Featured Post

Catatan Tambahan PJJ 28 April – 4 Mei 2024

Gambar
  Thema :  Ersada Ukur Ras Ersada Sura Sura 1 Korinti 1 : 10 – 17   Bahasa Karo  O senina-senina, kupindo man bandu i bas gelar Tuhanta Jesus Kristus: ersadalah katandu kerina, gelah ula sempat jadi perpecahen i tengah-tengahndu. Ersadalah ukurndu janah ersadalah sura-surandu. Maksudku eme: maka sekalak-sekalak kam nggo erpihak-pihak. Lit si ngatakenca, "Aku arah Paulus, " lit ka si ngatakenca, "Aku arah Apolos, " deba nina, "Aku arah Petrus, " janah lit pe si ngatakenca, "Aku arah Kristus." Sabap piga-piga kalak i bas jabu Klue nari ngatakenca man bangku maka i tengah-tengahndu lit turah perjengilen. Ibagi-bagiken kin Kristus man bandu? Paulus kin si mate i kayu persilang man gunandu? I bas gelar Paulus kin kam iperidiken? Kukataken bujur man Dibata sabap sekalak pe kam la aku mperidikenca, seakatan Krispus ras Gayus. Dage sekalak pe kam la banci ngatakenca maka kam nai iperidiken gelah jadi ajar-ajarku. Lupa aku! Istepanus ras isi jabuna pe nai

Fenomena Kawin Semarga Di Kalangan Orang Karo

Sebagai kelanjutan dari postingan (status FB)  yang kemarin, tentang pernikahan Marga Sitepu dan Beru Barus yang sama sama berasal dari Marga Karo Karo, maka berikut ini kami sampaikan pandangan kami setelah melihat ramainya diskusi yang ada.  Bahkan diskusi hampir mengarah terhadap Cyberbully  (menjelek jelekkan pandangan orang lain) yang akhir akhir ini sangat kita tentang untuk terciptanya diskusi yang lebih sehat dan dewasa.



Pandangan dibawah ini juga kami tuliskan karena beberapa orang yang ikut berkomentar pada postingan kemarin mengajukan pertanyaan pribadi di dalam inbox kami.   Tujuan utama penulisan ini adalah agar kita sesama orang karo, di dalam pandangan kita yang berbeda tetap dapat melakukan sinergi untuk menemukan kebenaran yang lebih hakiki.



Sebab kalau kita tetap menganggap pandangan kita lebih benar, dan pandangan orang lain salah maka diskusi kita akan mentok dengan perasaan yang kurang enak.  Justru kita tetap dengan rendah hati dan kepala dingin menyampaikan gagasan kita.



Mungkin salah satu yang perlu kita lakukan adalah menyampaikan pandangan kita dengan baik, lugas, tajam (dan terpercaya :) ) tanpa harus mengomentari pandangan orang lain, supaya diskusi kita tetap menarik,positif dan mencerdaskan semua orang.  Bagem sitik pengantar, selanjutnya inilah pandangan kami.




Soal hubungan adat dan  agama, lebih gampang mencari kesimpulan di dalam  gereja yang beraliran kharismatis (evanglical) sebab paradigma agama sudah ditempatkan diatas  paradigma adat. Oleh sebab itu  tidak jarang kita lihat bahwa perangkat perangkat adat, baik yang anorganik (baju, uis/ulos, dll) banyak dibuang bahkan dibakar. Demikian juga  perangkat adat yang  organik (ritual, kebiasaan yang dilakukan) dengan cepat dan mudah dikatakan produk jaman lalu.


Oleh sebab itu di dalam gereja seperti ini, jarang sekali terdengar benturan ataupun persitegangan. Akan tetapi kalau di GBKP, paradigma adat dianggap pengantar terhadap paradigma keagamaan, (emaka adat tetap dijaga, dilestarikan) diupayakan sebagai katalis dalam paradigma keagamaan. Oleh sebab itu jarang sekali  GBKP melarang kebiasaan adat, apalagi membuang atau membakar atau meninggalkan perangkat organik maupun  anorganiknya.



Bagaimana dengan kawin se marga? Bagi para orang tua yang masih dididik dalam paradigma adat yang sangat kental jelas akan melarang bahkan berusaha untuk menentangnya habis habisan. Karena dianggap tabu, bahkan ,mereka berpandangan bisa mementahkan semua paradigma kehidupan yang lain terutama mementahkan atau bertentangan  dengan paradigma keagamaan. Sebagian besar  anak muda karo yang konsisten bergereja di GBKP akan juga ikut  mentabukan kawin semarga ini. Karena dianggap ditentang adat, ditentang orang tua, dan ditentang oleh gereja juga.


Kebalikan terjadi bagi anak muda Karo yang sudah bersinggungan dengan gereja kharismatis (evanglical). Karena pandangan yang terbentuk dari tokoh tokoh gereja evanglical bahwa adat no 2 atau no sekian setelah iman kepada Kristus, maka kawin semarga asal tidak dari satu keluarga dekat (incest) sah sah saja. Apa salahnya kalau mereka jatuh cinta dan saling mengasihi,  cara  mereka berargumen untuk mempertahankan pandangannya.


Jadi mana lebih suci, kawin semarga atau kawin setelah  menghamili seorang gadis terlebih dahulu? Tentu saja secara adat, kawin setelah hamil dulu dianggap lebih baik dari pada kawin se-marga.
Namun dalam pandangan agama, terutama kalau kita mengakui bahwa persetubuhan hanya boleh setelah  pemberkatan nikah, maka kawin semarga lebih baik,  lebih suci daripada diberkati setekah hamil?


Apa pandangan GBKP   terhadap kawin semarga ini.   Jelas, GBKP belum ingin menentang kebiasaan adat. Dan pandangan penulis  pribadi pun hampir sama, bahwa  jatuh cinta kan bisa diarahkan dengan orang lain, yang bukan satu marga dari dengan kita.   Kalau sudah tahu dan tertanam di dalam hati bahaw dia itu turang, atau turangku sebenarnya secara sadar diri manusia langsung menetapkan sistem penolakan.


Bagaimana trend ke depan tentang kawin se marga ini? Kalau orang Karo khususnya anak mudanya tidak berusaha menentangnya maka kemungkinan  besar fenomena kawin semarga akan lebih banyak .  Apalagi saat sekarang ini, seperti yang dikatakan oleh  Theresia Natalina Ginting banyak anak muda Karo yang tidak menyampaikan marga atau berunya yang sebenarnya saat mereka berkenalan.



Salah satu yang perlu kita lakukan segera adalah mendorong kepada Permata GBKP untuk merumuskan secara adat dan teologis  tentang fenomena kawin se marga ini.  Mumpung masih ada (masih hidup) tokoh tokoh adat kita,  diskusi/seminar ini nampaknya mendesak dilakukan segera.  Semacam diskusi kebudayaan yang mengarah ke masa depan, untuk mencari pandangan yang lebih tepat secara adat dan gereja tentang perkawinan semarga.  Ini mendesak untuk dilakukan Permata, sebab bisa bisa ke depan fenomena kawin semarga ini trend nya makin banyak bahkah sulit untuk untuk dibendung.  Bujur ras mejuah juah kita kerina. 

Komentar

Anonim mengatakan…
Mjj..sebaiknya diskusi diperluas dengan seluruh umat beragama di masyarakat Karo. bujur
Anonim mengatakan…
Bila kita membicarakan ini, tentunya kiyta harus kembali kepada akar muasalal terbentuknya budaya dan adat karo. Terbentuknya budaya dan adat istiadat karo, tentunya dalam rangka menciptakan suatu sistem kekerabatan intern suku karo itu sendiri. Tuk mengulasnya lebih dalam, tentunya kita tak boleh lupa juga pada satu pertanyaan dasar, bahwa dengan dasar apa maka suku karo itu hanya menetapkan adanya 5 (lima) macam marga ? Bila kita telah dapat menemukan jawaban yg cukup memuaskan, tentunya dari dasar pemikiran tersebutlah bermunculan satu tata cara dalam sistem kekerabatan karo itu sendiri. Dan mungkin pertanyaan yg lebih baik adalah dengan dasar apa perkawinan semarga tidak dibenarkan. Apa karena sedarah dari enenk moyang kita atau karena se DNA ? Dan mungkin yg perlu lebih diteliti lagi secara empiris, apakah orang semarga (katakan semarga dalam 2 atau 3 generasi)masih memiliki gen dan DNA yg sama ? Bila jawabannya sama...sebaiknya kawin semarga di urungkan dan bila tidak...ya tergantuk kebiasaan dan norma yg dianut. Em lebe bas aku nari...sentabi
Analgin Ginting mengatakan…
terima kasih banyak atas komentarnya. Memmang fenomena ini sangt menarik untuk diteliti ya. terutama seperi yang kam katakan harus melihat sejarah juga mengapa dari dulu tidak diijinkan kawin semarga. sedangkan dengan impal bisa padahal kemungkinan gen nya masih sangat dekat. Kita akan berterima kasih kalau ada yang menelitinya ya. Bujur ras mejuah juah.

Postingan populer dari blog ini

Indah Pada Waktunya / Pengkhotbah 3:11-15 ( Pekan Penatalayanan Hari Keempat)

Catatan Tambahan PJJ 1 – 7 Oktober 2023

Catatan Tambahan PJJ 27 Agustus – 2 September 2023