Oleh Abdul Muis Syam
SUNGGUH memprihatinkan, ternyata mulai dari sektor
pangan, air minum, energi, kesehatan, pendidikan, hingga perbankan dan
keuangan dikuasai oleh asing. Regulasi yang mestinya berazaskan
Pancasila dan UUD 1945 menjelma menjadi kebijakan yang dikendalikan
oleh asing.
Dalam dua periode pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), Indonesia telah menandatangani sedikitnya 11 nota
kesepahaman (MoU) dengan negara lain terkait investasi dan perdagangan.
MoU itu antara lain dengan China, Jepang, Uni Eropa, dan Amerika
Serikat.
Padahal, komitmen dengan negara-negara maju itu
sesungguhnya justru merugikan Indonesia, bahkan hingga ke tingkat
dasar, soal konstitusi. Kebijakan yang mestinya berazaskan Pancasila
dan UUD 1945 telah berubah menjadi kebijakan yang dikendalikan oleh
asing.
“Paling konkret, bisa kita lihat pada perubahan
dalam UU Penanaman Modal,” kata Riza Damanik dari Indonesia for Global
Justice (IGJ) dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (7/7/2013) lalu.
Disebutkannya, sejak UU Penanaman Modal disahkan
lalu ditindaklanjuti dengan Perpres No. 36 Tahun 2010, usaha benih
tanaman pangan dikuasai pihak asing hingga 95 persen. Budidaya tanaman
pangan dan sektor perkebunan pun dikuasai asing dengan porsi sebesar
itu. Pada sektor khusus, 70 persen hasil perkebunan sawit dilarikan ke
Uni Eropa. Sedangkan petani dan masyarakat lokal setempat hanya mendapat
bagian yang disebut konflik.
Beralih ke sektor lain, 95 persen air minum juga
dikuasai asing. Infrastruktur jalan tol pun 95 persen milik asing.
Sektor industri farmasi dikuasai asing sebesar 75 persen dan industri
asuransi 80 persen. Ada pula yang hampir seluruhnya atau 99 persen
dikuasai asing, yakni sektor keuangan dan perbankan serta sektor
perikanan dan kelautan. Sungguh menyedihkan, Indonesia yang terkenal
dengan negara agraris dan bahari itu malah dinikmati oleh negara luar.
Pada sektor kesehatan, pelayanan rumah sakit dan
klinik spesialis sudah dikuasai asing hingga 67 persen. “Jadi, kalau
hari ini ada subsisi atau insentif dari negara kepada orang miskin
untuk berobat, maka sesungguhnya uang itu bukan jatuh ke orang miskin,
tapi masuk ke perusahaan asing yang bergerak di sektor farmasi,”
katanya.
Sejatinya, segala sektor dari hulu ke hilir sudah
dikuasai asing. Bukan hanya di darat, tapi juga di lautan. “Selama
pemerintahan SBY ini terjadi liberalisasi di seluruh sektor strategis.
Semua itu disengaja sebagai komitmen sepihak antara pemerintahan SBY
dengan negara asing,” katanya.
Sementara itu, di tempat terpisah, Ekonom Senior DR.
Rizal Ramli menguraikan, bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam yang
amat berlimpah, tapi rakyatnya terpuruk. Indonesia harus mengembalikan
pembangunan ekonomi ke tengah. Pancasila dan Undang Undang 1945 telah
menetapkan garis ekonomi secara jelas, bukan komunisme bukan
kapitalisme.
“Namun rezim SBY yang berkuasa telah menarik
kebijakan ekonomi terlalu ke kapitalis, neoliberalisme, ke kanan,
sehingga menumbuhkan kapitalisme tanpa batas. Akibatnya, kesejahteraan
semakin timpang dan kehidupan sebagian besar rakyat justru makin
terpuruk,” katanya.
Disebutkannya, bahwa sistem ekonomi neolib era SBY
yang menyerahkan segala sesuatunya pada mekanisme pasar, benar-benar
telah menjauhkan Indonesia dari ekonomi konstitusi. “Bukan cuma ekonomi
menjadi sangat liberal, tapi pendidikan dan kesehatan pun menjadi
sangat mahal dan tidak terjangkau sebagian besar rakyat. Ini harus
segera diubah,” ujar Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid
itu.
Menurut capres paling reformis versi LPI (Lembaga
Pemilih Indonesia) ini, kebijakan ekonomi neoliberal hanya bisa terjadi
karena hegemoni penguasa antek yang korup. Rezim neoliberal yang korup
telah merenggut hak-hak dasar rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
secara layak.
“Yang perlu dilakukan sekarang adalah kembali ke
sistem ekonomi Pancasila dan UUD 1945. Selanjutnya kita susun Undang
undang dan berbagai peraturan pelaksanaannya yang berpihak pada upaya
peningkatan kesejahteraan rakyat. Banyak undang undang yang disusun
berdasarkan pesanan lembaga internasiional. Tidak mengherankan bila
mereka bisa menguasai sumber daya alam yang justru merugikan bangsa dan
rakyat Indonesia,” ungkapnya.
Sampai saat ini, katanya, selama dua priode rezim
sekarang berkuasa, kekayaan alam yang berlimpah tidak mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Malah yang terjadi justru makin
lebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Belum pernah
terjadi dalam sejarah Indonesia modern, jarak antara yang kaya dan
miskin selebar seperti saat ini.
Rizal Ramli yang kini selaku Ketua Aliansi Rakyat
untuk Perubahan (ARuP) itu tak menepis, bahwa ekonomi konstitusi tidak
berarti Indonesia menutup diri dari dunia luar. Sesuai semangat
konstitusi, ekonomi Indonesia tidak anti modal asing. Namun, ekonomi
konstitusi sejak awal mencegah perekonomian Indonesia didominasi dan
menjadi objek eksploitasi negara lain.
“Selama sembilan tahun terakhir, total utang naik
dari Rp1.000 trillliun menjadi Rp2.100 triliun. Namun tidak ada
pembangunan infrastruktur yang bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Padahal, utang luar negeri tersebut ditukar dengan berbagai UU yang
menjadi pintu masuk kebijakan ekonomi neoliberal dan kapitalisme
ugal-ugalan, hingga sumber-sumber kekayaan alam Indonesia pun kini
sudah dikuasai oleh negara asing,” Rizal Ramli.
Ketika rakyat mengetahui kondisi tersebut, maka
rakyat sudah tentu butuh pemimpin yang tidak hanya berani mengambil
sikap dan kebijakan untuk membenahinya, tetapi juga sangat dibutuhkan
pemimpin yang paham dengan langkah-langkah penataan struktur ekonomi di
Indonesia.(
map/ams)
Komentar