Dalam dinamika politik nasional, Kabupaten Tanah Karo memiliki catatan menarik. Daerah ini merupakan basis massa nasionalis yang berafiliasi pada kekuatan politik Soekarnois sejak Pemilu tahun 1955. Ketika itu Partai Nasional Indonesia (PNI), partai politik yang didirikan Soekarno dan mengusung ideologi Marhaenisme ajaran Soekarno menang mutlak di Kabupaten Tanah Karo. Prosentase suara yang diraih PNI dari Tanah Karo mencapai sekitar 90% suara. Pengurus PNI di Sumut pun didominasi orang Karo. Moment ini dapat dijadikan indikator bagi loyalitas politik warga Karo terhadap Presiden RI pertama tersebut. Soekarno pun digelari ”Bapa Rayat Sirulo” oleh warga Karo, yang artinya Soekarno pemimpin yang membawa kemakmuran rakyat.
Loyalitas politik warga Karo terhadap Soekarno dan NKRI yang telah diproklamirkannya bersama Moh.Hatta berlanjut hingga meletusnya pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta) di daerah Sumatera,ternasuk Sumut. Ketika itu,kaum pemberontak yang terdiri dari panglima-panglima militer daerah dan kekuatan politik Masyumi dan PSI serta disokong oleh anasir-anasir asing berhasil meraih dukungan yang cukup signifikan dari warga Sumatera. Di Sumut sendiri, PRRI/Permesta dbawah pimpinan Kol.Simbolon memiliki banyak pengikut dari kota Medan dan daerah-daerah yang menjadi basis partai Masyumi.
Di masa-masa genting tersebut, warga Karo justru tidak tertarik untuk ikut berpartisipasi melakukan pembangkangan terhadap NKRI, seperti yang ditunjukkan warga dari beberapa kawasan lainnya di Sumut. Pada saat itu muncul tokoh kharismatik dari etnis Karo, yakni Letjen Djamin Ginting yang menegaskan haluan politiknya untuk berdiri di belakang Pemerintahan Soekarno dan NKRI demi melawan kekuatan pemberontak yang didukung anasir asing. Karena jasanya itu, Letjen Djamin Ginting diangkat oleh Soekarno menjadi Pangdam Bukit Barisan yang melingkupi seluruh wilayah Sumatera pada tahun 1957-1958. Selain berjasa menumpas pemberontakan PRRI/Permesta, Letjen Djamin Ginting juga turut andil dalam memobilisir warga Karo guna menghadang pemberontakan DI/TII Aceh yang dipimpin Daud Beureuh pada pertengahan tahun 1950-an.
Loyalitas Politik ditengah Badai
Loyalitas politik warga Karo terhadap Soekarno berbuah manis dengan diangkatnya seorang putra Karo, Ulung Sitepu, sebagai Gubernur Sumut pada tahun 1963. Ulung Sitepu menjadi satu-satunya warga Karo yang berhasil menduduki tampuk kepemimpinan di Provinsi Sumut hingga kini. Namun badai politik yang datang seiring dengan terjadinya peristiwa 30 September 1965 (G30S) seakan turut menghantam partisipasi politik orang Karo dalam level lokal (Sumut) maupun nasional.
Ulung Sitepu diberhentikan dari jabatan gubernur pasca G30S karena dituding sebagai tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), sebuah tudingan yang tak pernah dibuktikan secara hukum hingga kini. Memang ketika menjabat gubernur, Ulung Sitepu banyak menuai dukungan dari massa PKI yang salah satu basisnya di Sumut pada masa itu ialah daerah Labuhan Batu dan hal ini adalah sesuatu yang lumrah karena PKI merupakan partai legal dan sah di republik ini sebelum G30S. Namun Ulung Sitepu sendiri tak pernah menjadi anggota PKI secara formal, ia lebih dikenal sebagai salah satu gubernur yang loyal pada Presiden Soekarno seperti kebanyakan warga Karo lainnya. Kemungkinan besar hal inilah yang menjadi alasan dari diberhentikannya Ulung Sitepu dari jabatan gubernur Sumut, karena pasca G30S seluruh kekuatan politik Soekarnois disikat habis oleh rezim baru dibawah pimpinan Jenderal Soeharto (ribuan warga Indonesia lainnya yang loyal pada Soekarno maupun PKI kehilangan hak sipil dan politiknya pasca G30S).
Desoekarnoisasi yang dilakukan pemerintahan Orde Baru turut pula berimbas pada warga Karo. Warga Karo menjadi agak takut untuk berkiprah dalam panggung politik lokal maupun nasional,karena lekatnya citra sebagai pendukung Soekarno pada warga Karo. Dan pendukung Soekarno berarti juga bisa dinisbatkan sebagai PKI oleh Orde Baru. Selama kurun waktu puluhan tahun warga Karo terpisah dari dunia politik.
Kendati mengalami represi penguasa, loyalitas warga Karo terhadap Soekarno tak pernah pudar. Hal ini terbukti dari tetap dominannya kekuatan politik yang merupakan ‘reinkarnasi’ dari PNI, yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam pemilu di Tanah Karo selama masa Orde Baru. Loyalitas itu makin ditunjukkan oleh warga Karo ketika putri Soekarno, Megawati, menjadi Ketua Umum PDI di awal dekade 90-an. Hal ini dipandang sebagai momentum kebangkitan politik trah Soekarno oleh warga Karo dan kaum Soekarnois lainnya.
Dukungan warga Karo terhadap PDI, yang setelah reformasi bermetamorfosa menjadi PDI Perjuangan (PDIP), termanifestasi pada perolehan suara PDIP di Tanah Karo pada pemilu 1999 yang mencapai 95% suara (mengungguli perolehan suara PNI pada pemilu 1955). Hal yang sama juga terlihat pada pemilu 2004, dimana PDIP kembali mendominasi perolehan suara di Tanah Karo, walaupun pada pemilu tersebut ada beberapa partai yang juga mengusung paham dan figur Soekarno, seperti PNI Marhaenisme dan Partai Pelopor.
Pada pemilu 2009, PDIP kembali meraih mayoritas suara (85%) di Tanah Karo. Meskipun mengalami penurunan namun hal tersebut menunjukkan loyalitas warga Karo yang tak pernah redup terhadap dinasti politik Soekarno, karena pada saat yang sama banyak daerah basis PDIP dan partai lainnya yang direbut oleh Partai Demokrat,partainya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Tak Pernah Padam
Masa reformasi yang ditandai dengan keterbukaan politik sesungguhnya dapat menjadi peluang bagi warga Karo untuk berkiprah di berbagai partai politik. Kenyataannya beberapa putra Karo memang memanfaatkan peluang itu dan berhasil menduduki posisi strategis di berbagai partai, seperti Tifatul Sembiring yang berhasil menjadi Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan MS Kaban yang meraih jabatan Ketua Umum di Partai Bulan Bintang (PBB). Seorang putra Karo lainnya, Sahrianta Tarigan juga berada di struktur kepengurusan DPP Partai Damai Sejahtera (PDS).
Namun fakta banyaknya warga Karo yang berpolitik dengan menggunakan instrumen partai yang tidak mengusung ideologi Soekarno ternyata tidak mudah mengubah pilihan politik warga Tanah Karo, dimana leluhur warga Karo berasal. Pemilu-pemilu pada masa reformasi menunjukkan tidak padamnya loyalitas politik warga Tanah Karo terhadap Soekarno dan dinastinya. Bahkan ketika Presiden SBY dianggap berjasa bagi warga Karo karena telah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Kiras Bangun, seorang pejuang kemerdekaan dari etnis Karo, ternyata tidak mengalihkan pilihan politik warga Tanah Karo kepada Partai Demokrat, partai yang identik dengan SBY.
Kesetiaan warga Karo terhadap Soekarno dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya adalah faktor historis, dimana Soekarno pernah diasingkan Belanda di daerah Tanah karo, tepatnya di Desa Laugumba, Kecamatan Berastagi pasca agresi militer Belanda terhadap Indonesia di akhir tahun 1948. Ketika itu Soekarno diasingkan oleh Belanda ke Tanah Karo bersama dengan dua pimpinan repiblik lainnya, H.Agus Salim dan Sutan Sjahrir. Namun mengapa hanya Soekarno yang berhasil meraih loyalitas politik dari warga Tanah Karo, sementara kedua tokoh selain Soekarno yang diasingkan di tempat yang sama juga memiliki kekuatan politik ? H.Agus Salim merupakan tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Sjahrir adalah pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI), tetapi kenyataannya kedua partai tersebut tidak berhasil meraih simpati warga Tanah Karo.
Pertanyaan itu mungkin dapat dijawab dengan menganalisa kondisi ekonomi dan sosial warga Tanah Karo yang lebih cocok dengan karakteristik dan ideologi PNI nya Soekarno. Seperti yang dinyatakan oleh seorang Guru Besar dari Universitas Sumatera Utara (USU) Prof.DR. H.R.Brahmana, mayoritas warga Karo adalah petani yang bercocok tanam pangan hortikultura semenjak era kolonial Belanda dahulu. Tidak aneh bila pertanian menjadi potensi utama warga Tanah Karo hingga kini. Dan hal tersebut sesuai dengan ideologi yang digagas oleh Soekarno, Marhaenisme, yang mengangkat problematika kaum petani Indonesia yang telah dimiskinkan oleh sistem ekonomi dan politik yang berlaku. Di sisi lain PSI nya Sjahrir lebih berbasiskan pemikiran sosial demokrasi asal Barat yang kurang kontekstual dengan problem-problem yang dialami kalangan masyarakat bawah di Indonesia dan Tanah Karo khususnya. PSI juga berbasiskan kalangan intelektual/kelas menengah perkotaan, sementara wilayah Karo didominasi daerah pedesaan/pertanian.
Sementara secara sosiologis, agama yang dianut mayoritas warga Tanah Karo,yakni Kristen, lebih sesuai dengan karakter politik PNI (dan kemudian PDIP di era reformasi) yang bercorak nasionalis. PSII yang didirikan oleh H.Agus Salim dan berlandaskan Islam tentu sulit berkembang di kalangan warga Tanah Karo yang mayoritas Kristen.
Berbagai faktor yang mendasari loyalitas politik warga Tanah Karo terhadap dinasti politik Soekarno tersebut mungkin dapat membuat kita maklum atas realitas yang ada. Namun satu hal yang perlu diingat adalah loyalitas politik seperti yang dimiliki warga Tanah Karo terhadap Soekarno adalah hal yang agak luar biasa ditengah alam demokrasi liberal kini yang berbasiskan pada politik uang sebagai instrumen untuk meraih kekuasaan. Kecurangan sistematis yang ditenggarai banyak pihak terjadi pada pemilu 2009 lalu juga tak mampu meruntuhkan spirit Soekarnoisme warga Tanah Karo yang terus hidup hingga kini. Sebuah kenyataan yang dapat dijadikan refleksi bagi kita bersama, bahwa kesetiaan pada ”Bapa Rayat Sirulo” tak akan tergantikan oleh maraknya keculasan politik berbasiskan pragmatisme dan oportunisme yang banyak dipertontonkan oleh para elit politik kini.
Merdeka !!!
Bujur ras mejuah-juah kita kerina.
Hiski Darmayana
Kader GMNI Sumedang
Alumnus Antropologi FISIP Unpad
Sumber
Komentar