Kepada orang Kristen, orang yang dipilih oleh Tuhan
sendiri untuk Dia selamatkan dan Dia berkati telah diberikanNya “kerajaan” yang
tidak tergoncangkan. Kerajaan yang tidak bisa diganggu dan diusik, dan tidak
mungkin dikudeta oleh apapun dan
siapapun. Maka wajiblah seluruh orang
Kristen mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan
kepada-Nya dengan hormat dan takut (Bdk Ibrani 12 : 28). Beribadahlah kepada Tuhan dalam prilaku hormat dan takut, penuh
persiapan dan r rendah hati serta dipraktekkan dengan jiwa yang total dan
bersungguh sungguh.
Semangat bersyukur dan beribadah ini alangkah
baiknya juga dipraktekkan saat gereja mengadakan Musyawarah Sidi Jemaat (MSJ)
yang direncanakan pada minggu tanggal 15 Maret secara sinodal di seluruh gereja GBKP. Dalam
Tata Gereja GBKP (2005) Pasal 31 ayat 3 dikatakan :
Tugas Musyawarah Anggota Sidi Jemaat adalah untuk
mendengar laporan perkembangan jemaat dan usul-usul tentang kehidupan Marturia
(Kesaksian), Koinonia (Persekutuan) dan Diakonia (Pelayanan) guna pertumbuhan
dan pembangunan jemaat.
Yang menarik untuk disimak adalah kata kata
“mendengar” yang pada ayat ini dimaksudkan dengan mendengar laporan
perkembangan jemaat dan usul usul tentang kehidupan bergereja dalam menjalankan
tri tugas gereja marturia, koinonia dan diakonia guna pertumbuhan dan
pembangunan jemaat.
Siapa yang mendengar, dan bagaimana cara mendengar,
itulah beberapa pandangan yang penulis ingin sampaikan melalui renungan ini.
Menurut pandangan saya, Majelis jemaat atau pertua diakenlah yang seharusnya
mendengar lebih banyak, karena info info dari jemaat itu jauh lebih penting
untuk didengarkan sehingga semua rencana dan program yang sudah disusun bisa
dijalankan dalam bahasa serta pemahaman
jemaat.
Musyawarah Sidi Jemaat bukan hanya tanya jawab, apalagi arena saling membela dan
mempertahankan sudut pandang. Musyawarah
Sidi Jemaat alangkah indahnya jika
dijadikan menjadi kesempatan untuk saling belajar, saling mempedulikan, saling
menghargai serta saling bertukar ide dan gagasan demi perbaikan kehadiran
gereja Tuhan. Jadi bukan hanya
kesempatan saling menampung ide, lalu memberikan jawaban dalam waktu yang bisa
bisa sudah kehilangan momentum.
Kalau menurut pandangan pribadi saya, proporsi
ideal dalam musyawarah adalah setiap pemaparan 15 menit mengundang munculnya
diskusi atau musyawarh 30 menit. Bukan
pemaparan satu jam, namun diskusinya hanya 10 menit, apalagi setelah pemaparan
ide ide hanya ditampung tanpa didiskusikan bagi saya bukanlah musyawaran yang
positif.
Aspek kedua yang perlu diperhatkan adalah
mendengar. Mendengar itu bisa macam macam metode dan tujuannya, namun yang
paling baik mendengar itu dilakukan dengan sungguh sungguh dengan tujuan
memahami atau memengerti apa yang disampaikan oleh seseorang. Sering sekali suatu diskusi atau musyawarah
tidak berlangsung dengan baik karena para peserta mempunyai ketrampilan buruk
dalam mendengar. Contoh dia mendengar hanya untuk membalas memberikan jawaban.
Simak dan tanya untuk memperjelas, adalah dua hal yang bisa dilakukan untuk
memperbaiki ketrampilan mendengar. Secara umum semua manusia mempunyai
keterbatasan untuk memahami dan memengerti apa yang dimaksudkan orang lain,
atau jemaat lain. Karena pendengaran
kita dibatasi oleh cara pandang kita masing masing. Ketika Anda hendak menyampaikan ide mengenai
mobil, saya sendiri sudah mempunyai pandangan mengenai mobil. Jadi apa yang anda katakan selanjutnya mengenai
mobil tidak lagi saya dengarkan, sebab pikiran saya lebih banyak memikirkan
mobil menurut persepsi saya dibandingkan dengan mendengar pemaparan anda. Setelah anda selesai berbicara, maka mobil
yang anda maksudkan tidak saya ingat, tidak saya mengerti karena lebih dominan
saya memikirkan pandangan saya sendiri.
Jadi supaya saya bisa mengerti gagasan Anda, saya harus rendah hati dan benar
benar bersedia mendengarkan Anda.
Komentar