Featured Post
Pemilihan Penghulu (Kepala Kampong) Tempo Doeloe
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
M. Tempel Tarigan
(Penulis Novel Jandi La Surong)
Antara tahun 1951 sampai dengan 1956, saat saya menceritakan
ini, jumlah penduduk Tanjong Merawa berkisar 100-an KK. Kuta Tanjong Merawa
adalah pantekken merga Singarimbun. Tetapi kapan kuta itu dipantek atau
didirikan, tidak ada datanya. Karena ini
panteken Singarimbun, menurut adat waktu itu, yang menjadi penghulunya haruslah merga
Singarimbun.
Secara garis besar terpok Singarimbun ada dua: Singarimbun Rumah Jahe dan Singarimbun Rumah
Julu. Setiap sekian tahun berdasarkan arih-arih atau musyawarah anak kuta, akan
dipilih siapa yang menjadi penghulunya.
Beberapa hari sebelum pemilihan diumumkan, anak beru kuta,
muda-mudinya keliling rumah-rumah membawa gong penganak. Aku masih ingat,
demikian cara penyampaian pengumumannya. Pong rumah enda penganak pun dipukul
berkali-kali untuk mengambil perhatian
seisi rumah Waloh Jabu.
Man kam kerina anak jabu rumah enda. Pulong kita kerina
ikesain kuta lako milih pengulunta simbaru ibas kesain. Waktu dan jamnya
ditetapkan umumnya dung man berngi. Acara pemilihen penghulu waktu itu diistilahkan saranen.
Acarapemilihan, biasanya diadakan di malam hari, di kesain
sudah digelar amak atau tikar tempat duduk untuk tiap marga bersama anak
jabuna. Tikar diatur mengelilingi lapangan acara, dan di tengah-tengahnya
sengaja dikosongkan untuk panitia pemilihan, yaitu anak beru kuta yang sudah
ditetapkan berdasarkan arih-arih.
Dengan diterangi lampu petromak, anak beru kuta bertindak
sebagai jurinya atau komisi pemilihan umum, jika menggunakan istilah sekarang.
Acara dimulai dengan
hiburan ndikkar atau pencak
silat. Dua orang pemuda yang sudah dipilih langsung memasuki arena. Setelah
sentabi ku perpulungen, kedua pemuda itu diadu ndikkar atau ermayan. Ndikkar-nya
sangat menarik dan seru, karena baku pukulnya
betul-betul mengenai badan. Sorak-sorai pun terdengar gemuruh, usai mereka berdua bersalaman yang menandai
juga acara hiburan telah selesai.
Anak beru, kembali mengambil alih acara. Turang senina,
bapa, nande, bibi, bengkila, mama-mami kerina, kita sipulong berngi enda. Begitulah kurang lebih kata pembuka: “Hari ini kita milih penghulu baru, kam arena ise pilihendu ditunjuk ke arah masing-masing
marga. Kami pilih si Anu, kam arena ditunjuk lagi ke arah marga lain ....”
Dan dijawab pula:
“Kami pe si Anu ena ...” dan serentak kompak secara
aklamasi, hanya satu orang saja yang menjadi pilihan bersama. Kenapa bisa
begitu? Karena sesungguhnya sebelum acara pemilihan, penduduk kuta sudah
membicarakannya di mana-mana, baik di kedai-kedai, di pancuran, bahkan sampai
ke arena judi .... Jadi beberapa hari sebelumnya, semua itu sudah jadi
pembicaraan bersama.
Kandidat dipilih berdasarkan perilaku moral atau rekam
jejaknya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Artinya orang yang dipilih
biasanya sangat dihormati anak kuta, dan
masin rananna. Jadi pilihan berdasar moral.
Tidak ada model kampanye seperti sekarang, yang katakanlah penuh omong
kosong, bujuk rayu atau menjual
janji-janji yang tidak pernah ditepati. Semua itu belum dikenal. Semua mengalir
begitu saja, sesuai adat dan kultur kita
di kuta Tanjong Merawa atau kearifan lokal suku Karo.
...Bersambung.
Komentar