Catatan Tambahan PJJ 16 - 22 Februari 2025

Oleh
M. Tempel Tarigan
Sebagaimana cerita saya tentang bulang saya yang perbual
atau pintar erbual .... Ternyata dia juga sangat kreatif. Usai Agresi kedua
Belanda atau orang karo
mengistilahkan molih mengongsi, ia
membuka pajak nasi di Tiganderket. Tempatnya di Losd Tiganderket. Losd ini saya
tidak tahu kapan dibangunnya, apakah di zaman Jepang atau di zaman Belanda ... Lagi-lagi
terminologi ini dalam bahasa Karo. Namun
Losd ini sampai sekarang, masih berdiri kokoh walau pun sudah berumur hampir
seratus tahun.
Sekolah Rakyat juga sudah dibuka di Tiganderket yang
muridnya berasal dari kampung sekitar atau meliputi sekecamatan Payong
(sekarang sudah dimekarkan menjadi dua kecamatan). Murid-muridnya se-kecamatan
Payong dan sekecamatan Tiganderket, yang pekannya di hari Kamis.
Membaca situasi itu bahwa anak-anak sekolah bisa kelaparan
kalau tidak ada orang yang jualan nasi, lalu bulangku bikin usaha pajak nasi
yang berlokasi di Losd Tiganderket. Sasaran
pembelinya, selain anak-anak sekolah, juga orang-orang yang sedang berkunjung ke
ibukota kecamatan untuk satu urusan. Dinilai dari sisi ekonomi, sebenarnya
hampir tidak ada untung, karena uang yang beredar pun sedikit, karena saat itu,
peredaran uang sangat terbatas sebab sehabis perang. Tapi di situlah kehebatan
bulang saya .... Pajak nasi beliau berdiri tanpa modal. Bagaimana bisa?
Begini ceritanya ... Ribu saya pagi-pagi sekali sudah pergi
ke sawah. Lalu ia mengambil daun bulong
gadong, pucok, ropah, tarok, kacang panjang, lacina dan lain-lainnya. Dan
diambil juga daun pisang sebagai pengganti piring. Bulang saya juga pergi
menjala ke borus, sambil ngelar siding yang dipasang malamnya untuk menangkap
tikus, burung, atau hasil kawil bado atau itek. Sementara jering, parira
diambil dari reba. Jadi nyaris tanpa modal. Dan bahan-bahan tersebut dimasak
Ribu saya dengan menggunakan api kayu
bakar. Lalu setelah matang semua, dari Tanjongmerawa kemudian diangkut dengan
menggunakan kereta lembu ke Losd Tiganderket yang diatur waktunya agar tiba
sebelum pulang anak sekolah. Perlu diketahui, di era itu belum ada angkutan. Dari mana atau
hendak ke mana, tentu saja ditempuh dengan erdalan atau jalan kaki atau istilah lainnya, napaki berkilo-kilo meter.
Ke sekolah dan pulang sekolah semua napaki, dari rumah tidak ada yang namanya
dibawakan perbekalan. Inilah “sasaran tembak” pembeli pajak nasi bulang saya.
Tetapi tunggu dulu ....
Karena ikatan keluarga saat itu sangat dekat sekali dan masih berjiwa tolong menolong .... Jadi
kebanyakan yang makan di pajak nasi bulang biasanya tidak bayar asalkan masih
ada ikatan keluarga. Atau bisa dibayar pakai natura atau barter. Anak yang makan di pajak nasi bulang,
kemudian pada waktu pekan Tiganderket di hari Kamis, tagihannya akan dibayar
oleh orang-tuanya. Apakah dibayar pakai beras, kelapa, gula merah atau hasil
pertanian lainnya, semua boleh-boleh saja.
Karena bulang saya orangnya ramah dan baik, maka orang tua
yang anaknya makan bisa “kasbon” dulu di pajak nasi bulang pun, lama-lama
menjadi seperti keluarga dekat. Hingga bulang
saya pun, waktu itu dijuluki Pa Solong, sesuai nama anak pertama bulang
yang mati muda ....
Bulang atau pa Solong dihormati di era itu. Sehingga
ada kuan-kuan berbunyi begini: bas pajak
nasi Pa Solong ah la bengkauna ngenca entabeh, perburihenna e, pe ketu nanamna.
Artinya, di warung Pa Solong tidak hanya lauk-pauknya saja yang enak, tetapi
juga air cuci tangannya pun gurih. Bagaimana tak enak. Wong asal sudah ertutor
dan pasti erkade kade. Makan akan diberi gratis.
Komentar