Featured Post

Berngi 7 Pekan Penatalayan 2025

Gambar
  K hotbah: "Menciptakan Perdamaian" Perikop: Matius 5:9 "Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah." 1. Pembukaan / Ice Breaker Salam Damai Sejahtera! Bapak, ibu, dan saudara-saudari yang dikasihi Tuhan, siapa di antara kita yang pernah menjadi "penengah" dalam suatu konflik? Mungkin saat teman berselisih, atau saat ada perdebatan di keluarga? Menjadi pembawa damai itu tidak mudah, tapi juga tidak mustahil. Mari kita renungkan: dunia kita hari ini sering kali penuh dengan konflik—baik di rumah, gereja, maupun masyarakat. Tetapi Allah memanggil kita bukan hanya untuk menghindari konflik, melainkan untuk menciptakan perdamaian . Itulah panggilan mulia yang diajarkan oleh Yesus dalam Matius 5:9. 2. Fakta-Fakta dari Matius 5:9 A. Damai Adalah Panggilan Anak-Anak Allah Dalam teks ini, Yesus menyebut mereka yang membawa damai sebagai “anak-anak Allah.” Fakta penting: Menjadi pem...

Memori Tiganderket

Oleh  

M. Tempel Tarigan  

Barangkali tak banyak orang yang mengetahui, kalau Kampung Tiganderket itu pernah dijadikan sebagai Ibukota dari Tanah Karo. Bahkan penduduknya sendiri mungkin banyak yang tidak mengetahui sejarah ini.

Pemerintah menetapkan Tiganderket sebagai ibukota Tanah Karo sejak tanggal 14 Agustus 1949 hingga 19 Agustus 1950. Waktu yang cukup singkat. Kala itu yang menjabat sebagai bupati adalah seorang tokoh PNI bernama Abdullah Enteng, peralihan dari bupati Karo sebelumnya, Rakutta Brahmana.

Sejarah lain, pada masa revolusi, Tiganderket menjadi pusat gerilya Taneh Karo. Nama-nama seperti Kunci Singarimbun, Njajahi Pelawi, Pangkat Ginting adalah sosok yang terkenal lihai dalam pergerakan ini. Tak sedikit warga Tiganderket sekitarnya  gugur sebagai Pahlawan Kusuma  Bangsa dan dimakamkan di Makam Pahlawan Tiganderket sebelum kemudian dipindah ke  Makam Pahlawan Kabanjahe.

Ketika masih mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR), saya sempat beberapa kali mengikuti upacara dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November bersama seluruh sekolah di Kecamatan Payong dan bertindak sebagai inspektur upacara adalah Bapak Camat, Nitipi Bangun, sementara, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dipimpin oleh  Pa Jendamin Sinuhaji, Kepsek SR Tiganderket. Keberadaan beliau ini, cukup jelas saya ingat. Beliau punya gigi emas. Saat memimpin lagu beliau terlihat begitu bermangat sampai- sampai gigi emasnya terlihat turut bergoyang-goyang seirama dengan gerak tangannya.

 

Sumber photo : https://www.facebook.com/karosiadi/

Banyak memori tentang Tiganderket buat saya, termasuk kuliner yang dahulu sering kami buru di sana. Bagi teman- teman seangkatan saya, termasuk Sukarman Keliat, barangkali yang paling berkesan adalah rasa nikmatnya jajanan mie ropah ( mie campur irisan labu siam yang disiram kuah) serta manisnya rasa gula sabut. Sementara, buat saya pribadi, jajanan yang paling memikat adalah cendol. Apalagi pedagang cendolnya kala itu cukup pintar merayu pelanggan seperti saya dengan sedikit "ancaman".

 

"Cendolna, Ngat ( Tongat- panggilan untuk anak laki-laki). Ade la tukormu merawa kari guru," katanya.

( Cendolnya, Ngat. Kalau kau tak beli, nanti gurumu marah)

 

Saya percaya saja dengan rayuan jitu pedagang cendol itu. Saya takut dimarahi atau dipukul guru dengan mistar satu meter, maka setiap hari Kamis ( Pekan Tiganderket), saya usahakan untuk membeli cendolnya.

Nyatanya, walaupun cendol sudah dibeli, saya tetap saja dihajar mistar satu meter oleh guru Sembiring karena tak bisa berhitung. Saya memang sangat lemah dalam mata pelajaran yang satu ini. Dan saya masih terlalu polos untuk memahami trik dagang sang penjual cendol.

 

Bagi banyak orang, yang tak kalah berkesan tentang Tiganderket adalah pohon mangga yang terletak di samping kiri kedai Nini Pa Rante Sitepu, depan rumah Masri Singarimbun (pakar antropologi sosial serta ahli dalam bidang studi kepedudukan).

 

Di bawah mangga inilah orang-orang berteduh sambil menunggu angkutan umum  PMG ( Persatuan Motor Gunung) yang hendak ke Kabanjahe atau mereka yang pulang ke Kutabuloh Simole sekitarnya.

Namun buat saya, tempat ini menyisakan kisah yang mendalam. Pohon mangga itu adalah saksi bisu saat saya  mengungkapkan cinta pada kekasih pertama  sekaligus berjanji untuk seiring sejalan di masa depan. Dan di tempat yang sama kami berpisah saat saya hendak melanjutkan sekolah ke pulau Jawa.

Kisah kasih yang berakhir dalam Jandi La Surong.

Komentar

SMA Negeri 1 Tiganderket mengatakan…
Hampir 30 tahun tinggal di Tiganderket baru sekarang mengetahui cerita ini,bujur impal Al ,tetaplah berkontribusi untuk Tanah Karo Simalem ,sebagian sejarah sudah kam ungkap,masih tetap setia menunggu cerita lain,fakta lain di momen dan kejadiaan lain,mohon izin dibagi Memori Tiganderket kalau kam tidak keberatan biar makin banyak orang memahaminya sekaligus menikmatinya sebab sampai hari ini,mie ropah dan cendol masih ada disetiap hari kamis tetapi bpk guru sembiring tidak lagi memiliki mistar 100 cm untuk memukul,belajar,menasehati cukup dengan Android dimasa Pandemi C-19 /PJJ/BDR.bujur Terima kasih Selamat Berkarya
Analgin Ginting mengatakan…
Bujur melala impalku. Memang indah dan sangat banyak makna saat kita mengenang kembali sejarah masa lalu. Bahkan banyak refleksi yang sangat positif bisa kita lakukan demi memandang kehidupan masa depan yang lebih gemilang impalku. Bujur melala ras mejuah juah kita kerina. Salam sehat dan terus mengabdi ya impalku. GBU
Ketharen enjel mengatakan…
Mjjh..
bujur pertua...
aku baru tau kalo tiganderket pernah jadi ibukota tanah Karo bg
pohon mangga dan mie cendol itu juga sering jadi buruanku ku tiga Kamis
nande si mupus aku br Tarigan temburun nari bg.
suasana menunggu Selamat Jalan juga sangat berkesan buatku ..
tedeh ate pe mis banndu.
semua yg Kam ceritakan hidup juga dlm memoriku,
Sada ngenca la ku gejapken eme Jandi La surong... be..he.

Postingan populer dari blog ini

Penataan Adat / Matius 15:1-9 (Pekan Penatalayanan Keenam)

Catatan Tambahan PJJ 07 – 13 April 2024

Catatan Tambahan PJJ 18 - 24 Februari 2024