Featured Post
Memori Tiganderket
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Oleh
M. Tempel Tarigan
Barangkali tak banyak orang yang mengetahui, kalau Kampung
Tiganderket itu pernah dijadikan sebagai Ibukota dari Tanah Karo. Bahkan penduduknya
sendiri mungkin banyak yang tidak mengetahui sejarah ini.
Pemerintah menetapkan Tiganderket sebagai ibukota Tanah Karo
sejak tanggal 14 Agustus 1949 hingga 19 Agustus 1950. Waktu yang cukup singkat.
Kala itu yang menjabat sebagai bupati adalah seorang tokoh PNI bernama Abdullah
Enteng, peralihan dari bupati Karo sebelumnya, Rakutta Brahmana.
Sejarah lain, pada masa revolusi, Tiganderket menjadi pusat
gerilya Taneh Karo. Nama-nama seperti Kunci Singarimbun, Njajahi Pelawi,
Pangkat Ginting adalah sosok yang terkenal lihai dalam pergerakan ini. Tak
sedikit warga Tiganderket sekitarnya
gugur sebagai Pahlawan Kusuma
Bangsa dan dimakamkan di Makam Pahlawan Tiganderket sebelum kemudian
dipindah ke Makam Pahlawan Kabanjahe.
Ketika masih mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR),
saya sempat beberapa kali mengikuti upacara dalam rangka memperingati Hari
Pahlawan 10 November bersama seluruh sekolah di Kecamatan Payong dan bertindak
sebagai inspektur upacara adalah Bapak Camat, Nitipi Bangun, sementara,
menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dipimpin oleh Pa Jendamin Sinuhaji, Kepsek SR Tiganderket.
Keberadaan beliau ini, cukup jelas saya ingat. Beliau punya gigi emas. Saat
memimpin lagu beliau terlihat begitu bermangat sampai- sampai gigi emasnya
terlihat turut bergoyang-goyang seirama dengan gerak tangannya.
Banyak memori tentang Tiganderket buat saya, termasuk
kuliner yang dahulu sering kami buru di sana. Bagi teman- teman seangkatan
saya, termasuk Sukarman Keliat, barangkali yang paling berkesan adalah rasa
nikmatnya jajanan mie ropah ( mie campur irisan labu siam yang disiram kuah)
serta manisnya rasa gula sabut. Sementara, buat saya pribadi, jajanan yang
paling memikat adalah cendol. Apalagi pedagang cendolnya kala itu cukup pintar
merayu pelanggan seperti saya dengan sedikit "ancaman".
"Cendolna, Ngat ( Tongat- panggilan untuk anak
laki-laki). Ade la tukormu merawa kari guru," katanya.
( Cendolnya, Ngat. Kalau kau tak beli, nanti gurumu marah)
Saya percaya saja dengan rayuan jitu pedagang cendol itu.
Saya takut dimarahi atau dipukul guru dengan mistar satu meter, maka setiap
hari Kamis ( Pekan Tiganderket), saya usahakan untuk membeli cendolnya.
Nyatanya, walaupun cendol sudah dibeli, saya tetap saja
dihajar mistar satu meter oleh guru Sembiring karena tak bisa berhitung. Saya
memang sangat lemah dalam mata pelajaran yang satu ini. Dan saya masih terlalu
polos untuk memahami trik dagang sang penjual cendol.
Bagi banyak orang, yang tak kalah berkesan tentang
Tiganderket adalah pohon mangga yang terletak di samping kiri kedai Nini Pa
Rante Sitepu, depan rumah Masri Singarimbun (pakar antropologi sosial
serta ahli dalam bidang studi kepedudukan).
Di bawah mangga inilah orang-orang berteduh sambil menunggu
angkutan umum PMG ( Persatuan Motor
Gunung) yang hendak ke Kabanjahe atau mereka yang pulang ke Kutabuloh Simole
sekitarnya.
Namun buat saya, tempat ini menyisakan kisah yang mendalam.
Pohon mangga itu adalah saksi bisu saat saya
mengungkapkan cinta pada kekasih pertama
sekaligus berjanji untuk seiring sejalan di masa depan. Dan di tempat
yang sama kami berpisah saat saya hendak melanjutkan sekolah ke pulau Jawa.
Kisah kasih yang berakhir dalam Jandi La Surong.
Komentar
bujur pertua...
aku baru tau kalo tiganderket pernah jadi ibukota tanah Karo bg
pohon mangga dan mie cendol itu juga sering jadi buruanku ku tiga Kamis
nande si mupus aku br Tarigan temburun nari bg.
suasana menunggu Selamat Jalan juga sangat berkesan buatku ..
tedeh ate pe mis banndu.
semua yg Kam ceritakan hidup juga dlm memoriku,
Sada ngenca la ku gejapken eme Jandi La surong... be..he.