Featured Post
CARI TAHU DULU / Matius 7:1-5
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Di
suatu negeri, tinggallah seorang kakek tua yang terkenal karena
kebijaksanaannya. Banyak orang dari berbagai tempat datang kepadanya untuk
meminta nasihat.
Suatu
hari, datang ke situ, seorang pria muda. Sesampai di hadapan kakek, ia berkata,
“Kakek, saya merasa tidak bahagia. Saya seorang pemarah dan punya emosi yang
labil. Tolong saya, bagaimana cara mengendalikan emosi yang cepat terbakar dan
tidak terkendali ini?”
Setelah
sejenak memandang pria tersebut, sang kakek bijak berujar lembut namun tegas,
“Anak muda, perhatikan baik-baik. Setiap kali kamu tersinggung, marah atau
terpancing emosi, ingatlah ‘tujuh langkah kesabaran’. Kamu harus melangkah
mundur tujuh langkah, lalu maju lagi tujuh langkah. Lakukan hal tersebut tujuh
kali berturut-turut, dengan langkah mantap sambil berhitung. Setelah itu,
barulah kamu boleh berpikir dan mengambil keputusan untuk bertindak.”
Merasa
mendapat nasihat yang luar biasa, pria muda ini yakin, masalah emosi sulit
terkendali yang dideritanya pasti bisa terpecahkan.
Malam
telah larut ketika ia sampai kembali di rumah. Dengan badan yang letih dan
pegal-pegal, serta perut sangat lapar, ia masuk ke dalam kamar.
Di
dalam benaknya terbayang makan malam dan air hangat untuk mandi yang biasa
disediakan oleh istrinya. Tetapi seperti disambar geledek, pria itu mendapati
istrinya sedang tertidur lelap di balik selimut dengan orang lain.
Saat
melihat pemandangan seperti itu, kemarahan pun segera menguasai dan emosi pun
membutakan akal sehatnya. “Istri yang tidak setia. Baru ditinggal sebentar saja
sudah berani memasukkan orang lain ke kamar…!”
Dengan
kemarahan yang meluap-luap, pria itu lantas berniat buruk. Tetapi, spontan dia
teringat nasihat si kakek tua yang bijak, dan langsung mempraktikkannya.
Sambil
menghembuskan napas kemarahan, ia mulai menghentakkan kakinya sepenuh tenaga.
Suara
hitungan segera terdengar, “Mundur tujuh langkah, satu-dua-tiga…! Maju tujuh
langkah, satu-dua-tiga…!!” Kegaduhan itu pun akhirnya membangunkan sang istri.
Ketika
istrinya bangun dan menyingkap selimut, betapa kaget sekaligus leganya pria itu
karena ternyata yang menemani istrinya tidur adalah ibunya sendiri.
Detik
itu juga rasa syukur terucap dari mulutnya yang bergetar. Ia telah berhasil
mencegah satu tindakan emosional dan bodoh. Entah apa yang akan terjadi
seandainya dia menuruti emosinya. Hidupnya pasti akan dirundung penyesalan
seumur hidup.
Seperti
halnya yang terjadi pada suami tersebut, dalam keseharian kitapun penilaian
kita terhadap seseorang bisa saja salah. Maka dari itu firman Tuhan
melarang kita untuk menghakimi atau mengukur orang lain dengan ukuran kita,
apalagi berdasarkan penampilan luarnya. Yang berhak menilai manusia itu
Tuhan, bukan sesamanya, karena ukuran kita menilai orang berbeda dengan
penilaian Tuhan. "Bukan yang dilihat manusia yang dilihat
Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat
hati." (1 Samuel 16:7b). Dalam kotbahnya Tuhan Yesus
menasihati agar kita tidak terlalu memfokuskan diri pada hal-hal yang lahiriah
(penampilan luar). Berkenan dengan hal ini Tuhan Yesus menegur keras
orang-orang Farisi, "...sama seperti kuburan yang dilabur
putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah
dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran... di sebelah luar
kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh
kemunafikan dan kedurjanaan." (Matius 23:27:28). Ternyata
penampilan luar seringkali menipu!
Memang
kita tidak boleh meremehkan penampilan, namun itu bukan yang utama.
Alkitab dengan tegas melarang kita untuk menilai, menghakimi atau mengukur
seseorang berdasarkan penampilan luarnya. Yang berhak menilai seseorang
adalah Tuhan, bukan kita
Karena
itu, mencoba mengerti lebih dahulu menjadi sesuatu yang amat sangat penting
dalam kehidupan kita dalam bersosial dengan orang lain. Bila kita ingin sosial
yang berkualitas dan memuaskan, yang memperkaya kita dan orang lain, memahami
orang lain adalah kunci utamanya.
Ingatlah
mencoba mengerti lebih dulu bukanlah persoalan siapa yang salah dan siapa yang
benar, tapi inilah kunci dari sosial yang baik dan berkualitas. Bahkan bila hal
ini terus dipraktikan, maka orang-orang yang ada disekitar kita merasa didengar
dan dimengerti. Suatu hubungan yang akan memperkaya satu dengan yang lainnya.
Komentar