Featured Post

Perlunya Pembinaan Partisipatif dan Regeneratif di GBKP Runggun Graha Harapan Bekasi

 Pt. Em Analgin Ginting M.Min. 

Pendahuluan

Pembinaan jemaat merupakan salah satu tugas hakiki gereja yang tidak dapat dipisahkan dari panggilan teologisnya sebagai ekklesia—umat Allah yang dipanggil, dibentuk, dan diutus ke tengah dunia (Ef. 4:11–13). Gereja bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga ruang pembelajaran iman, karakter, dan kepemimpinan. Oleh karena itu, pembinaan yang berkelanjutan, partisipatif, dan regeneratif menjadi indikator penting kesehatan sebuah gereja lokal.

Dalam konteks Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), pembinaan memiliki makna yang lebih luas karena terkait erat dengan sistem pelayanan presbiterial-sinodal yang menekankan kepemimpinan kolektif-kolegial (runggu). Artikel ini hendak memperdalam, melengkapi, dan mengontekstualisasikan tulisan awal mengenai perlunya pembinaan di GBKP Runggun Graha Harapan Bekasi, dengan tetap mempertahankan esensi pengalaman empiris yang telah dituliskan, sekaligus memperkaya dengan muatan teologis dan refleksi aktual.


Teologi Pembinaan dan Regenerasi dalam Gereja

Secara teologis, pembinaan berakar pada panggilan pemuridan (discipleship). Yesus sendiri memanggil murid-murid-Nya bukan hanya untuk mengikuti, tetapi untuk dibentuk, diuji, dan akhirnya diutus (Mat. 28:19–20). Rasul Paulus menegaskan bahwa karunia kepemimpinan dalam gereja diberikan "untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan" (Ef. 4:12). Dengan demikian, pembinaan bukanlah aktivitas tambahan, melainkan inti dari misi gereja.

Dalam tradisi Reformasi, khususnya yang memengaruhi tata gereja presbiterial-sinodal, gereja dipahami sebagai school of faith—sekolah iman—di mana setiap anggota dipanggil untuk bertumbuh dalam pengenalan akan Kristus dan kesiapan melayani. John Calvin menekankan bahwa gereja bertugas membina umat agar hidup bertanggung jawab di hadapan Allah dan sesama, bukan menciptakan ketergantungan pasif kepada elite rohani.

Pembinaan yang sehat selalu berorientasi pada regenerasi. Tanpa regenerasi, gereja akan stagnan dan akhirnya mengalami kelelahan struktural (organizational fatigue). Regenerasi tidak terjadi secara instan, tetapi melalui proses pelibatan, pendampingan, kepercayaan, dan evaluasi yang berkelanjutan.

Pengalaman Historis GBKP Runggun Graha Harapan

Pengalaman GBKP Runggun Graha Harapan memberikan contoh konkret bagaimana visi pembinaan dapat diwujudkan secara nyata. Sejak diterima sebagai runggun penuh, pimpinan saat itu mencanangkan visi bahwa pembinaan akan menjadi prioritas utama. Visi ini bukan sekadar slogan, tetapi diterjemahkan secara operasional dengan melibatkan jemaat dalam berbagai kepanitiaan dan pelayanan.

Lebih jauh, telah dirumuskan harapan bahwa GBKP Runggun Graha Harapan akan menjadi lumbung pelayan bagi tingkat klasis dan bahkan moderamen. Fakta menunjukkan bahwa visi ini tidak sia-sia. Sejumlah presbiter dan jemaat dari GBKP Runggun Graha Harapan dipercaya mengemban tanggung jawab strategis di tingkat klasis maupun moderamen. Keterlibatan Pt. Analgin Ginting sebagai anggota Moderamen GBKP periode 2010–2015, serta berbagai posisi kepemimpinan kategorial dan struktural di klasis, menjadi bukti konkret bahwa pembinaan yang sistematis menghasilkan buah pelayanan.

Di tingkat internal runggun, pola pembinaan diwujudkan dengan melibatkan jemaat biasa sebagai panitia, bendahara, pengurus kategorial, dan berbagai unit pelayanan. Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepanitiaan merupakan “sekolah awal” bagi calon pertua dan diaken. Data empiris menunjukkan bahwa sekitar 80% pertua dan diaken periode terbaru merupakan mereka yang sebelumnya telah ditempa melalui keterlibatan aktif dalam kepanitiaan dan pelayanan sektor.

Fakta dan Tantangan BPMR Periode 2025–2030

Namun, dinamika pelayanan tidak selalu berjalan linier. Pada periode BPMR 2025–2030, muncul kecenderungan yang berbeda. Sejumlah kegiatan strategis, termasuk pesta kerja rani tahun 2025, dilaksanakan secara relatif eksklusif oleh BPMR dan majelis, dengan minim pelibatan jemaat biasa dalam tanggung jawab substansial.

Perlu ditegaskan bahwa pendekatan ini tidak serta-merta salah. Namun, dari perspektif teologi pembinaan, terdapat peluang yang terlewatkan. Ketika jemaat tidak dilibatkan, proses pembelajaran kepemimpinan, tanggung jawab, dan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap gereja menjadi terhambat.

Tantangan lain yang muncul adalah lemahnya ruang dialog yang dewasa dan produktif dalam proses pengambilan keputusan. Pengalaman penulis yang merasa dipojokkan saat mengusulkan mekanisme lelang terbuka dalam pembangunan gereja mencerminkan belum matangnya budaya musyawarah (runggu) yang seharusnya menjadi kekuatan utama gereja presbiterial. Ketika perbedaan pendapat tidak dikelola secara sehat, gereja berisiko kehilangan dimensi profetis dan reflektifnya.

Analisis Teologis dan Organisasional

Dari sudut pandang teologi kepemimpinan, gereja dipanggil untuk mempraktikkan servant leadership—kepemimpinan yang melayani, memberdayakan, dan membuka ruang partisipasi (Mrk. 10:42–45). Kepemimpinan yang terlalu terpusat, meskipun efisien dalam jangka pendek, berpotensi melemahkan regenerasi dalam jangka panjang.

Secara organisasional, berbagai studi kontemporer tentang volunteer-based organizations menunjukkan bahwa pelibatan anggota meningkatkan komitmen, kualitas kepemimpinan masa depan, dan keberlanjutan institusi. Gereja, sebagai komunitas iman, seharusnya menjadi teladan dalam hal ini.

Solusi dan Rekomendasi Strategis

Beberapa langkah strategis yang dapat dipertimbangkan antara lain:

1. Penguatan Kepemimpinan Kolektif-Kolegial

BPMR perlu secara sadar memperkuat kembali pemahaman dan praktik runggu sebagai ruang dialog teologis, bukan sekadar formalitas struktural.

2. Pelibatan Jemaat dalam Kepanitiaan

Setiap kegiatan besar gereja hendaknya dirancang sebagai ruang pembinaan, dengan melibatkan jemaat lintas usia dan latar belakang secara terencana.

3. Optimalisasi Peran Senior dan Emeritus

Para presbiter senior dan emeritus memiliki modal pengalaman dan kebijaksanaan yang sangat berharga. Peran mereka sebagai mentor dan pendamping perlu diformalkan.

4. Inovasi dan Kolaborasi Misi

Gereja perlu membuka diri terhadap gagasan kreatif, kolaboratif, dan kontekstual agar pelayanan tetap relevan bagi generasi muda dan masyarakat urban.

Kesimpulan dan Saran

Pembinaan bukan sekadar program, melainkan roh yang menghidupi seluruh pelayanan gereja. Pengalaman GBKP Runggun Graha Harapan menunjukkan bahwa pembinaan yang konsisten dan partisipatif mampu melahirkan pemimpin-pemimpin gereja yang berkualitas. Tantangan pada periode tertentu hendaknya dibaca bukan sebagai kegagalan, melainkan sebagai panggilan untuk refleksi dan pembaruan.

Ke depan, GBKP Runggun Graha Harapan diharapkan kembali meneguhkan dirinya sebagai komunitas pembelajar yang dewasa secara teologis, inklusif secara struktural, dan profetis dalam kesaksiannya—demi kemuliaan Tuhan dan pertumbuhan jemaat.

Referensi (Pilihan)

Calvin, J. (1559/2008). Institutes of the Christian Religion. Louisville: Westminster John Knox Press.

Green, M. (1992). Discipleship: The Radical Call of Jesus. London: Hodder & Stoughton.

Heifetz, R., Grashow, A., & Linsky, M. (2009). The Practice of Adaptive Leadership. Boston: Harvard Business Press.

Küng, H. (1995). The Church. New York: Continuum.

Newbigin, L. (1989). The Gospel in a Pluralist Society. Grand Rapids: Eerdmans.

Alkitab Terjemahan Baru. (2015). Jakarta: LAI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Tambahan PJJ 6 - 12 Juli 2025

Catatan Tambahan PJJ 6 - 12 April 2025

Catatan Tambahan PJJ 11 – 17 Mei 2025