Featured Post

Catatan Tambahan PJJ 28 April – 4 Mei 2024

Gambar
  Thema :  Ersada Ukur Ras Ersada Sura Sura 1 Korinti 1 : 10 – 17   Bahasa Karo  O senina-senina, kupindo man bandu i bas gelar Tuhanta Jesus Kristus: ersadalah katandu kerina, gelah ula sempat jadi perpecahen i tengah-tengahndu. Ersadalah ukurndu janah ersadalah sura-surandu. Maksudku eme: maka sekalak-sekalak kam nggo erpihak-pihak. Lit si ngatakenca, "Aku arah Paulus, " lit ka si ngatakenca, "Aku arah Apolos, " deba nina, "Aku arah Petrus, " janah lit pe si ngatakenca, "Aku arah Kristus." Sabap piga-piga kalak i bas jabu Klue nari ngatakenca man bangku maka i tengah-tengahndu lit turah perjengilen. Ibagi-bagiken kin Kristus man bandu? Paulus kin si mate i kayu persilang man gunandu? I bas gelar Paulus kin kam iperidiken? Kukataken bujur man Dibata sabap sekalak pe kam la aku mperidikenca, seakatan Krispus ras Gayus. Dage sekalak pe kam la banci ngatakenca maka kam nai iperidiken gelah jadi ajar-ajarku. Lupa aku! Istepanus ras isi jabuna pe nai

Mengapa Para Politisi Kita Bermentalitas Kerdil?

Dalam pemilu Presiden Amerika Serikat pada tahun 2000, terjadi kekisruhan dalam penghitungan suara akhir untuk menentukan pemenang. George W Bush calon Partai Republik bertarung melawan Al Gore dari Partai Demokrat. Perbedaan suara sangat tipis antara Bush dan Gore untuk keunggulan Bush. Gore kala itu lebih populer dan dianggap akan keluar menjadi pemenang.
Sisa suara dari negara bagian Florida ada sedikit masalah, dan perlu dihitung ulang. Kedua calon masih berpeluang sama untuk memenangkan kursi calon presiden. Tiba tiba Al Gore menelepon Geroge Bush, dan mengatakan Anda menang selamat untuk Anda Mr Presiden. George W Bush pun terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat menggantikan Bill Clinton.

Apa yang dilakukan oleh Al Gore adalah sebuah contoh kedewasaan bersikap. Dia menelepon lawannya dan mengatakan kekalahannya. Pendukungnya kecewa, namun Rakyat Amerika dimenangkan, karena tidak perlu berlama lama melihat perseteruan.

Berani mengakui kelebihan lawan serta berjiwa besar mengakui kekalahan, demi Rakyat banyak adalah sebuah sikap yang sering disebut dengan Abundance Mentality ataupun mentalitas berkelimpahan. Dia kaya secara mental, dia punya iman untuk melihat kemenangan lain di masa depan, dan secara terbuka mengakui kelebihan pihak lawan. Bukankah semua pemimpin harus mempunyai sikap seperti ini?

Mengapa di Indonesia jarang sekali kita melihat dan mendengar sikap seperti ini dipraktekkan oleh para pemimpin dan khususnya para politisi kita? Apa yang kurang dalam diri para pemimpin bangsa ini, pendidikan apa yang tidak pernah diberikan kepada kader kader partai sehingga sifat mentalitas berkelimpahan ini tidak pernah terdengar? Sebaliknya mental mental kerdil yang menjadi tontonan sehari sehari di televisi dan media media.

Banyak contoh yang bisa kita lihat. Buruknya hubungan antara Megawati Soekarno Putri dengan Presiden SBY sejak pemilu Presdien pada tahun 2004. Keluarnya Surya Paloh dari Golkar setelah kalah bersaing dengan Aburizal Bakrie dalam pemilihan ketua umum Golkar di Pekan Baru kala itu. Juga bagaimana calon calon yang kalah dalam Pilkada Gubernur, Walikota atau Bupati tidak pernah mau mengakui kekalahannya, bahkan membuat tuntutan dan mencari cari alasan bahwa terjadi kekotoran dalam proses Pilkada. Hingga sekarang terlihat di media media bagaiamana para politisi dari Partai Demokrat tetap mencari cari pembenaran untuk dirinya sendiri. Mengapa mereka tidak berani mengakui kesalahan dan kekalahannya. Bukankah masih ada waktu dan kesempatan di masa depan?

Rendahnya Pendidikan Filsafat dan Keagamaan

Penyebab utama menurut saya adalah tidak adanya pendidikan mengenai kebenaran bersikap yang dapat dijadikan pegangan dalam diri para kader partai politik dan pemimpin Bangsa kita. Filsafat terlalu jauh, hanya dianggap sebagai teori teori yang berlaku dalam debat di ruang ruang tertutup atau ruang kuliah. Tidak bisa di bumikan dan dibawa keluar dalam tata kehidupan politik praktis dan praktek hidup hidup sehari hari. Sebab tidak ada contoh, tidak ada teladan dan tidak ada dorongan dari lembaga lembaga untuk menggugah sehingga kebenaran filsafati itu dipraktekkan.

Budaya hidup instan dan paradigma aji mumpung (selagi menjaba dan berkuasa) sudah membuat jarak yang amat jauh antara fifsafat dengan kehidupan praktis. Sesuatu yang menjadi prinsip dan benar secara universal tidak dijadikan menjadi patokan dalam bersikap, berbicara dan membuat tindakan. Akhirnya semua menjadi tersandung. Lalu upaya upaya penyelamatan diripun dilakukan. Pura pura sakit, berani berbohong di depan pengadilan, mengatakan tidak kenal, tidak pernah dan sebagaimnya menjadi pilihan untuk menyelamatkan diri dan kedudukan terlepas dari apakah benar atau salah.

Selain filsafat yang berjarak, maka pendidikan iman atau agama pun tidak sampai pengaruhnya ke dalam kehidupan praktis khususnya dalam dunia politik. Tidak ada sedikitpun perasaan berdosa dan perasaan takut akibat dari dosa tersebut ketika mengatakan sesuatu yang bohong dan palsu. Bahkan tidak ada sedikit pun keyakinan bahwa apa yang dilakukan selalu diawasi oleh Sang Maha Kuasa. Almarhum Ca Nur (Nurcholis Madjid) pernah mengataka bahwa korupsi hanya bisa dihilangkan jika para pemimpin sadar bahwa apapun yang dia lakukan dilihat oleh Sang Khalik. Kesadaran itu hanya dimiliki oleh Beliau dan segelintir orang. Kebanyakan pelaku politik lupa sama sekali.
Mengapa nilai nilai agama tidak dijadikan sebagai patokan utama dalam bersikap, berkata dan bertindak? Banyak hal penyebabnya, salah satunya tidak ada seorang pun tokoh agama yang dapat dijadikan contoh dalam berkomitmen dan memegang kebenaran.

Bisa saja pandangan ini salah, namun pasti ada juga bukti atau alasan yang membuat pandangan ini lahir. Salah satu alasan adalah karena banyaknya tokoh tokoh agama yang punya cita cita masuk ke dunia politik. Bahkan banyak diantara mereka yang pernah memegang jabatan jabatan politis. Jika tokoh tokoh agamapun terjun ke politik, bukankah akan lahir anggapan bawa politik lebih penting dari agama? Akibatnya pandangan pandangan agama atau nilai nilai agama dianggap lebih rendah dari kenyataan di dunia politik.

Solusi

Utang negara Republik Indonesia saat ini lebih dari Rp 1.800 Triliun. Seorang sekaliber Kwik Kian Gie mengatakan bahwa dia sudah kebingungan bagaimana membayar semua utang itu.

Lalu kehidupan politik kita pun ternyata saat ini banyak sekali kebobrokannya. Saling tuduh, saling membela diri terjadi diantara para elite. Kapan ini berakhir? Kapan para pemimpin itu benar benar murni bertindak dengan benar untuk kepentingan rakyat? Kapan mereka semua mempunyai dan mempraktekkan sikap mentalitas berkelimpahan itu.

Harus ada sistem rekrutmen dan pendidikan yang benar di dalam partai partai politik, sehingga para kadernya mempunyai sifat sifat kenegarawan yang dapat mempraktekkan kebenaran dalam setiap tindakannya. Inilah masalah yang paling serius dan paling mendesak. Sebab kalau tidak diatasi maka kehancuran Indonesia akan dimulai dari Partai Partai Politik.

Disatu sisi mereka cerdas mengelabui rakyat, namun kepercayaan rakyat hanya dipakai untuk berkuasa dan menjarah aset aset negara untuk diri dan partainya saja. Jika mentalitasnya tetap kerdil maka semua rekayasa mereka pasti hanya akan mengkerdilkan Bangsa. Rakyat tetap menjadi yang paling menderita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indah Pada Waktunya / Pengkhotbah 3:11-15 ( Pekan Penatalayanan Hari Keempat)

Catatan Tambahan PJJ 1 – 7 Oktober 2023

Catatan Tambahan PJJ 27 Agustus – 2 September 2023