Featured Post

Berngi 6 Catatan Tambahan Pekan Keluarga 2024

Gambar
  Renungen: Masmur 128: 1-6 Tema : Jabu Si Dem Alu Kesangapen   128:1 Sangap kal kalak si malang man TUHAN , si nggeluh ngikutken kerina perentahNa. 128:2 Ipanna me ulihna latih, sangap nggeluh, mehuli sikerajangenna. 128:3 Ndeharana bali ras anggur si meramis buahna i bas rumahna, dingen anak-anakna bali ras tunas batang saitun i sekelewet mejana. 128:4 Bage me pasu-pasu TUHAN , man kalak si malang man baNa. 128:5 TUHANlah si masu-masu kam i Sion nari, mbera idahndu kesangapen Jerusalem kidekah umur geluhndu. 128:6 Cawirlah kam metua, maka sempat idahndu kempu-kempundu. Damelah sikerajangen Israel ! FAKTA , ARTI DAN MAKNA 1.      Sangap kal kalak si malang man TUHAN , si nggeluh ngikutken kerina perentahNa.   Ipanna me ulihna latih, sangap nggeluh, mehuli sikerajangenna. Ndeharana bali ras anggur si meramis buahna i bas rumahna, dingen anak-anakna bali ras tunas batang saitun i sekelewet mejana . Kerina kal kita ersura sura ra...

“RUMAH SI PITU RUANG” RAJA BALASORE GINTING MUNTHE DI AJINEMBAH

 Oleh

 Aminton Ginting Munthe, Depok 

Ajinembah, sebuah desa yang tentram, dipimpin oleh seorang Raja marga Ginting Munthe bernama “Raja Balasore”. Raja mempunyai empat orang anak, tiga putra dan seorang putri. Paras Beru Ginting Munthe, Putri Raja sangat cantik dengan badan yang gemulai, sehingga tidak ada yang berani melamarnya untuk dijadikan istri. ...

[ Kisah Beru Sibuaten, disampaikan Mbuah Ginting Munthe, salah satu putra Ginting Munthe di Laubaleng, Kecamatan Laubaleng, Kabupaten Karo, yang telah meninggal dunia pada tanggal 25 Agustus 2016, lima hari sebelum hari ulang tahunnya yang ke 96 pada tanggal 30 Agustus 1920. Hikayat ini telah disempurnakan dengan menambah dan memuat beberapa saran dari salah seorang Putra Ajinembah yang sudah mendengar kisah Beru Ginting Munthe serta melihat bukti dari lapangan. ] ...

Pada suatu hari menjelang sore, datanglah seorang pemuda menghadap Raja, melamar Beru Ginting Munthe untuk dijadikan isteri:

“Putriku boleh kau jadikan isteri, tapi ada syaratnya”. Kata Raja Balasore.

 “Apa syaratnya Raja, mudah-mudahan bisa saya penuhi”. Jawab pemuda itu dengan hati yang rendah.

“Kau harus bisa membangun rumah besar yang memiliki 7 ruangan (rumah sipitu ruang) dalam waktu satu hari atau satu malam”. Kata Raja dengan tegas.

“Baik Raja, dimanakah kiranya lokasi rumah yang akan saya bangun?”. Tanya pemuda itu untuk memastikan.

Peninggalan Palas Si Pitu Ruang, di Ajinembah Kab. Karo 


 “Di sebelah rumah ini saja, tanah yang tersedia masih luas”. Jawab Raja dengan menunjuk.

“Apa masih ada yang lain Raja inginkan?” Tanya pemuda itu menawarkan.

 “Itu saja dulu, kalau kau tidak bisa membuat dan menyelesaikannya dalam waktu satu hari atau satu malam, maka lehermu akan saya potong”. Sahut Raja mengulangi dengan tegas.

“Baik Raja, malam ini juga akan saya kerjakan, sehingga besok pagi, rumah yang Raja inginkan itu sudah ada. Kalau tidak ada lagi yang Raja inginkan, saya pamit dulu”. Sahut pemuda itu seraya berdiri.

 “Baik, kerjakanlah itu”. Balas Raja dengan singkat tanda memerintah.

Setelah pemuda itu keluar dari rumah Raja, hari gelap dan hujan turun dengan sangat lebat, sehingga dalam jarak dekat tidak tampak apapun, hanya gelap gulita. Tetapi Raja masih bisa mendengar suara peralatan bertukang yang sedang membangun rumah.

Pada subuh hari disaat ayam berkokok, pemuda itu mengetuk pintu rumah Raja Balasore:

“Siapa itu, pagi-pagi sekali sudah datang!” Bentak Raja, sambil berdiri dari tempat tidurnya dan berjalan menuju pintu rumah.

“Saya Raja, rumah yang Raja minta sudah selesai saya bangun”. Sahut pemuda yang mengetuk dan berdiri di depan pintu.

 Setelah pintu dibuka, Raja melihat pemuda yang datang kepadanya kemaren sore untuk melamar putrinya sedang berdiri dan membungkuk hormat:

“Hm… kamu, sudah selesai rumah yang saya minta itu?” Tanya Raja kepada pemuda itu memastikan.

“Sudah saya selesaikan Raja, silahkan lihat dulu, apakah sudah sesuai dengan keinginan Raja”. Sahut pemuda itu untuk meyakinkan Raja.

Raja Balasore menoleh ke samping rumah dan melihat di atas tanah pekarangannya sudah berdiri sebuah rumah besar seperti yang dia inginkan. Raja berjalan ke samping rumah seraya melipat tangan ke dada untuk menghangatkan tubuhnya yang kedinginan, diam-diam mengagumi.

Pemuda itu mengikuti Raja dari belakang dengan menatap punggung dan tubuh Raja yang tinggi besar. Setelah Raja sampai di depan pintu, pemuda itupun berlari ke depan untuk membukakan pintu yang masih tertutup:

Percakapen Tentang Rencana Memugar Peninggalan Palas Si Pitu Ruang di Desa Ajinembah 


 “Silahkan masuk Raja, tolong lihat dan amati, apakah sudah sesuai dengan keinginan Raja”. Kata pemuda itu seraya membungkuk untuk meminta pendapat dari Raja.

Raja Balasore melepas tangan yang terlipat didadanya, dan memasuki rumah besar itu. Dengan diam, Raja mengamati dengan jeli dan menghitung ruangan rumah. Sebanyak tujuh ruangan sudah tersedia, dibangun dengan rapi dari kayu berkualitas:

“Mana teman-temanmu yang membangun rumah ini?” Tanya Raja ingin tau.

“Saya yang membangunnya Raja”. Sahut pemuda dengan membungkuk untuk meyakinkan Raja.

“Kamu sendiri yang membangunnya?” Sahut Raja sambil menoleh pemuda itu dengan heran.

 “Ya, saya sendiri Raja”. Sahut pemuda itu dengan singkat dan tetap membungkuk.

“Baik, rumah ini sudah kamu bangun dengan baik dan sudah sesuai dengan yang saya inginkan”. Sahut Raja dengan kagum.

“Kalau begitu, kapan Raja mau memasuki rumah ini?” Tanya pemuda itu, ingin mengetahui rencana Raja.

“Dalam dua atau tiga hari ini, karena saya harus mengumpulkan semua keluarga dan rakyatku, serta menyediakan makanan untuk merayakannya”. Sahut Raja menjelaskan rencananya.

“Bila Raja berkenan, biarlah saya saja yang memasak makanan dan minuman yang dibutuhkan untuk merayakan pesta memasuki rumah baru ini”. Kata pemuda itu menawarkan diri.

“Baik, saya setuju. Kumpulkanlah teman-temanmu untuk mengerjakannya”. Sahut Raja mengijinkan. “Saya sendiri yang akan mengerjakannya Raja. Bila Raja berkenan, dimanakah kiranya lumbung padi yang bisa saya ambil untuk dimasak nasi, serta tempat ternak sapi atau kerbau digembalakan untuk saya ambil dan dipotong untuk lauk?”. Tanya pemuda itu sambil tetap membungkuk hormat untuk memastikan.

“Padi ada di dalam lumbung saya di sebelah rumah, dan Sapi atau Kerbau bisa kamu ambil di padang pengembalaan ternak saya di atas bukit itu”. Sahut Raja sambil menunjuk tempat padi dan Sapi/Kerbau yang dibutuhkan untuk dimasak.

“Baik Raja, undanglah semua keluarga dan rakyat Raja. Dalam dua hari ini, semua kebutuhan dan makanan untuk pesta memasuki rumah itu sudah saya siapkan”. Sahut pemuda itu seraya membungkuk meyakinkan Raja.

Setelah beberapa saat berkeliling mengitari ruangan, mereka berduapun keluar dari rumah yang baru dibangun itu. Raja mendahului keluar untuk kembali ke rumahnya tanpa menoleh, serta pemuda itu belakangan untuk menutup pintu rumah, kemudian pergi melalui jalan desa dan menghilang.

 Rumah besar yang diinginkan Raja sudah selesai dibangun, makanan yang diperlukan untuk pesta memasuki rumah baru sudah tersedia, dan pemuda mesterius telah menyanggupi menyiapkan tempat dan makanan pesta memasuki rumah baru, maka Raja Balasore menyebarkan undangan ke seluruh keluarga dan masyarakat, baik di desa maupun diluar desa dalam wilayah kekuasaannya.

Raja juga menyuruh seluruh bawahan dan beberapa masyarakat kepercayannya untuk membantu persiapan dan pelaksanaan acara atau pesta memasuki rumah baru. Sesuai undangan, di pagi hari dihari kedua, Raja Balasore beserta seluruh keluarga bangun, berkemas, berpakaian rapi, dan berangkat ke rumah baru yang akan dimasuki.

Sebelum memasuki halaman rumah baru yang akan dimasuki, Raja terkejut dan heran melihat tikar untuk tempat duduk undangan dan makanan untuk pesta memasuki rumah baru sudah tersedia dengan rapi. Sepintas Raja mengagumi, bahwa yang menyiapkan semua itu adalah anak buah dan masyarakat yang sudah ditugaskan membantu pelaksanaan pesta memasuki rumah baru itu.

Disaat raja masih berdiri dan kagum melihat persiapan memasuk rumah baru, pemuda misterius itu datang tergopoh menyambut Raja: “Tempat dan semua kebutuhan pesta sudah saya siapkan, apa masih ada yang kurang?” Tanya pemuda itu kepada Raja dengan kepala merunduk untuk memperoleh persetujuan.

“Apa kamu sendiri yang menyiapkan tempat ini?” Tanya Raja memastikan dengan raut wajah terheran-heran.

“Ya Raja, saya yang menyiapkannya. Semua keperluan makan dan minum serta makanan dan minuman untuk menjamu undangan Raja juga sudah saya siapkan.” Sahut pemuda itu dengan tetap membungkuk menyampaikan laporan yang sudah dia lakukan.

 “Dimana makanan yang sudah kamu siapkan itu?” Tanya Raja singkat untuk mengetahui kebenaran makanan yang sudah disiapkan pemuda itu. “Disana, disebelah Timur Raja.” Sahut pemuda itu seraya berjalan kesisi untuk menuntun Raja ke tempat makanan yang sudah disiapkan.

Dengan melipat tangan ke belakang, Rajapun berjalan mengiktu pemuda yang berjalan disampingnya menuju tempat makanan yang sudah disiapkan pemuda itu. Melihat makanan yang sudah masak dan dimasukkan dalam wadah yang bagus dan rapi, Raja berdecap tanda heran dan kagum: “Berapa banyak makanan yang sudah kamu siapkan ini?” Tanya Raja ingin mengetahui jumlah tamu yang bisa diberi makan.

“Cukup untuk makanan tamu yang datang hari ini, dan bila kurang akan saya siapkan lagi bagi yang akan datang, sehingga semua tamu Raja bisa makan.” Sahut pemuda itu untuk mengurangi keraguan Raja apabila makanan kurang.

“Baik, siap-siaplah dengan temanmu, sebentar lagi tamu akan datang.” Sahut Raja memuji sambil memerintah untuk siap di tempat, dan berjalan masuk ke rumah baru itu. Beberapa saat kemudian, undangan dari keluarga, masyarakat Ajinembah, dan masyarakat dari desa lain di wilayah kekuasaan Raja Balasore berdatangan dan menyalami Raja. Setiap tamu yang datang, disuruh Raja harus makan dulu sebelum pulang ke masing-masing desanya. Pesta memasuki rumah baru itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Ratusan ternak Sapi dan kerbau, termasuk Kerbau Nagga Lutu milik Raja yang badannya besar dan di punggungnya bisa digunakan oleh dua orang untuk bermain catur, sudah habis dipotong. Demikian juga dengan cadangan makanan di lumbung, ribuan kaleng padi sudah habis diolah menjadi beras untuk ditanak nasi. Untuk membuktikan bahwa bahan untuk makanan sudah habis, maka Raja Balasore didampingi pemuda itu, pergi ke lumbung padi dan padang penggembalaan. Benar, lumbung padi ditemukan sudah kosong tetapi tidak ada terlihat kulit padi bekas tumbukan untuk dijadikan beras, dan Sapi serta kerbau juga sudah habis dipotong. Raja setelah di rumah, termenung memikirkan:

 “Maaf Raja, pesta memasuki rumah baru sudah berlangsung tujuh hari tujuh malam, tetapi tamu undangan Raja masih ada yang datang”. Sapa pemuda itu mengejutkan Raja.

 “Ya….. sayapun heran dan sudah kewalahan. Untuk menjamu mereka, padi di lumbung serta Sapi dan Kerbau di padang pengembalaan sudah habis, tetapi mereka tetap saja berdatangan.” Sahut Raja Balasore mengeluh dengan wajah letih.

 “Maaf Raja, bila Raja berkenan, saya akan mengatasi mereka supaya tidak datang lagi.” Kata pemuda itu meyakinkan dan menghibur Raja.

“Baik, lakukanlah itu, supaya merekapun tidak datang lagi”. Sahut Raja dengan wajah menyetujui.

Pemuda itupun pamit dari hadapan Raja, seraya berjalan untuk mengambil tepung beras dan air, serta mencampur dan mengaduknnya sehingga menjadi adonan. Setiap tamu yang datang, diberi tanda dengan membubuhkan adukan tepung beras itu di dahi tengah serta pelipis kiri dan kanan. Kemudian, setiap tamu yang sudah diberi tanda, disuruh masuk ke rumah melalui tangga depan dan keluar rumah melalui tangga belakang, lalu pergi meninggalkan rumah.

 Demikianlah diperbuat pemuda itu kepada setiap tamu yang datang, dan seluruh tamu tidak kembali lagi. Setelah semua tamu dan undangan pergi dan tidak kembali lagi, tinggallah Raja dengan isteri, ke empat anaknya, dan pemuda itu:

“Maaf Raja, persyaratan untuk meminang putri Raja sudah saya kerjakan sesuai permintaan Raja. Rumah baru dengan tujuh ruang sudah saya bangun, makanan untuk keperluan pesta sudah saya siapkan, pesta memasuki rumah baru juga sudah selesai, dan tamupun sudah pulang semuanya. Sebelum kami pergi dengan putri Raja, apakah masih ada yang saya kerjakan?”. Tanya pemuda itu sebagai tanda berpamitan untuk membawa putri Raja, beru Ginting Munthe.

“Semua yang saya minta sudah kamu penuhi, berangkatlah bersama putri saya yang kami sayangi, dan jenguklah kami di kampung ini pada saat kami rindu”. Sahut Raja dengan wajah pilu dan suara serak, karena tidak kuat melihat putrinya dibawa pergi.

Berangkatlah putri Raja bersama pemuda itu melalui jalan masuk desa, dan menghilang ditengah jalan.

Setelah beberapa lama, Rajapun sangat rindu kepada putrinya beru Ginting Munthe, tetapi Raja tidak tahu kepada siapa harus menyampaikan pesannya. Pemuda itu telah memenuhi segala keinginan Raja, sehingga Raja sangat bersukacita dan lupa menanyakan nama dan alamat pemuda yang sudah membawa putrinya.

Pemuda itu, tanpa bantuan dari yang lain, mampu memenuhi permintaan Raja, karena dia adalah Raja Umang dari ras Negroid (negrito).

Sepeninggal putrinya, Raja merasa kesepian, selalu termenung, dan uring-uringan, karena sangat merindukan putrinya. Keberadaan dan pendapat ketiga putranya selalu ditanggapi dengan dingin.

Pada suatu saat, amarah Raja memuncak dan mengusir ke tiga putranya keluar dari Kerajaan. Ketiga putra Raja pun sepakat keluar dari Ajinembah: satu ke Tongging, satu ke Dokan, dan satu lagi ke Pengambaten, tetapi urutan persaudaraan dalam sulung dan bungsu yang menempati masing[1]masing daerah tidak diketahui.

Karena kesedihan dan kekecewaan, Raja Balasore berseru dan mengumpat: “untuk keturunannya, janganlah ada lagi beru Ginting Munthe yang cantik”. Hal inilah menyebabkan: setiap marga Ginting Munthe sangat menyayangi dan merindukan anak dan turangnya beru Ginting Munthe; dan tidak ada lagi beru Ginting Munthe yang cantik, tetapi tetap patuh dan sayang kepada Bapak dan turangnya Ginting Munthe.

 Dari ketiga daerah inilah kemudian menyebar marga Ginting Munthe ke seluruh wilayah Simalungun menjadi marga Saragih; di Karo tetap marga Ginting Munthe; di Tapanuli Selatan menjadi Dalimunthe; di Tapanuli menjadi marga Saragi, Napitu, Munthe, dan lainnya; serta Dairi dan Aceh (Singkel, Keluwat, Gayo, Alas ) menjadi marga Munthe.

Dari hasil pengamatan ke Desa Ajinembah dan Desa Siosar pada pertengahan tahun 2017, ada tiga hal aneh yang mendukung Hikayat Beru Ginting Munthe, putri Raja Balasore Ajinembah, antara lain: Sebagian tonggak/dasar tiang rumah Sipitu Ruang kediaman Raja Balasore masih berdiri di Ajinembah, dan sudah dipugar oleh Pemerintah Kabupaten Karo;

Di Desa Siosar yang dahulu masih dalam wilayah kekuasaan Raja Balasore, terdapat satu pohon kayu besar dan tinggi, masyarakat Desa itu menyebutnya Batang Kayu Beru Ginting Munthe. Pohon kayu tersebut pada tahun 2015 pernah dicoba ditebang oleh pekerja yang membersihkan lahan untuk dijadikan pemukiman (resetlement) dan lahan usaha pertanian bagi pengungsi Gunung Sinabung. Sebanyak dua unit gergaji mesin yang digunakan untuk menebang pohon kayu mengalami patah, tetapi pohon kayu samasekali tidak terpotong. Sejak itu, masyarakat disekitar Desa tempat pohon itu berdiri menjadikan pohon kayu tersebut sebagai sesembahan. Di bawah pohon kayu, sering ditemui berbagai jenis barang hiasan perempuan yang dipersembahkan masyarakat yang meyakininya;

Disebelah Selatan Desa Siosar, terdapat Deleng (Bukit) Percinahen yang gersang dan tidak dapat ditumbuhi rerumputan dan kayu-kayuan. Bukit ini dahulunya “ingan Perpanden”, yaitu tempat untuk membuat berbagai jenis peralatan dan perkakas: berperang, berladang, dan mendirikan rumah (termasuk untuk rumah Sipitu Ruang).

Kisah ini menggambarkan beberapa kemungkinan, bahwa:

(1) dahulu selain suku Negrito, tidak ada orang/suku lain yang mampu membangun rumah seperti yang diinginkan Raja;

(2) dengan kerajinan, kebersihan, kerapian, kepintaran, kecakapan, dan kepiawaian suku Negrito membangun dan menyeleaikan rumah Raja tepat waktu dengan rancangan dan kualitas yang melebihi keinginan Raja, maka Rajapun menyenangi suku Negrito serta rela memberikan putrinya yang cantik menjadi istri suku Negrito sebagai kela atau menantunya;

 (3) suku Negrito mungkin saja bangsa penjajah atau bangsa lain yang mampunyai kemampuan dan kepiawaian dalam membangun rumah, seperti yang diinginkan Raja, serta setelah rumah selesai dibangun dan bersukacita, bangsa itupun membawa putri Raja ke negaranya dan tidak pernah kembali lagi.

 

Catatan : Munthe = Munte.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penataan Adat / Matius 15:1-9 (Pekan Penatalayanan Keenam)

Catatan Tambahan PJJ 07 – 13 April 2024

Catatan Tambahan PJJ 18 - 24 Februari 2024