Bayangkanlah kenikmatan seperti apa yang sedang dirasakan oleh Ahmad
Fathanah menjelang dia ditangkap KPK. Berada di dalam hotel mewah
berbintang 4 di bilangan paling bergengsi di Jakarta. Ditemani oleh
seorang
wanita muda,
sexy, cantik yang mau diperlakukan apa saja. Disekitar dia ada uang
tunai sebanyak Rp 1 Milyard rupiah. Dan mungkin saja sebelumnya atau
beberapa saat lagi mereka menikmati makanan dari restoran berbintang.
Panya networking atau jaringan dengan petinggi negara. Dan kalau mulus
dan tidak tertangkap pada pemilu nanti tahun 2014 bisa saja menduduki
salah satu posisi strategis. Pertanyaannya, ada lagikah kemewahan
hedonisme yang lebih tinggi dari itu?
Namun semuanya tiba tiba blur.....Ibarat sebuah bom yang meledak tiba
tiba di dekatnya. Glegarrrr....Semuanya habis dan luluh lantak
seketika. Sekarang jadi pesakitan. Inilah Jakarta. Semua terjadi di
jakarta. Lenggak lenggok Jakarta kata Andi Merriam Matalatta, bagaikan
pinggul gadis remaja. (masih remajalah kalu masih berusia 19 tahun,
dengan tubuh padat dan rok mini ketat terangkat angkat)
Jakarta memang menawarkan segalanya. Segala kepuasan yang diinginkan
insan manusia ada di Jakarta. Bentuknya segala macam rupapun ada.
Mulai dari penderitaan yang amat mengerikan sampai kepada pemuasaan
terhadap kenikmatan mencair basah basah segalanya ada (seorang teman
yang ahli dalam bidang Neuro Language Programing mengatakan kenikmatan
tertinggi yang bisa dirasakan panca indra manusia dicirikan dengan
keluarnya cairan dari dalam tubuh).
Jakarta adalah simbol dari segala kemajuan berfikir dan kenikmatan
merasa yang bisa diraih oleh manusia. Pemikiran yang bagaimana
liarnyapun, serta perasaan yang bagaimana sensasinya pun bisa ditemukan
di Jakarta. Jangankan Surga dunia, neraka duniapun ada di jakarta
tambahan lagu Andi Merriam Matallata.
Lenggang lenggok Jakarta, Jadi simbol maju usaha, Tak kurang banyak juga yang kecewa, Akhirnya cuma buang waktu saja
Dari sisi yang lain, Jakarta adalah pusat kekuatan supranatural yang
menawarkan kepada manusia tiga macam maksiat. Korupsi/judi, perjinahan
dan narkoba. Adalah seorang dukun santet yang sudah berbalik menjadi
pendeta, Tony Daud yang mengatakan dalam salah satu buku tulisannya,
bahwa Penguasa Roh Territorial Jakarta (setan/iblis) mengendalikan
kekuasaannya dengan menawarkan ketiga hal itu.
Korupsi, selingkuh dan perjinahan, narkoba adalah alat iblis untuk
mengendalikan manusia. Boleh percaya boleh tidak, namun kejadian dalam
satu minggu terakhir ini di Jakarta penuh dengan peristiwa yang
berkiatan dengan hal ini. Ditanggkapnya Raffi Ahmad dengan teman
temannya karena mengkonsumsi narkoba secara rame rame (berjamaah, maaf)
lalu dikuti dengan penangkapan Ahmad kedua, yanitu Ahmad Fathanah dalam
dekapan gadis remaja dan gelimangan uang Milyaran Rupiah menegaskan apa
yang dikatakan oleh Pendeta Tony Daud.
Sebuah puisi kehidupan mengatakan,
apalah manusia, dia seperti
embun. Sebentar ada namun sekejap hilang tak berbekas. Dia seperti
daun, yang sebentar hijau menghiasi pohon pohon, namun bila waktunya
tiba akan jatuh, kering dan hilang selamanya.
Implikasi
Peristiwa penangkapan Ahmad Fathanah dan Luthfi Hasan Isaaq melahirkan
implikasi yang sangat besar. Secara politis sudah jelas akan berdampak
terhadap meluncurnya keanjlokan elektabilitas PKS pada Pemilu yang akan
datang. Banyak rekan kompasianer yang sudah menuliskannya, salah satu
yang sangat kami kagumi adalah Pak Prayitno Ramelan, yang dengan
kepakaran dan kerendah hatiannya sudah menuliskan ulasannya dengan
sangat tajam. Bagi yang belum sempat membacanya, silahkan baca
disini. Namun implikasi yang yang lebih menakutkan adalah hilangnya pegangan rakyat pada Partai Politik.
PKS sempat sangat memukau dan melahirkan harapan yang demikian besar
kepada Rakyat Indonesia, terutama kelas bawah. Apa yang ditawarkan oleh
PKS direspon dengan sangat antusias bahwa sudah ada partai yang sangat
mengerti situasi rakyat. Rakyat yang sering digusur, tertindas dan
terzolimi. Kadernya cerdas, muda dan agamis, berani dan berkomitmen
tinggi. Begitulah pandangan rakyat pada saat baru munculnya partai PKS.
Namun sekarang, Presidennya Partainya sendiri yang melakukan tindak
pidana suap, yang difasilitasi oleh seorang penikmat mesum mesum. Wah,
kepada siapa lagi kita berharap? Benar kepada siapa lagi rakyat
berharap?
Saya teringat akan peristiwa pada tahun 1965 ketika hilang pegangan
rakyat terhadap partai politik. Sebab tanpa tahu menahu berduyun duyun
rakyat kecil dibantai di negeri ini hanya karena simpati kepada Partai
Komunis Indonesia. Rakyat lari kepada organisasi keagamaan mencari
perlindungan. Berduyun duyun manusia di kampung saya di Sumatra Utara
masuk ke Gereja minta dibaptis secara massal. Tidak ada pengajaran apa
apa, yang penting datang dan dibaptis.
Tadinya mereka percaya sekali kepada partai, karena janji janjinya yang
dapat menyelesaikan masalah mereka. Ada sumbangan pupuk, benih, pacul,
yang mereka terima. Tanda terima yang diisi dengan nama dan alamat
selanjutnya dipakai untuk mencari dan menemukan mereka yang akhirnya
mengalami pembantaian yang sangat sadis dan mengerikan.
Setelah itu okelah masih ada satu harapan yaitu organisasi keagamaan.
Namun jika organisasi keagamaan pun ternyata sama saja kemana lagi
rakyat meletakkan pegangannya? PKS adalah partai yang berbasis agama,
tentu banyak sekali rakyat yang
shock mendengar peristiwa penangkapan kader terhormatnya ini.
Resolusi
Suara rakyat itu diam. Ketidaksetujuan mereka tidak laku dilontarkan di
televisi, surat kabar apalagi infotaiment. Namun hati mereka
bergejolak. Jadi harus dimengerti bahwa dalam peristiwa suap (dan
jinah) yang dialami oleh Partai yang pernah sangat menjanjikan ini
rakyat merasa tertipu. Rakyat merasa diperbodoh, rakyat merasa hanya
dijadikan pelengkap penderita dalam segala program, visi dan misi partai
politik. Oleh sebab itu harus ada upaya untuk mengobati kekecewaan
hati mereka. Lakukan lah resolusi.
Dibutuhkan secara mendesak tokoh tokoh seperti Jokowi dan Ahok yang mau
mendekati, memahami dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi
masalah rakyat secara tulus dan bekerja keras. Melahirkan negarawan
seperti Jokowi dan Ahok, Mocahamad Hatta, adalah Pekarjaan Rumah
sesungguhnya dari partai partai politik yang ada.
Sepuluh partai politik sudah dipilih untuk membawa perubahan besar di
Indonesia. Terus terang belum satu partai pun yang diyakini dan
dipercaya mempunyai komitmen dan kemampuan seperti itu. Masih ada
waktu untuk memilih dan melatih kader yang benar benar pro rakyat. Jika
tidak, rakyat benar benar kehilangan pegangan di Indonesia ini.
Komentar