Catatan Tambahan PJJ 16 - 22 Maret 2025

Jika atau entah bagaimana, orang yang kita sebut “pembuat onar” datang ke bisnis Anda, keluarga Anda, atau Anda lahir bersama mereka, mereka anggota keluarga Anda, atau Anda jadi guru mereka, atau mereka muncul begitu saja dalam hidup Anda, apa yang bisa Anda lakukan? Bukankah ini adalah masalah yang setiap dari kita harus hadapi dari waktu ke waktu: berurusan dengan orang yang kita sebut sebagai “pembuat onar”.
Bagaimana perasaan kira
dalam situasi tersebut? Marah, merancang pembalasan, benci, dendam, dan kalau
ada orang yang duduk dan mendukung kita mungkin kita akan mengajaknya untuk
membenci orang yang membuat onar tersebut. Bahkan tidak jarang diantara kita
merancangkan pembalasan jahat terlepas apakah ia akan melakukan rancangan
pembalasan itu atau hanya memikirkannya saja tetapi kemarahannya membuat
hatinya tidak tentram.
Berbeda dengan sikap
Yesus yang penuh kasih itu, mengetahui bahwa Yudas telah menghinatiNya dan
tetap pergi untuk menyerahkanNya walaupun sebelumnya Yesus telah
memperingatinya. Pastilah Yesus sedih dengan sikap penghianatan Yudas, tapi
demi misi Kerajaan Allah Yesus menerima dan memandang yang dilakukan Yudas
tersebut adalah saat dimana Yesus akan dipermuliakan, dan Ia mempermuliakan
Allah. Kesetiaan kepada Allah membuat Yesus bersikap rela menghadapi
penderitaan untuk memuliakan Allah. Penghianatan yang dilakukan Yudas dilihat
Yesus dengan kaca mata misi Allah, bahwa saat kematian yang semakin dekat
adalah saat kemuliaan Yesus yang semakin dekat.
Loh apa hubungannya dengan sikap kita pada orang yang hadir
sebagai “pembuat onar”?
Sejatinya apa yang kita fikirkan, percayai dan lakukan
itulah yang membentuk siapa kita. Menerima bahwa orang yang kita sebut “pembuat
onar” itu sebagai bagian dari hidup itulah yang Yesus perlihatkan kepada kita. Alih-alih
menjadi galau sendiri, “Aku tidak menginginkan ini.. ini salah! Mengapa aku
harus berurusan dengan ini? Mengapa harus saya?” Ketimbang segala macam
pemikiran negatif yang bikin masalah tambah rumit, kadanag kita cukup belajar
cara hidup yang berdamai bersama orang yang kita sebut sebagai “pembuat onar”
itu.
Sebab, pada akhirnya bila kita mengasihi orang lain
semata-mata didasarkan atas tingkah laku, mungkin tidak akan ada orang yang
pernah merasa dicintai. Karena, kitapun mengetahui bahwa hari ini mungkin kita
dikecewakan orang lain, tapi esok bisa saja kita mengecewakan orang lain. Bukan
hal yang tidak mungkin, kan? Karena setiap harinya kita tidak bisa menyenangkan
siapapun. Persis seperti saat Yesus memberikan teladan juga pengajaran berharga
bagi murid-murid dan pengikutnya. Pelayanan baik itupun direspon dengan negatif
koq, bahkan oleh muridnya sendiri
yakni Yudas Iskariot..
Alhasil dari kisah ini, Yesus menunjukkan kepada kita Sikap
yang mengajak kita untuk tidak mengubah cara berfikir orang lain, tapi
memperoleh pola pikir / perspektif untuk membebaskan orang lain dari tuduhan.
Bukan berarti kita menyembunyikan kepala di pasir, berpura-pura bahwa segalanya
indah, membiarkan orang lain “menginjak-injak” kita, atau memaafkan atau menyetujui
tingkah laku negatifnya kepada kita. Tetapi memberikan mereka pengampunan
seperti doa Yesus saat di atas Kayu Salib. Atau dengan kata lain mencoba
melihat apa yang tersembunyi di balik tingkah laku dari orang-orang yang kita
sebut sebagai “pembuat onar”. Jangan-jangan mereka berbuat kesalahan tersebut
karena ketidaktahuan mereka; jangan-jangan mereka berbuat onar hanya untuk
mencari perhatian kita; jangan-jangan mereka tidak bermaksud mengecewakan kita
tetapi situasilah yang memaksa mereka berlaku sesuatu yang mengecewakan kita.
Apapun bisa menjadi faktornya, daripada memenjarakan diri kita dengan emosi
negatif juga memenjarakan orang lain dengan tuduhan. Bukankah, melihat apa yang
tersembunyi di balik tingkah laku seseorang akan memberikan kita rasa
kepedulian daripada kebencian yang justru akan melelahkan?
Lanjutnya, ada sebuah
kisah dari David Doubilet, seorang fotojurnalis [seseorang yang menyajikan
berita dengan menonjolkan foto-foto]. Dalam hasil pemotretannya terhadap dunia
bawah air, makhluk laut yang jelek dan bermata seperti serangga dapat tampil
sebagai karya seni yang indah. Namun meski menerima banyak penghargaan, ia
pernah juga dikritik oleh para pecinta lingkungan hidup karena tidak melakukan
jurnalisme yang mendukung pelestarian lingkungan. Misalnya dengan mengambil
foto ikan-ikan yang mati, pantai-pantai yang kotor, atau laut-laut yang
tercemar.
Namun ia yakin ada cara
yang lebih baik untuk membuat orang peduli lingkungan. Tidak dengan
memperlihatkan kerusakan yang dibuat manusia, namun sebaliknys justru dengan
memperlihatkan keindahan ciptaan Allah.
Sebagian orang Kristen
tampaknya juga berpikir bahwa cara terbaik untuk menarik orang kepada Kristus
adalah dengan mengungkapkan hal-hal yang jahat. Tetapi Yesus memperlihatkan
cara yang lebih baik. Walaupun Dia tidak menutupi bahwa manusia juga banyak
berbuat dosa (Matius
15:18-20), sebelum peristiwa salib Dia berkata kepada para pengikut-Nya,
"Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku,
yaitu jikalau kamu saling mengasihi" (Yohanes
13:35). Kita akan menjadi saksi Kristus yang lebih efektif bila kita
memperlihatkan hal-hal yang baik yang dikerjakan Allah dalam diri kita, dan
bukannya melukiskan keburukan manusia.
"Pada akhirnya," kata Doubilet, "Yang paling tepat untuk dilakukan adalah membuat orang lain kagum." Apalagi yang lebih mengagumkan bagi dunia selain adanya orang Kristen yang sungguh-sungguh mengasihi satu sama lain?
Komentar