Belum berhenti tokoh tokoh yang datang untuk
menjambangi Anas Urbaningrum. Seperti dilaporkan bahwa orang terakhir
yang datang mengunjungi Anas di Rumahnya yang luas dan besar di Duren
Sawit Jakarta Timur adalah Ibu Shinta Nuriyah, Istri Almarhum Gus Dur
yang didampingi anaknya Yenni Wahid.
Nama nama tokoh
yang sudah pernah datang ke rumah Anas adalah Akbar Tanjung, Mahfud MD,
Harry Tanoesudibjo, Priyo Budi Santoso, AM Fatwa, Yoris Raweray, Yuddy
Chrisnandy, Anwar Nasution dan tokoh tokoh Demokrat loyalis Anas.
Yenny Wahid pun buru buru memberikan penjelasan bahwa kunjungannya
bukan untuk mengunjungi Anas serta memberikan dukungan kepadanya, namun
sebenarnya adalah mengunjungi KH. Attabik Ali, yang sedang sakit di
kediaman Anas. KH Attabik Ali adalah mertua Anas, dan dijelaskan lebih
lanjut dalam Detiknews : KH. Attabik Ali pengasuh pesantren Krapyak
Yogyakarta adalah putra dari almarhum KH. Ali Maksum sebagai Rais
Syuriah PBNU dan Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU . Selain itu KH. Maksum
juga sebagai pembimbing skripsi Shinta Nuriyah sewaktu kuliah di UGM
Yogyakarta.
Kunjungan sejumlah tokoh ke rumah Anas pasca pengumuman dia berhenti
sebagai Ketua Umum Partai Demokrat ditafsirkan sejumlah pihak sebagai
pemberian dukungan dan sekaligus interfensi tidak langsung terhadap
upaya KPK untuk membuktikan ketersangkaan Anas dalam proyek Hambalang.
Meskipun semua tokoh yang datang itu mengatakan bahwa kedatangan
mereka hanya sekedar berempati terhadap Anas karena kedekatannya secara
organisasi dan emosional, namun tetap dapat dipahami sebagai upaya
pembelokan masalah Anas dari kasus Hukum ke Kasus Politik.
Memang berbeda dengan Nazaruddin ketika pertama sekali ditangkap dari
pelariannya di Kolombia, jarang ada tokoh yang mengunjunginya. Mungkin
saja karena ketokohan Nazaruddin yang ketika itu menjabat sebagai
Bendahara Umum partai Demokrat belum dianggap sekaliber Anas. Namun
tetap saja seharusnya ada tokoh yang datang menjambanginya untuk
memberikan dukungan dan tanda empati yang tulus.
Nazaruddin tidak ada yang mengunjungi, sedangkan Anas banyak sekali
tokoh yang mengunjungi. Apakah karena Nazaruddin dianggap lebih kecil
daripada Anas Urbaningrum? Menurut saya kunjungan beragam tokoh itu
tidak dapat dipungkiri bahwa secara tidak langsung berupaya untuk
pembelokan kasus dari ranah hukum ke ranah politik.
Kalau dugaan ini benar, maka dapat dipahami bahwa komitmen Bangsa ini
untuk menghapus korupsi masih jauh. Belum semua pihak berkomitmen
sepenuhnya dan setulusnya untuk mendukung KPK dalam pemberantasan
korupsi. Sebab seandainya semua mendukung upaya pemberantasan korupsi
ini maka kunjungan kepada Anas bisa dilakukan setelah status hukumnya
jelas, terbukti dan menjadi terdakwa atau tidak.
Untuk membuktikan ketulusan para tokoh itu bisa dilihat nanti setelah
penetapan status Anas yang sebenarnya. Jika Anas bebas dan tidak
terbukti ikut menerima uang korupsi maka dapat dipastikan akan semakin
banyak tokoh yang datang berkunjung termasuk nama nama yang sudah
diberitakan.
Jika Anas terbukti dan dinyatakan terdakwa kasus Korupsi oleh
pengadilan Tipikor, dan kembali tokoh tokoh itu datang lagi mengunjungi
Anas, maka benarlah kedatangan mereka murni sebagai pemberian
dukungan. Namun jika mereka tidak datang lagi berkunjung setelah Anas
dinyatakan terdakwa, berarti kunjungan mereka sekarang ini adalah upaya
pembelokan masalah ke ranah politik saja. Jadi, marilah kita nantikan
bersama sama pekerjaan KPK selanjutnya.
Murni Masalah Hukum.
Menurut pendapat saya pribadi kasus Anas memang hanyalah kasus hukum,
bukan kasus politik. Beberapa peristiwa logis sebagai pendahulunya
dapat dijadikan sebagai bukti. Bahwa yang pertama sekali menyatakan
Anas terkait dengan kasus Hambalang adalah Nazaruddin, bukan SBY. Dan
Nazaruddin menyeret nama Anas, bisa bisa karena dia merasa sakit hati
karena tidak ada pembelaan Anas terhadap dirinya. Namun alasan yang
sebenarnya mengapa Nazaruddin menyeret nama Anas adalah karena ide
untuk proyek Hambalang itu datang dari pimpinan partai yang lebih
tinggi, dan kemungkinan besar adalah Anas Urbaningrum sendiri.
Anas mengusung kasusnya ke ranah politik antara lain dengan mengatakan bahwa
dia ibarat bayi yang tidak diharapkan lahir.
Dia tidak diharapkan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat sejak Kongres
tahun 2010 di Bandung. Logika yang ingin dibangun Anas adalah, Lihat
sekarang saya dipaksa untuk menanda tangani pakta integritas untuk
selanjutnya disingkirkan dari ketua umum karena saya memang sejak awal
tidak disukai oleh SBY. Dan kasus saya dengan Hambalang yang
dinyatakan tersangka oleh KPK adalah atas interfensi Majelis Tinggi
Partai Demokrat. Buktinya adalah adanya Sprindik yang “dibocorkan”
kepada umum.
Jadi jelas dalam logika yang dibangun Anas bahwa kasusnya sengaja
diciptakan untuk mencopot dirinya dari jabatan ketua umum, karena
sejak awal dia memang tidak diharapkan. Pertanyaannya adalah kalau
memang demikian mengapa tidak sejak kongres 2010 itu dia dibendung untuk
jadi ketua umum? Apakah terlalu sulit bagi SBY kala itu untuk
membendung Anas menjadi ketua umum?
Logika yang sebaliknya adalah, Anas memang benar seperti bayi yang tidak
diharapkan lahir. Perlu disingkirkan, namun harus ada alasan yang
benar benar dapat diterima secara logis. Nah ketika Anas yang sudah
dituduh berkali kali oleh Nazaruddin (kemungkinan) akan menjadi
tersangka oleh KPK wah ini adalah kesempatan emas, yang tidak akan
pernah datang lagi dua kali.
Namun bagaimana menyingkirkan Anas meskipun dia sudah (akan) menjadi
tersangka? Harus dibuat alat atau strategi yang sangat cerdas, yaitu
pakta integritas. Jadi pakta inetgritas dibuat karena petinggi Partai
Demokrat sudah mendengar dan sudah menduga bahwa Anas akan menjadi
tersangka. Kalau sudah menjadi tersangka maka inilah kesempatan untuk
menyingkirkan bayi yang tidak diharapkan lahir. Apalagi ternyata Anas
dalam peranannya sebagai ketua umum berhasil membangun kekuatan dari
bawah.
Jadi kasus tersangkanya Anas adalah murni kasus hukum yang dimanfaatkan
secara politik. Bukan kasus politik yang dibuat alasan hukumnya.
Jelaslah kedatangan tokoh tokoh yang mengunjungi Anas tersebut untuk
melakukan upaya pembelokan kasus Anas dari kasus Hukum ke Politik. Dan
Analoginya “bayi yang tidak diharapkan lahir” akan merugikan dirinya
sendiri.
Hari ini Presiden SBY dengan sangat tenang dan percaya diri memberikan
komentarnya yang pertama sejak hari Sabtu satu minggu yang lalu sejak
Anas melakukan konperensi pers tentang berhentinya dirinya sebagai ketua
umum Partai Demokrat. Diberitakan oleh
Kompas.com :
“Kalau urusan hukum, saya berharap Saudara Anas Urbaningrum fokus dan
bersiap diri untuk menghadapi proses hukum yang dilakukan oleh KPK,”
kata SBY di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Minggu (
3/3/2013 ), sebelum bertolak ke Jerman.
Lebih Tinggi Politik Atau Hukum?
Mencuatnya kasus Anas Urbaningrum sebenarnya dapat dipakai oleh para
ahli hukum, ahli dan pelaku politik dan negarawan sebagai momentum
untuk menjelaskan kedudukan politik dan kedudukan hukum dalam sistim
tatanegara Indonesia. Sebab selalu saja ada tarikan dari politk
terhadap segala kasus hukum. Seolah olah hukum hanya nomor dua setelah
urusan politik. Lalu timbullah keyakinan sejumlah pihak bahwa seberat
beratnya kasus hukum bisa dipengaruhi oleh politik.
Anas sekarang “bertarung” dengan SBY. Anas mengatakan kasusnya sengaja
dipolitisir. SBY mengatakan ini kasus Hukum, selesaikan dulu.
Penengahnya adalah KPK. KPK lah nantinya akan membuktikan apakah ini
kasus hukum murni, atau ini kasus politik. Tentu semua pihak
mengharapkan KPK dapat memberikan fakta yang sebenarnya. Kita pun
sangat mengharapkan agar KPK dapat bekerja secara mandiri, objektif dan
profesional dalam upaya pemberantasan korupsi.
Siapa yang akan menang, Anas atau SBY? Menurutku Anas bisa menang, dan
kemungkinan besar kalah. SBY bisa menang dan kemungkinan besar tetap
menang. Apalagi kalau KPK menuntaskan kasus ini lebih lama dari dua
bulan sejak sekarang.
Komentar