab Ibu yang membantu Sang
Cinta menghadirkan saya di dunia. Lalu mengapa kita memilih untuk tetap
merayakan momen “Hari Ibu” dan mengabaikan perayaan valentine? Justru karena
kita menyadari, momen hari Ibu dan valentine sudah mulai hidup dalam budaya
kita. Sehingga kita mau, untuk terus merayakannya.
Ya, memang begitulah. Ini hanya moment dan budaya yang ditawarkan. Anda
mampu menerima karena anda sendiri yang mengkonfirmasinya, tanpa pemaksaan
sedikitpun. Tetapi, perlu diingat juga, bahwa rayakan dan ekspresikan cintamu
dengan benar-benar matang. Sebab perayaan valentine juga tidak akan berarti
sama sekali bila cinta yang engkau rayakan hanyalah “setengah matang” yang
justru hanya menawarkan kesenangan dan ekspresi-ekspresi biasa saja. Padahal
cinta yang lebih matang menunjukkan kenyataan berupa pengorbanan menanggung
rasa pedih. Ya, seperti banyak sejarahwan yang menceritakan kisah valentine
ini. Ada pengorbanan untuk menanggung rasa pedih yang begitu kuat. Bahkan Sang
Cintapun mengajarkan hal itu untuk kita, dalam bentuk penyerahan diri dan
pengorbanannya dalam rupa insan.
Mereka yang merayakan ini, diajak untuk benar-benar menyadari bahwa cinta itu
bukan hanya perasaan. Apalagi sekedar ucapan. Cinta adalah Iktikad baik dan
komitmen yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan yang konkret. Itu budaya kita,
budaya merayakan cinta dengan wujud dan perbuatan nyata kepada setiap orang.
Bahkan karena setiap dari kita terbiasa merayakan cinta, maka kita masih mampu
bersatu dengan yang lainnya dalam bentuk kasih dan penghargaan yang besar pada
setiap insan.
Lalu, mengapa harus marah bila setiap orang ingin merayakan valentine?
Bukankah Valentine hanyalah tawaran dan ajakan pada satu moment saja. Ini
hanyalah istilah yang orang mengerti tentang moment dimana kita mampu merayakan
cinta itu. Atau saya sedang curiga, bila ini memang betul bukan budayamu,
karena anda tidak terbiasa menyediakan momen untuk benar-benar merayakan cinta
itu?
Komentar