Featured Post

Catatan Khotbah Minggu 12 Mei 2024

Gambar
 Minggu Eksaudi : Begiken Min O Jahwe Warna Mbentar Invocatio          :  “(Pilipi 3 : 16)” Ogen                     :  Perbahanen Rasul Rasul 1 : 1 - 5  (Tunggal )     Khotbah            :  Masmur 31 : 1 – 5      (Responsoria )     Thema                 :  Pemindon Lako Iampang-ampangi Tuhan              Khotbah : Masmur 31 : 1 – 5     Masmur Daud. Ku Kam aku cicio o TUHAN ula pelepas aku kemalun. Kam kap Dibata si bujur, mindo aku, maka IkeliniNdu aku. Begiken min pertotonku pedas min Kam reh mulahi aku. Jadi min Kam deleng batu inganku cicio, kubungku si nteguh inganku terkawal. Kam kap ingan cebuni dingen bentengku, tegu-tegu dingen babai aku erkiteken GelarNdu. Tegu-tegu aku maka ula aku kena siding itogeng kalak man bangku. Ampang-ampangi aku maka ula aku kena cilaka. Pembukaan   Syalomm mejuah juah senina ras turang, Kidekah nggeluh manusia ibas doni enda, lit lalap perbeben.  Lit nge lalap kiniseran, kiniseraan si mengancam keselamatan ta.  Tapi lit ka nge jalan keluar,

Sejarah dan Perkembangan Kebudayaan Karo dan Eksistensi Masyarakat Karo Masa Kini Dalam Upaya Pelestarian Seni dan Budaya Karo.

Oleh : Roy Fachraby Ginting, SH, M.Kn.

Praktisi dan Dosen Ilmu Sosial Budaya Dasar USU

1. Pendahuluan.


Suku Karo adalah suku  asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. 


Nama suku Karo ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo.


Suku Karo memiliki bahasa dan aksara sendiri yang disebut Bahasa dan aksara Karo, dan memiliki salam khas, yaitu Mejuah-juah.


Bahasa Karo adalah salah satu bahasa Austronesia yang utamanya dituturkan oleh masyarakat Karo di wilayah Kabupaten Karo, Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Dairi, dan Kota Medan.


Aksara yang digunakan oleh orang Karo adalah Tulisen Karo yang merupakan varian dari Surat Bilang bilang.


Aksara ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi.


Sementara pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas.


Adapun keberadaan Rumah adat suku Karo atau yang dikenal dengan nama Rumah Si Waluh Jabu yang berarti rumah untuk delapan keluarga, yaitu Rumah yang terdiri dari delapan bilik yang masing-masing bilik dihuni oleh satu keluarga.


Tiap keluarga yang menghuni rumah itu memiliki tugas dan fungsi yang berbeda beda sesuai dengan pola kekerabatan masing-masing.


Sangkep Nggeluh Kalak Karo.  Yang diatas adalah orang tuanya Y ayah dan X ibu. 


2. Eksistensi Karo


Eksistensi Karo mulai di kenal sejak adanya Kerajaan Aru atau Haru yang merupakan sebuah kerajaan Karo yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatera Utara dan berkuasa pada kurun abad ke-13 sampai abad ke-16 Masehi. 


Dalam tradisi suku Karo sendiri, kerajaan Aru (Haru) dipercaya berdiri sekitar tahun 628 M dengan raja pertamanya bernama Pa Lagan. 


Kisah kebesaran Pa Lagan ini juga tersirat dalam babat Sunda. Tahun 860 M. Kerajaan Aru di serang Sriwijaya, namun tidak berhasil, akan tetapi, banyak penduduk yang pindah ke AlƩ (Delitua) dan dataran tinggi Karo.


Pada masa jayanya kerajaan ini adalah kekuatan bahari yang cukup hebat, dan mampu mengendalikan kawasan bagian utara Selat Malaka.


Penduduk asli kerajaan Aru atau Haru yang menjalankan ajaran Pemena dan animisme serta Hinduisme. 


Pada abad ke-13 Masehi, ajaran Islam datang dan kemudian juga dipratikkan bersamaan dengan ajaran asli setempat yang sudah ada.


Ibu kota Kerajaan Aru atau Haru terletak di sekitar Deli Tua, Medan dan di sekitar Kabupaten Deli Serdang dan Langkat. 


Penduduk kerajaan Aru atau Haru dipercaya merupakan keturunan orang orang Karo yang menghuni pegunungan di pedalaman Sumatera Utara. 


Kerajaan Haru juga disebut dalam catatan naskah-naskah Jawa, ini di sebutkan dalam Kitab Pararaton, yang tepatnya disebut di dalam Sumpah Palapa yang di ucapkan Mahapatih Gajah Mada yang ucapkan :


“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, TaƱjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa”


Dalam bahasa Indonesia mempunyai arti :


“Dia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa


Dalam kitab berbahasa Arab-Melayu Sulalatus Salatin, menyebutkan Kerajaan Haru sebagai salah satu kerajaan yang cukup berpengaruh di kawasan. 


Kerajaan Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai.


3. Wilayah Tradisional Suku Karo


1. Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Karo. Wilayah yang terkenal di kabupaten ini adalah Berastagi dan Kabanjahe.


Berastagi merupakan salah satu kota turis di Sumatera Utara yang sangat terkenal dengan produk pertaniannya yang unggul.


Mayoritas masyarakat Karo bermukim di daerah pegunungan ini, tepatnya di daerah Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak yang sering disebut sebagai Taneh Karo Simalem. 


2. Pendiri Kota Medan adalah seorang putra Karo asal Aji Jahe yang bernama Guru Pa Timpus Sembiring Pelawi.


Guru Pa Timpus Sembiring Pelawi dan istrinya beru Tarigan putri Panglima Hali Tarigan Raja Pulu Berayan membuka kawasan hutan antara Sungai Deli dan Sungai Babura yang kemudian menjadi Kuta Madaan atau Kampung Medan Negeri Sepulu Dua Kuta dan tanggal kejadian tersebut sesuai dengan almanak Karo Wari si telupuluh jatuh pada Nggara 10 Paka 5 Paka Bulung Bulung La Terpan Wari Janggut Janggut Kalak Kati dan Barang Berharga Raja Raja yang menurut perhitungan tahun Masehi jatuh pada tanggal 1 Juli 1590, yang hingga kini diperingati sebagai hari jadi kota Medan dan masyarakat Karo sejak tahun 2015 telah  menyelenggarakan Pesta Kerja Tahun Merdang Merdem Kuta Medan untuk mengenang Guru Pa Timpus Sembiring Pelawi mendirikan Kuta Medan. 


Sebagian sejarawan dan pemerhati budaya juga percaya bahwa asal mula nama Medan berasal dari bahasa Karo, yakni "madaan" yang berarti sembuh sesuai dengan profesi Guru Pa Timpus sebagai Guru Penawar atau Thabib.


Wilayah Kuta Medan pada awalnya terdiri dari 4 Raja Urung yaitu :


1. Sepulu Dua Kuta dengan Raja keturunan Merga Sembiring Pelawi Mergana.


2. Sunggal Serba Naman dengan Raja Keturunan Karo Karo Surbakti Mergana.


3. Senembah dengan Raja Keturunan Karo Karo Barus Simbelang Pinggel.


4. Sukapiring dengan Raja Keturunen Sembiring Pelawi dan Karo Sekali Mergana


3. Kota Binjai merupakan daerah yang memiliki interaksi paling kuat dengan Kota Medan dan Kabupaten Karo serta Langkat. Nama "Binjai"  berasal dari kisah Perlanja Sira dan dari gabungan kedua kosakata bahasa Karo, "ben" dan "i-jei" yang artinya "bermalam di sini" ketika perlanja sira datang dari Pegunungan menuju tepi laut untuk barter garam untuk di bawa ke pegunungan.


Hal tersebut kemudian diucapkan menjadi "Binjei" dan menjadi "Binjai" hingga sekarang.


4. Masyarakat Karo di Kabupaten Langkat mendiami daerah hulu, seperti Bahorok, Kutambaru, Sei Bingai, Kuala, Salapian, Selesai, Batang Serangan, dan Serapit. 


Teluk Aru yang berada di Langkat Hilir juga pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Haru, kerajaan bercorak Karo dan Melayu yang cukup eksis pada jamannya.


5. Kabupaten Dairi yang sebagian wilayahnya merupakan bagian dari Taneh Karo adalah :


Kecamatan Tanah Pinem, Tigalingga dan Gunung Sitember


6. Sebagian wilayah Kabupaten Simalungun yang merupakan bagian dari Taneh Karo adalah :


Kecamatan Dolok Silau, Pamatang Silima Huta dan Silimakuta


7. Sebagian wilayah Kabupaten Deli Serdang yang merupakan bagian dari Taneh Karo adalah :


Kecamatan Tanjung Morawa, Sinembah Tanjung Muda Hulu, Sinembah Tanjung Muda Hilir, Sibolangit, Pancur Batu, Kutalimbaru, Sunggal, Deli Tua, Sibiru-biru dan Gunung Meriah.


8. Sebagian wilayah Kabupaten Aceh Tenggara yang merupakan bagian dari Taneh Karo adalah :


Kecamatan Lawe Sigala-Gala dan Semadam


4. Seni dan budaya. 


Orang Karo mempunyai beberapa kebudayaan tradisional, mulai dari kesenian (sastra), dan musik serta tari tradisional. 


1. Alat musik tradisional Karo adalah Gendang Karo. 


Biasanya disebut Gendang “Lima Sendalanen” yang artinya seperangkat gendang tari yang terdiri dari lima unsur.


Unsur disini terdiri dari beberapa alat musik tradisional Karo seperti kulcapi, balobat, surdam, keteng-keteng, murhab, serune, gendang si ngindungi, gendang si nganaki, penganak dan gung. 


Alat tradisional ini sering digunakan untuk menari, menyanyi dan berbagai ritual dan tradisi.


Jadi gendang Karo sudah lengka, jika sudah ada serune, gendang si ngindungi, gendang si nganaki, penganak dan gung dalam mengiringi sebuah upacara atau pesta adat.


2. Tari dalam bahasa Karo disebut "landek". Pola dasar tari Karo adalah posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun lutut (endek) disesuaikan dengan tempo gendang dan gerak kaki. 


Pola dasar tarian itu ditambah dengan variasi tertentu sehingga tarian tersebut menarik dan indah.


Tarian berkaitan adat misalnya memasuki rumah baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Tarian berkaitan dengan ritus dan religi biasa dipimpin oleh guru (dukun). 


Misalnya tari mulih-mulih, tari tungkat, erpangir ku lau, tari baka, tari begu deleng, tari muncang, dan lain-lain.


Tarian berkaitan dengan hiburan digolongkan secara umum. 


Misalnya tari gundala-gundala, tari ndikkar dan lain-lain.


Sejak tahun 1960 tari Karo bertambah dengan adanya tari kreasi baru. Misalnya tari lima serangkai yang dipadu dari lima jenis tari yaitu tari morah-morah, tari perakut, tari cipa jok, tari patam patam lance dan tari kabang kiung.


Setelah itu muncul pula tari piso surit, tari terang bulan, tari roti manis dan tari nuan page. 


3. Seni ukir dan pahat


Keragaman seni pahat dan ukir etnis Karo terlihat dari corak ragam bangunannya. 


Dulu orang yang ahli membuat bangunan Karo disebut "Pande Tukang".


Hal ini terlihat dari jenis-jenis bangunan Karo seperti rumah Siwaluh Jabu, Geriten, Jambur, Batang, Lige-lige, Kalimbaban, Sapo Gunung, dan Lipo. 


Seni ukir yang menjadi kekayaan kesenian Karo terlihat pada setiap ukiran bangunannya seperti Ukir Cekili Kambing, Ukir Ipen-Ipen, Ukir Embun Sikawiten, Ukir Lipan Nangkih Tongkeh, Ukir Tandak Kerbo Payung, Ukir Pengeretret, dan Ciken.


4. Suku Karo juga memiliki drama tradisional yang disebut dengan Gundala Gundala.


5. Ndikkar atau Seni Bela Diri Karo


Ndikkar adalah seni bela diri orang suku Karo yang dapat juga di sebut Silat Karo. 


Kata ndikkar untuk penamaan bela diri/silat dalam bahasa Karo kadang kerap disamakan dengan kata pandikkar.


Kata ndikkar hanya untuk menyebut silat/bela diri, sedangkan pandikkar merupakan seseorang yang mempunyai ilmu bela diri yang tinggi atau bisa juga orang yang mendalami ilmu bela diri.


Kata Ndikkar tersebut mulai jarang digunakan masyarakat Karo sehingga saat ini asing terdengar. 


Masyarakat Karo dewasa ini cenderung menyebutnya dengan nama Silat Karo saja.


5. Kegiatan kebudayaan dan adat istiadat


Masyarakat Adat Karo memiliki kegiatan dan pesta seni budaya yang di kenal dengan :


1. Merdang Merdem: "Kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".


2. Mahpah: "Kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".


3. Mengket Rumah Mbaru: Pesta perayaan memasuki rumah (adat/ibadat) baru.


4. Mbesur-mbesuri: "Mengenyangkan" memberi makan untuk wanita yang hamil 7 bulan, dengan harapan memenuhi keinginannya sebelum melahirkan.


5. Cawir Metua: Upacara adat/ritual kematian.


6. Ndilo Udan: Memanggil hujan.


7. Rebu-rebu: Mirip dengan pesta "kerja tahun".


8. Ngumbung: Hari jeda "aron" (kumpulan pekerja di desa).


9. Erpangir Ku Lau: Penyucian diri (untuk membuang sial).


10. Raleng Tendi: "Ngicik Tendi", yaitu memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang karena terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.


11. Motong Rambai: Pesta kecil keluarga-handai taulan untuk memanggkas habis rambut bayi (balita) yang terjalin dan tidak rapih.


12. Ngaloken Cincin Upah Tendi: Upacara keluarga pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke Permain).


13. Manok Sangkepi


14. Mbaba Belo Selambar (MBS): Rangkaian ritus Pernikahan adat Karo


15. Ngaloken Rawit: Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau clurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) - keponakan laki-laki.


A. Kesimpulan 


1. Upaya yang bisa kita lakukan dalam pelestarian seni budaya tradisional Karo adalah dengan melestarikan dan

Mempelajari serta mengembangkan seni budaya Karo. Pepatah mengatakan bahwa tidak kenal maka tidak sayang. Oleh sebab itu, kenali dan pelajari budaya kita sendiri terlebih dahulu, maka kita bisa pada tahap mencintai dan menyayangi seni budaya bangsa. Hal itu dapat kita lakukan dengan memperkenalkan seni budaya Karo kepada suku  lain dan kita tidak ikut terpengaruh akan budaya asing.


2. Pelestarian dan pengembangan seni budaya Karo hendaknya dapat terus di lakukan dengan melaksanakan pelatihan dan lomba serta pentas seni budaya Karo dalam mendukung upaya pengembangan budaya daerah untuk melestarikan nilai nilai luhur dan kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Pelestarian warisan seni budaya Karo seperti pesta adat hendaknya dapat di lakukan dengan mempergunakan gendang tradisional Karo yang dapat berkontribusi kepada kesejahteraan seniman dan penggiat seni budaya tradisional Karo serta menjadi promosi pariwisata dan menjadi daya tarik wisata budaya bagi wisatawan mancanegara.


B. Saran


Pentingnya secara terus menerus diadakan acara adat serta seni budaya Karo dengan menjadikan musik tradisional Karo sebagai bentuk dan tanda kebanggaan status sosial dalam upaya untuk melestarikan dan melindungi serta mengembangkan nilai nilai seni, bahasa, adat istidat dan budaya, agar tidak tergerus dalam alam modernisasi dengan menggalakkan pesta adat serta seni budaya secara berkesinambungan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indah Pada Waktunya / Pengkhotbah 3:11-15 ( Pekan Penatalayanan Hari Keempat)

Catatan Tambahan PJJ 1 – 7 Oktober 2023

Catatan Tambahan PJJ 27 Agustus – 2 September 2023