Featured Post

Catatan Khotbah Minggu 12 Mei 2024

Gambar
 Minggu Eksaudi : Begiken Min O Jahwe Warna Mbentar Invocatio          :  “(Pilipi 3 : 16)” Ogen                     :  Perbahanen Rasul Rasul 1 : 1 - 5  (Tunggal )     Khotbah            :  Masmur 31 : 1 – 5      (Responsoria )     Thema                 :  Pemindon Lako Iampang-ampangi Tuhan              Khotbah : Masmur 31 : 1 – 5     Masmur Daud. Ku Kam aku cicio o TUHAN ula pelepas aku kemalun. Kam kap Dibata si bujur, mindo aku, maka IkeliniNdu aku. Begiken min pertotonku pedas min Kam reh mulahi aku. Jadi min Kam deleng batu inganku cicio, kubungku si nteguh inganku terkawal. Kam kap ingan cebuni dingen bentengku, tegu-tegu dingen babai aku erkiteken GelarNdu. Tegu-tegu aku maka ula aku kena siding itogeng kalak man bangku. Ampang-ampangi aku maka ula aku kena cilaka. Pembukaan   Syalomm mejuah juah senina ras turang, Kidekah nggeluh manusia ibas doni enda, lit lalap perbeben.  Lit nge lalap kiniseran, kiniseraan si mengancam keselamatan ta.  Tapi lit ka nge jalan keluar,

Pajak Nasi Sidekah (Tempo Doeloe)

 Oleh 

 M. Tempel Tarigan 

Sebagaimana cerita saya tentang bulang saya yang perbual atau pintar erbual .... Ternyata dia juga sangat kreatif. Usai Agresi kedua Belanda  atau orang karo mengistilahkan  molih mengongsi, ia membuka pajak nasi di Tiganderket. Tempatnya di Losd Tiganderket. Losd ini saya tidak tahu kapan dibangunnya, apakah di zaman Jepang atau  di zaman Belanda ... Lagi-lagi terminologi  ini dalam bahasa Karo. Namun Losd ini sampai sekarang, masih berdiri kokoh walau pun sudah berumur hampir seratus tahun.

Sekolah Rakyat juga sudah dibuka di Tiganderket yang muridnya berasal dari kampung sekitar atau meliputi sekecamatan Payong (sekarang sudah dimekarkan menjadi dua kecamatan). Murid-muridnya se-kecamatan Payong dan sekecamatan Tiganderket, yang pekannya di hari Kamis.

Membaca situasi itu bahwa anak-anak sekolah bisa kelaparan kalau tidak ada orang yang jualan nasi, lalu bulangku bikin usaha pajak nasi yang berlokasi di Losd Tiganderket.  Sasaran pembelinya, selain anak-anak sekolah, juga orang-orang yang sedang berkunjung ke ibukota kecamatan untuk satu urusan. Dinilai dari sisi ekonomi, sebenarnya hampir tidak ada untung, karena uang yang beredar pun sedikit, karena saat itu, peredaran uang sangat terbatas sebab sehabis perang. Tapi di situlah kehebatan bulang saya .... Pajak nasi beliau berdiri tanpa modal. Bagaimana bisa?

Kabanjahe dulu, Sumber photo : https://www.sibatakjalanjalan.com/


Begini ceritanya ... Ribu saya pagi-pagi sekali sudah pergi ke sawah. Lalu ia mengambil  daun bulong gadong, pucok, ropah, tarok, kacang panjang, lacina dan lain-lainnya. Dan diambil juga daun pisang sebagai pengganti piring. Bulang saya juga pergi menjala ke borus, sambil ngelar siding yang dipasang malamnya untuk menangkap tikus, burung, atau hasil kawil bado atau itek. Sementara jering, parira diambil dari reba. Jadi nyaris tanpa modal. Dan bahan-bahan tersebut dimasak Ribu saya dengan menggunakan  api kayu bakar. Lalu setelah matang semua, dari Tanjongmerawa kemudian diangkut dengan menggunakan kereta lembu ke Losd Tiganderket yang diatur waktunya agar tiba sebelum pulang anak sekolah. Perlu diketahui, di  era itu belum ada angkutan. Dari mana atau hendak ke mana, tentu saja ditempuh dengan erdalan atau jalan kaki atau  istilah lainnya, napaki berkilo-kilo meter. Ke sekolah dan pulang sekolah semua napaki, dari rumah tidak ada yang namanya dibawakan perbekalan. Inilah “sasaran tembak” pembeli pajak nasi bulang saya. Tetapi tunggu dulu ....

Karena ikatan keluarga saat itu sangat dekat sekali dan  masih berjiwa tolong menolong .... Jadi kebanyakan yang makan di pajak nasi bulang biasanya tidak bayar asalkan masih ada ikatan keluarga. Atau bisa dibayar pakai natura atau barter.  Anak yang makan di pajak nasi bulang, kemudian pada waktu pekan Tiganderket di hari Kamis, tagihannya akan dibayar oleh orang-tuanya. Apakah dibayar pakai beras, kelapa, gula merah atau hasil pertanian lainnya, semua boleh-boleh saja.

Karena bulang saya orangnya ramah dan baik, maka orang tua yang anaknya makan bisa “kasbon” dulu di pajak nasi bulang pun, lama-lama menjadi seperti keluarga dekat. Hingga bulang  saya pun, waktu itu dijuluki Pa Solong, sesuai nama anak pertama bulang yang mati muda ....

Bulang atau pa Solong dihormati di era itu. Sehingga ada  kuan-kuan berbunyi begini: bas pajak nasi Pa Solong ah la bengkauna ngenca entabeh, perburihenna e, pe ketu nanamna. Artinya, di warung Pa Solong tidak hanya lauk-pauknya saja yang enak, tetapi juga air cuci tangannya pun gurih. Bagaimana tak enak. Wong asal sudah ertutor dan pasti erkade kade. Makan akan diberi gratis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indah Pada Waktunya / Pengkhotbah 3:11-15 ( Pekan Penatalayanan Hari Keempat)

Catatan Tambahan PJJ 1 – 7 Oktober 2023

Catatan Tambahan PJJ 27 Agustus – 2 September 2023