Misteri Asal-Usul Suku Karo: Antara Jejak Gayo-Alas dan Dualisme Konsep 'Batak'
Oleh Analgin Ginting
1. Pengantar
Perdebatan istilah *Batak* telah melahirkan dua arus besar dalam kajian antropologi dan sejarah etnis Sumatra Utara.
Pandangan pertama — diwakili oleh Prof. Payung Bangun — menyatakan bahwa Batak adalah satu rumpun besar dengan enam puak: Karo, Pakpak/Dairi, Simalungun, Toba, Angkola, dan Mandailing. Pandangan ini mengakui adanya kesamaan bahasa, adat, dan sistem sosial yang mengikat keenam puak tersebut sebagai satu kesatuan genealogis dan kultural.
Pandangan kedua — diwakili oleh Prof. Eron Damanik — menegaskan bahwa istilah *Batak* bukanlah endonim (sebutan dari dalam), melainkan *exonym* (sebutan dari luar) yang diberikan oleh suku Melayu pesisir terhadap masyarakat pegunungan yang masih memegang kepercayaan animistik (pagan). Pandangan ini kemudian diperkuat oleh kolonial Belanda yang memakai label *Batak* sebagai kategori administratif dan etnografis untuk mengatur penduduk pedalaman Sumatra. (Perret, 2010).
Artikel ini menganalisis kedua pandangan tersebut secara ilmiah, serta menelusuri kemungkinan bahwa keenam puak yang kini disebut “Batak” sebenarnya hasil migrasi dari masyarakat Gayo dan Alas di Aceh Tengah — kelompok yang lebih dahulu menetap di dataran tinggi Sumatra bagian utara sejak ribuan tahun lalu.
2. Dua Arus Definisi “Batak”
a. Arus Enam Puak (Internal Etnografi)
Dalam studi etnolinguistik, keenam suku tersebut ditempatkan dalam rumpun Batak dengan dua cabang utama: Batak Utara (Karo, Pakpak, Alas-Kluet) dan Batak Selatan (Toba, Simalungun, Angkola/Mandailing)
(Adelaar & Himmelmann, 2005). Hubungan linguistik antar puak menunjukkan asal-usul yang relatif serumpun dan terintegrasi secara historis.
b. Arus Kritis (Kolonial dan Sosial-Politik)
Sebaliknya, Damanik (2019) menilai istilah *Batak* lahir dari proses politik identitas kolonial.
Masyarakat Melayu di pesisir menandai perbedaan budaya dan agama dengan istilah “Batak” bagi mereka yang non-Islam dan tinggal di pegunungan.
Belanda kemudian menginstitusionalisasikan label ini dalam peta etnografi kolonial untuk memudahkan kontrol administratif dan pemetaan sosial di Sumatra Utara (Perret, 2010).
3. Migrasi dan Hubungan Karo–Gayo–Alas
a. Bukti Linguistik
Hasil penelitian komparatif menunjukkan bahwa bahasa Karo memiliki tingkat kesamaan leksikal yang tinggi dengan bahasa Alas (±73%)
dan sedang dengan bahasa Gayo (±43–44%) (Sibarani et al., 2015). Hal ini mengindikasikan bahwa Karo dan Alas memiliki hubungan kekerabatan
lebih erat dibandingkan dengan Gayo. Namun demikian, baik Karo maupun Gayo sama-sama termasuk dalam rumpun besar Austronesia
yang kemungkinan memiliki akar migrasi yang berdekatan.
b. Bukti Arkeologis
Penemuan arkeologis di situs Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang (Aceh Tengah) menunjukkan bahwa kawasan Danau Laut Tawar
telah dihuni manusia sejak 3.900–4.100 tahun yang lalu (Wiradnyana & Setiawan, 2011).
Jejak peralatan batu, tulang, dan kerangka manusia di situs tersebut memperlihatkan pola hunian prasejarah
yang kemungkinan besar menjadi cikal-bakal kelompok etnis pegunungan di Sumatra bagian utara.
Namun belum ditemukan bukti langsung yang menghubungkan situs-situs itu dengan migrasi menuju Tanah Karo.
4. Diskusi: Payung Bangun dan Eron Damanik
Kedua pandangan ini sebenarnya saling melengkapi.
Prof. Payung Bangun menegaskan realitas empiris bahwa keenam puak memiliki keserumpunan bahasa dan adat yang nyata.
Sementara Prof. Eron Damanik dan Perret (2010) mengingatkan bahwa label “Batak” dibentuk melalui proses eksternal — baik oleh Melayu pesisir maupun administrasi kolonial.
Dengan demikian, istilah “Batak” merupakan realitas sosiokultural yang valid hari ini,
namun tidak identik dengan realitas historis awalnya.
5. Kesimpulan
1. Secara linguistik, Suku Karo lebih dekat dengan Alas dan Pakpak dibandingkan Gayo.
2. Secara arkeologis, Gayo dan Alas menunjukkan jejak pemukiman tertua di dataran tinggi Sumatra,
namun belum ada bukti langsung sebagai asal-usul Karo.
3. Secara historis, istilah *Batak* merupakan hasil konstruksi kolonial yang kemudian diterima sebagai identitas modern.
Hipotesis bahwa enam puak Batak merupakan hasil migrasi dari kelompok Gayo–Alas tetap relevan untuk diuji lebih lanjut melalui kajian genetika, arkeologi lintasan Aceh–Sumatra Utara, dan analisis linguistik historis yang lebih mendalam.
Daftar Pustaka
Adelaar, K.A. & Himmelmann, N. (2005). *The Austronesian Languages of Asia and Madagascar*. London: Routledge.
Britannica. (n.d.). “Batak”. *Encyclopaedia Britannica*.
Damanik, E.L. (2019). *Gugung dan Jehe: Pembelahan Etnik Karo di Sumatra Utara*.
Eades, D. (2005). *A Grammar of Gayo*. Canberra: Australian National University.
Perret, D. (2010). *Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut*. Jakarta: KPG–EFEO.
Sibarani, R., Widayati, D., & Mbete, A.M. (2015). “Cognates among the Karo, Alas and Gayo Languages.” *International Journal of Humanities and Social Science*, 5(12).
Wiradnyana, I.G.B. & Setiawan, I. (2011). “Loyang Mendale and Loyang Ujung Karang Sites.” *Review of Humanities and Social Sciences (RHSS)*.

Komentar