Penangkapan Ahmad Fathanah di dalam salah satu kamar
di Hotel Le Meridien bersama seorang gadis muda belia yang cukup sexy
memperkuat dugaan gratifikasi sex memang sudah terjadi di Republik
kita ini. Tidak cukup uang dan kedudukan yang dikejar untuk memuaskan
naluri kekuasaan manusia. Namun sex yang merupakan perwujudan hedonisme
paling tua dalam sejarah manusia tidak pernah bisa ditinggalkan.
Teknologi komunikasi dan informasi yang semakin maju dan canggih
ternyata salah satu dampaknya adalah mempermudah hubungan antara pria
dan wanita. Yang selanjutnya menggampangkan proses gratifikasi sex
tadi. Baru berkenalan satu jam bisa berlanjut satu kamar berduaan.
Memang kultur Indonesia sampai saat ini masih membuat tabu hubungan
hubungan sex diluar pasangan resmi. Diperkuat dengan nilai nilai agama,
membuat percakapan dan praktek sex hanya ramai dibawah permukaan
Bahkan hukuman dan sanksi adat dalam masyarakat Indonesia terhadap
praktek sex yang tidak resmi bisa berakibat sangat fatal, seperti
misalnya dilengserkannya Bupati Kabupaten Garut Aceng Fikri.
Namun sekarang timbul pertanyaan, sampai kapankah prilaku melakuan
hubungan sex diluar pasangan resmi tetap dijaga dan ditempatkan
sebagai sesuatu yang dilarang dan diharamkan. Sebab timbulnya peristiwa
seperti Maharani mengidentifikasikan kemungkinan banyak wanita muda
yang bersedia melakukan hal yang serupa.
Ada kekhawatiran bahwa suatu saat gratifikasi sex dihalalkan dan
didukung dengan peraturan dan perundang undangan. Jika sudah dibuat
peraturannya, maka sex menjadi sesuatu yang bukan lagi dianggap tabu
atau dosa.
Di Negara Nigeria, gratifikasi atau hadiah sex ini dianggap
bukan haram. Dan menjadi pekerja sex komersial atau prostitusi dianggap
hal biasa. Hari ini di koran Tempo edisi 8 Februari 2013 diberitakan
bahwa Tim Kesebelasan Nigeria akan diberikan hadiah duit dan sex dari
ANP (Asosiasi Prostitusi Nigeria) jika di Final Piala Afrika bisa
mengalahkan Negara Burkina Faso. Setiap pemain akan diberikan layanan
sex gratis seminggu penuh. Wadow…..
Tentu hal seperti di Neigeria tidak kita harapkan terjadi di Indonesia,
karena dengan runtuhnya benteng etika ini maka kemungkinan banyak
implikasi negatif yang muncul dan merusak masyarakat dan negara.
Namun dipihak lain kita juga sanksi dan menakutkan hal ini bisa menjadi
kenyataan, karena faktor kepemimpinan negara serta lembaga lembaga agama
dan kemasyarakatan sangat lemah, lambat dan cenderung reaktif dalam
memantau, mengarahkan prilaku prilaku yang terjadi dalam masyarakat.
Komentar