Featured Post
“RUMAH SI PITU RUANG” RAJA BALASORE GINTING MUNTHE DI AJINEMBAH
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Aminton Ginting Munthe, Depok
Ajinembah, sebuah desa yang tentram, dipimpin oleh seorang
Raja marga Ginting Munthe bernama “Raja Balasore”. Raja mempunyai empat orang
anak, tiga putra dan seorang putri. Paras Beru Ginting Munthe, Putri Raja
sangat cantik dengan badan yang gemulai, sehingga tidak ada yang berani
melamarnya untuk dijadikan istri. ...
[ Kisah Beru Sibuaten, disampaikan Mbuah Ginting Munthe,
salah satu putra Ginting Munthe di Laubaleng, Kecamatan Laubaleng, Kabupaten Karo,
yang telah meninggal dunia pada tanggal 25 Agustus 2016, lima hari sebelum hari
ulang tahunnya yang ke 96 pada tanggal 30 Agustus 1920. Hikayat ini telah
disempurnakan dengan menambah dan memuat beberapa saran dari salah seorang
Putra Ajinembah yang sudah mendengar kisah Beru Ginting Munthe serta melihat
bukti dari lapangan. ] ...
Pada suatu hari menjelang sore, datanglah seorang pemuda
menghadap Raja, melamar Beru Ginting Munthe untuk dijadikan isteri:
“Putriku boleh kau jadikan isteri, tapi ada syaratnya”. Kata
Raja Balasore.
“Apa syaratnya Raja,
mudah-mudahan bisa saya penuhi”. Jawab pemuda itu dengan hati yang rendah.
“Kau harus bisa membangun rumah besar yang memiliki 7
ruangan (rumah sipitu ruang) dalam waktu satu hari atau satu malam”. Kata Raja
dengan tegas.
“Baik Raja, dimanakah kiranya lokasi rumah yang akan saya
bangun?”. Tanya pemuda itu untuk memastikan.
“Di sebelah rumah ini
saja, tanah yang tersedia masih luas”. Jawab Raja dengan menunjuk.
“Apa masih ada yang lain Raja inginkan?” Tanya pemuda itu
menawarkan.
“Itu saja dulu, kalau
kau tidak bisa membuat dan menyelesaikannya dalam waktu satu hari atau satu
malam, maka lehermu akan saya potong”. Sahut Raja mengulangi dengan tegas.
“Baik Raja, malam ini juga akan saya kerjakan, sehingga
besok pagi, rumah yang Raja inginkan itu sudah ada. Kalau tidak ada lagi yang
Raja inginkan, saya pamit dulu”. Sahut pemuda itu seraya berdiri.
“Baik, kerjakanlah
itu”. Balas Raja dengan singkat tanda memerintah.
Setelah pemuda itu keluar dari rumah Raja, hari gelap dan
hujan turun dengan sangat lebat, sehingga dalam jarak dekat tidak tampak
apapun, hanya gelap gulita. Tetapi Raja masih bisa mendengar suara peralatan
bertukang yang sedang membangun rumah.
Pada subuh hari disaat ayam berkokok, pemuda itu mengetuk pintu
rumah Raja Balasore:
“Siapa itu, pagi-pagi sekali sudah datang!” Bentak Raja,
sambil berdiri dari tempat tidurnya dan berjalan menuju pintu rumah.
“Saya Raja, rumah yang Raja minta sudah selesai saya
bangun”. Sahut pemuda yang mengetuk dan berdiri di depan pintu.
Setelah pintu dibuka,
Raja melihat pemuda yang datang kepadanya kemaren sore untuk melamar putrinya
sedang berdiri dan membungkuk hormat:
“Hm… kamu, sudah selesai rumah yang saya minta itu?” Tanya
Raja kepada pemuda itu memastikan.
“Sudah saya selesaikan Raja, silahkan lihat dulu, apakah
sudah sesuai dengan keinginan Raja”. Sahut pemuda itu untuk meyakinkan Raja.
Raja Balasore menoleh ke samping rumah dan melihat di atas
tanah pekarangannya sudah berdiri sebuah rumah besar seperti yang dia inginkan.
Raja berjalan ke samping rumah seraya melipat tangan ke dada untuk
menghangatkan tubuhnya yang kedinginan, diam-diam mengagumi.
Pemuda itu mengikuti Raja dari belakang dengan menatap
punggung dan tubuh Raja yang tinggi besar. Setelah Raja sampai di depan pintu,
pemuda itupun berlari ke depan untuk membukakan pintu yang masih tertutup:
“Silahkan masuk Raja,
tolong lihat dan amati, apakah sudah sesuai dengan keinginan Raja”. Kata pemuda
itu seraya membungkuk untuk meminta pendapat dari Raja.
Raja Balasore melepas tangan yang terlipat didadanya, dan
memasuki rumah besar itu. Dengan diam, Raja mengamati dengan jeli dan
menghitung ruangan rumah. Sebanyak tujuh ruangan sudah tersedia, dibangun
dengan rapi dari kayu berkualitas:
“Mana teman-temanmu yang membangun rumah ini?” Tanya Raja
ingin tau.
“Saya yang membangunnya Raja”. Sahut pemuda dengan
membungkuk untuk meyakinkan Raja.
“Kamu sendiri yang membangunnya?” Sahut Raja sambil menoleh
pemuda itu dengan heran.
“Ya, saya sendiri
Raja”. Sahut pemuda itu dengan singkat dan tetap membungkuk.
“Baik, rumah ini sudah kamu bangun dengan baik dan sudah
sesuai dengan yang saya inginkan”. Sahut Raja dengan kagum.
“Kalau begitu, kapan Raja mau memasuki rumah ini?” Tanya
pemuda itu, ingin mengetahui rencana Raja.
“Dalam dua atau tiga hari ini, karena saya harus
mengumpulkan semua keluarga dan rakyatku, serta menyediakan makanan untuk
merayakannya”. Sahut Raja menjelaskan rencananya.
“Bila Raja berkenan, biarlah saya saja yang memasak makanan
dan minuman yang dibutuhkan untuk merayakan pesta memasuki rumah baru ini”.
Kata pemuda itu menawarkan diri.
“Baik, saya setuju. Kumpulkanlah teman-temanmu untuk
mengerjakannya”. Sahut Raja mengijinkan. “Saya sendiri yang akan mengerjakannya
Raja. Bila Raja berkenan, dimanakah kiranya lumbung padi yang bisa saya ambil
untuk dimasak nasi, serta tempat ternak sapi atau kerbau digembalakan untuk
saya ambil dan dipotong untuk lauk?”. Tanya pemuda itu sambil tetap membungkuk
hormat untuk memastikan.
“Padi ada di dalam lumbung saya di sebelah rumah, dan Sapi
atau Kerbau bisa kamu ambil di padang pengembalaan ternak saya di atas bukit
itu”. Sahut Raja sambil menunjuk tempat padi dan Sapi/Kerbau yang dibutuhkan
untuk dimasak.
“Baik Raja, undanglah semua keluarga dan rakyat Raja. Dalam
dua hari ini, semua kebutuhan dan makanan untuk pesta memasuki rumah itu sudah
saya siapkan”. Sahut pemuda itu seraya membungkuk meyakinkan Raja.
Setelah beberapa saat berkeliling mengitari ruangan, mereka
berduapun keluar dari rumah yang baru dibangun itu. Raja mendahului keluar
untuk kembali ke rumahnya tanpa menoleh, serta pemuda itu belakangan untuk
menutup pintu rumah, kemudian pergi melalui jalan desa dan menghilang.
Rumah besar yang
diinginkan Raja sudah selesai dibangun, makanan yang diperlukan untuk pesta memasuki
rumah baru sudah tersedia, dan pemuda mesterius telah menyanggupi menyiapkan
tempat dan makanan pesta memasuki rumah baru, maka Raja Balasore menyebarkan
undangan ke seluruh keluarga dan masyarakat, baik di desa maupun diluar desa
dalam wilayah kekuasaannya.
Raja juga menyuruh seluruh bawahan dan beberapa masyarakat
kepercayannya untuk membantu persiapan dan pelaksanaan acara atau pesta
memasuki rumah baru. Sesuai undangan, di pagi hari dihari kedua, Raja Balasore
beserta seluruh keluarga bangun, berkemas, berpakaian rapi, dan berangkat ke
rumah baru yang akan dimasuki.
Sebelum memasuki halaman rumah baru yang akan dimasuki, Raja
terkejut dan heran melihat tikar untuk tempat duduk undangan dan makanan untuk
pesta memasuki rumah baru sudah tersedia dengan rapi. Sepintas Raja mengagumi,
bahwa yang menyiapkan semua itu adalah anak buah dan masyarakat yang sudah
ditugaskan membantu pelaksanaan pesta memasuki rumah baru itu.
Disaat raja masih berdiri dan kagum melihat persiapan
memasuk rumah baru, pemuda misterius itu datang tergopoh menyambut Raja: “Tempat
dan semua kebutuhan pesta sudah saya siapkan, apa masih ada yang kurang?” Tanya
pemuda itu kepada Raja dengan kepala merunduk untuk memperoleh persetujuan.
“Apa kamu sendiri yang menyiapkan tempat ini?” Tanya Raja
memastikan dengan raut wajah terheran-heran.
“Ya Raja, saya yang menyiapkannya. Semua keperluan makan dan
minum serta makanan dan minuman untuk menjamu undangan Raja juga sudah saya
siapkan.” Sahut pemuda itu dengan tetap membungkuk menyampaikan laporan yang
sudah dia lakukan.
“Dimana makanan yang
sudah kamu siapkan itu?” Tanya Raja singkat untuk mengetahui kebenaran makanan
yang sudah disiapkan pemuda itu. “Disana, disebelah Timur Raja.” Sahut pemuda
itu seraya berjalan kesisi untuk menuntun Raja ke tempat makanan yang sudah
disiapkan.
Dengan melipat tangan ke belakang, Rajapun berjalan mengiktu
pemuda yang berjalan disampingnya menuju tempat makanan yang sudah disiapkan
pemuda itu. Melihat makanan yang sudah masak dan dimasukkan dalam wadah yang
bagus dan rapi, Raja berdecap tanda heran dan kagum: “Berapa banyak makanan
yang sudah kamu siapkan ini?” Tanya Raja ingin mengetahui jumlah tamu yang bisa
diberi makan.
“Cukup untuk makanan tamu yang datang hari ini, dan bila
kurang akan saya siapkan lagi bagi yang akan datang, sehingga semua tamu Raja
bisa makan.” Sahut pemuda itu untuk mengurangi keraguan Raja apabila makanan
kurang.
“Baik, siap-siaplah dengan temanmu, sebentar lagi tamu akan
datang.” Sahut Raja memuji sambil memerintah untuk siap di tempat, dan berjalan
masuk ke rumah baru itu. Beberapa saat kemudian, undangan dari keluarga,
masyarakat Ajinembah, dan masyarakat dari desa lain di wilayah kekuasaan Raja
Balasore berdatangan dan menyalami Raja. Setiap tamu yang datang, disuruh Raja
harus makan dulu sebelum pulang ke masing-masing desanya. Pesta memasuki rumah
baru itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Ratusan ternak Sapi dan
kerbau, termasuk Kerbau Nagga Lutu milik Raja yang badannya besar dan di
punggungnya bisa digunakan oleh dua orang untuk bermain catur, sudah habis
dipotong. Demikian juga dengan cadangan makanan di lumbung, ribuan kaleng padi
sudah habis diolah menjadi beras untuk ditanak nasi. Untuk membuktikan bahwa
bahan untuk makanan sudah habis, maka Raja Balasore didampingi pemuda itu,
pergi ke lumbung padi dan padang penggembalaan. Benar, lumbung padi ditemukan
sudah kosong tetapi tidak ada terlihat kulit padi bekas tumbukan untuk
dijadikan beras, dan Sapi serta kerbau juga sudah habis dipotong. Raja setelah
di rumah, termenung memikirkan:
“Maaf Raja, pesta
memasuki rumah baru sudah berlangsung tujuh hari tujuh malam, tetapi tamu
undangan Raja masih ada yang datang”. Sapa pemuda itu mengejutkan Raja.
“Ya….. sayapun heran
dan sudah kewalahan. Untuk menjamu mereka, padi di lumbung serta Sapi dan
Kerbau di padang pengembalaan sudah habis, tetapi mereka tetap saja
berdatangan.” Sahut Raja Balasore mengeluh dengan wajah letih.
“Maaf Raja, bila Raja
berkenan, saya akan mengatasi mereka supaya tidak datang lagi.” Kata pemuda itu
meyakinkan dan menghibur Raja.
“Baik, lakukanlah itu, supaya merekapun tidak datang lagi”.
Sahut Raja dengan wajah menyetujui.
Pemuda itupun pamit dari hadapan Raja, seraya berjalan untuk
mengambil tepung beras dan air, serta mencampur dan mengaduknnya sehingga
menjadi adonan. Setiap tamu yang datang, diberi tanda dengan membubuhkan adukan
tepung beras itu di dahi tengah serta pelipis kiri dan kanan. Kemudian, setiap
tamu yang sudah diberi tanda, disuruh masuk ke rumah melalui tangga depan dan
keluar rumah melalui tangga belakang, lalu pergi meninggalkan rumah.
Demikianlah diperbuat
pemuda itu kepada setiap tamu yang datang, dan seluruh tamu tidak kembali lagi.
Setelah semua tamu dan undangan pergi dan tidak kembali lagi, tinggallah Raja
dengan isteri, ke empat anaknya, dan pemuda itu:
“Maaf Raja, persyaratan untuk meminang putri Raja sudah saya
kerjakan sesuai permintaan Raja. Rumah baru dengan tujuh ruang sudah saya
bangun, makanan untuk keperluan pesta sudah saya siapkan, pesta memasuki rumah
baru juga sudah selesai, dan tamupun sudah pulang semuanya. Sebelum kami pergi
dengan putri Raja, apakah masih ada yang saya kerjakan?”. Tanya pemuda itu
sebagai tanda berpamitan untuk membawa putri Raja, beru Ginting Munthe.
“Semua yang saya minta sudah kamu penuhi, berangkatlah
bersama putri saya yang kami sayangi, dan jenguklah kami di kampung ini pada
saat kami rindu”. Sahut Raja dengan wajah pilu dan suara serak, karena tidak
kuat melihat putrinya dibawa pergi.
Berangkatlah putri Raja bersama pemuda itu melalui jalan
masuk desa, dan menghilang ditengah jalan.
Setelah beberapa lama, Rajapun sangat rindu kepada putrinya
beru Ginting Munthe, tetapi Raja tidak tahu kepada siapa harus menyampaikan
pesannya. Pemuda itu telah memenuhi segala keinginan Raja, sehingga Raja sangat
bersukacita dan lupa menanyakan nama dan alamat pemuda yang sudah membawa
putrinya.
Pemuda itu, tanpa bantuan dari yang lain, mampu memenuhi
permintaan Raja, karena dia adalah Raja Umang dari ras Negroid (negrito).
Sepeninggal putrinya, Raja merasa kesepian, selalu
termenung, dan uring-uringan, karena sangat merindukan putrinya. Keberadaan dan
pendapat ketiga putranya selalu ditanggapi dengan dingin.
Pada suatu saat, amarah Raja memuncak dan mengusir ke tiga
putranya keluar dari Kerajaan. Ketiga putra Raja pun sepakat keluar dari
Ajinembah: satu ke Tongging, satu ke Dokan, dan satu lagi ke Pengambaten,
tetapi urutan persaudaraan dalam sulung dan bungsu yang menempati masing[1]masing daerah tidak
diketahui.
Karena kesedihan dan kekecewaan, Raja Balasore berseru dan
mengumpat: “untuk keturunannya, janganlah ada lagi beru Ginting Munthe yang
cantik”. Hal inilah menyebabkan: setiap marga Ginting Munthe sangat menyayangi
dan merindukan anak dan turangnya beru Ginting Munthe; dan tidak ada lagi beru
Ginting Munthe yang cantik, tetapi tetap patuh dan sayang kepada Bapak dan
turangnya Ginting Munthe.
Dari ketiga daerah
inilah kemudian menyebar marga Ginting Munthe ke seluruh wilayah Simalungun
menjadi marga Saragih; di Karo tetap marga Ginting Munthe; di Tapanuli Selatan
menjadi Dalimunthe; di Tapanuli menjadi marga Saragi, Napitu, Munthe, dan
lainnya; serta Dairi dan Aceh (Singkel, Keluwat, Gayo, Alas ) menjadi marga
Munthe.
Dari hasil pengamatan ke Desa Ajinembah dan Desa Siosar pada
pertengahan tahun 2017, ada tiga hal aneh yang mendukung Hikayat Beru Ginting
Munthe, putri Raja Balasore Ajinembah, antara lain: Sebagian tonggak/dasar
tiang rumah Sipitu Ruang kediaman Raja Balasore masih berdiri di Ajinembah, dan
sudah dipugar oleh Pemerintah Kabupaten Karo;
Di Desa Siosar yang dahulu masih dalam wilayah kekuasaan
Raja Balasore, terdapat satu pohon kayu besar dan tinggi, masyarakat Desa itu
menyebutnya Batang Kayu Beru Ginting Munthe. Pohon kayu tersebut pada tahun
2015 pernah dicoba ditebang oleh pekerja yang membersihkan lahan untuk
dijadikan pemukiman (resetlement) dan lahan usaha pertanian bagi pengungsi
Gunung Sinabung. Sebanyak dua unit gergaji mesin yang digunakan untuk menebang
pohon kayu mengalami patah, tetapi pohon kayu samasekali tidak terpotong. Sejak
itu, masyarakat disekitar Desa tempat pohon itu berdiri menjadikan pohon kayu
tersebut sebagai sesembahan. Di bawah pohon kayu, sering ditemui berbagai jenis
barang hiasan perempuan yang dipersembahkan masyarakat yang meyakininya;
Disebelah Selatan Desa Siosar, terdapat Deleng (Bukit)
Percinahen yang gersang dan tidak dapat ditumbuhi rerumputan dan kayu-kayuan.
Bukit ini dahulunya “ingan Perpanden”, yaitu tempat untuk membuat berbagai
jenis peralatan dan perkakas: berperang, berladang, dan mendirikan rumah (termasuk
untuk rumah Sipitu Ruang).
Kisah ini menggambarkan beberapa kemungkinan, bahwa:
(1) dahulu selain suku Negrito,
tidak ada orang/suku lain yang mampu membangun rumah seperti yang diinginkan
Raja;
(2) dengan kerajinan, kebersihan,
kerapian, kepintaran, kecakapan, dan kepiawaian suku Negrito membangun dan
menyeleaikan rumah Raja tepat waktu dengan rancangan dan kualitas yang melebihi
keinginan Raja, maka Rajapun menyenangi suku Negrito serta rela memberikan
putrinya yang cantik menjadi istri suku Negrito sebagai kela atau menantunya;
(3) suku Negrito mungkin saja bangsa penjajah
atau bangsa lain yang mampunyai kemampuan dan kepiawaian dalam membangun rumah,
seperti yang diinginkan Raja, serta setelah rumah selesai dibangun dan
bersukacita, bangsa itupun membawa putri Raja ke negaranya dan tidak pernah
kembali lagi.
Catatan : Munthe = Munte.
Komentar