Featured Post

Mentalitas Berkekurangan Para Pendeta


Oleh: Analgin Ginting

Pengantar

Dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena yang memprihatinkan dalam kehidupan sebagian pendeta di berbagai denominasi gereja. Muncul perilaku yang menunjukkan adanya krisis spiritual dan ketidakseimbangan antara panggilan dan gaya hidup. Kita menyaksikan pendeta yang tetap merokok sembari menyusun rasionalisasi teologisnya, pendeta yang menolak penugasan pelayanan ke jemaat tertentu, bahkan jemaat yang menolak kehadiran pendeta karena reputasi atau gaya kepemimpinannya. Tidak jarang, pendeta juga ikut terlibat dalam investasi bodong, atau menyimpulkan diskusi Alkitab secara dangkal tanpa kedalaman refleksi rohani.


Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah menjadi pendeta adalah panggilan kudus atau sekadar pilihan profesi dan gaya hidup religius? Pertanyaan ini menyentuh inti persoalan spiritualitas pendeta masa kini. Banyak pendeta yang tampak kehilangan daya spiritual yang sejati karena mentalitas berkekurangan (scarcity mentality) yang menguasai pola pikir dan tindakannya.

Pokok Permasalahan: Krisis Mentalitas dan Spiritualitas

Stephen R. Covey (2004) dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People menjelaskan perbedaan mendasar antara mentalitas berkelimpahan (abundance mentality) dan mentalitas berkekurangan (scarcity mentality). Mentalitas berkelimpahan adalah pola pikir yang percaya bahwa “ada cukup untuk semua orang”. Orang dengan mentalitas ini bersyukur, berbagi, dan tidak merasa terancam oleh kesuksesan orang lain. Sebaliknya, mentalitas berkekurangan meyakini bahwa sumber daya terbatas, sehingga seseorang harus merebut, menguasai, atau menyembunyikan agar tidak kehilangan.



Bila diterapkan dalam konteks pelayanan pendeta, mentalitas berkekurangan membuat pendeta takut kehilangan jabatan, enggan berbagi tanggung jawab, dan mengukur keberhasilan dari faktor material. Dalam konteks teologi panggilan, pandangan ini menunjukkan bahwa sebagian pendeta gagal memahami bahwa pelayanan adalah karunia, bukan kompetisi (Guinness, 1998).

Pandangan Para Teolog tentang Mentalitas Para Pendeta

Beberapa teolog klasik dan kontemporer memberikan perspektif penting tentang fenomena menurunnya spiritualitas dan munculnya mentalitas berkekurangan di kalangan pendeta masa kini.


1. John Calvin (1559) – Panggilan sebagai Anugerah dan Disiplin Hidup di Hadapan Allah.

John Calvin menegaskan bahwa panggilan pendeta adalah officium ministerii—tugas pelayanan yang lahir dari anugerah Allah, bukan kesempatan mencari keuntungan pribadi. Hidup pendeta harus dijalani coram Deo (di hadapan Allah), bukan di hadapan manusia (Calvin, Institutes of the Christian Religion). Pendeta yang melupakan kesadaran ini akan mudah mengabdi pada kehormatan duniawi, bukan kemuliaan Allah.


2. Dietrich Bonhoeffer (1937) – Murid yang Memikul Salib.

Dalam The Cost of Discipleship, Bonhoeffer mengingatkan bahwa kemuridan sejati menuntut penyangkalan diri dan keberanian menanggung penderitaan. Ia menolak “kasih karunia murahan” (cheap grace), yakni pelayanan tanpa pengorbanan. Mentalitas berkekurangan lahir dari ketakutan kehilangan kenyamanan.


3. Henri Nouwen (1989) – Pemimpin yang Rentan dan Tulus.

Nouwen menegur gaya kepemimpinan pendeta modern yang sering terjebak pada pencitraan dan kebutuhan akan relevansi sosial. Ia menulis, “The greatest temptation of leadership is to be powerful rather than vulnerable.” Pemimpin rohani sejati justru kuat karena kerentanannya di hadapan Allah.


4. Karl Barth (1963) – Krisis Panggilan dan Kesadaran Rahmat.

Barth menyebut bahwa pendeta yang kehilangan kesadaran akan rahmat Allah akan mengalami “krisis panggilan.” Ia tidak lagi memberitakan Kristus, melainkan dirinya sendiri. Dalam Evangelical Theology, Barth mengingatkan bahwa inti dari teologi bukan sistem pemikiran, tetapi penyerahan diri di bawah Firman Allah.


5. Rick Warren (2002) – Pelayanan yang Digerakkan oleh Tujuan.

Teolog dan gembala kontemporer Rick Warren menekankan bahwa hidup dan pelayanan harus berpusat pada tujuan ilahi, bukan pada popularitas atau keamanan pribadi. Ia menulis: “When you understand that life is a test and a trust, you realize that everything belongs to God and you are only His steward.” Pendeta yang hidup dengan kesadaran ini membangun mentalitas kelimpahan karena percaya Tuhan menyediakan cukup bagi setiap pelayan-Nya.


6. N. T. Wright (2010) – Teologi Harapan dan Rekonsiliasi.

Wright menegaskan bahwa etika Kristen lahir dari harapan eskatologis. Mentalitas berkekurangan adalah tanda lemahnya iman terhadap janji Allah. Pendeta yang memiliki pandangan iman ke depan akan tetap teguh, murah hati, dan melayani tanpa takut kekurangan.


7. Eka Darmaputera (1990) – Pelayanan sebagai Solidaritas dan Konteks Sosial.

Dalam konteks Indonesia, Eka Darmaputera menekankan bahwa pelayanan Kristen tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial masyarakat. Pendeta harus memiliki spiritualitas solidaritas dengan umat yang menderita. Ia menulis bahwa “gereja yang berorientasi ke dalam akan mati perlahan; gereja yang berani keluar untuk berbagi hidup akan menemukan dirinya.” Spiritualitas berbagi inilah bentuk nyata dari mentalitas berkelimpahan.


8. Th. Sumartana (1993) – Teologi Kontekstual dan Panggilan Diakonal.

Sumartana menekankan pentingnya pelayanan diakonal sebagai ekspresi nyata kasih Allah di dunia. Pendeta yang melayani dengan mentalitas berkelimpahan melihat dirinya sebagai saluran berkat, bukan pemilik berkat. Ia menulis bahwa pelayanan sejati lahir dari keberanian untuk mengosongkan diri (kenosis), seperti Kristus (Filipi 2:7).

Jalan Keluar dan Implementasi

Mengatasi mentalitas berkekurangan bukan sekadar persoalan moral, tetapi transformasi batin yang mendalam. Ada tiga langkah praktis yang dapat dilakukan:

1. Perenungan Spiritualitas Pribadi – Pendeta perlu menghidupkan kembali kehidupan doa, disiplin sabat, dan refleksi teologis. Spiritualitas yang sehat menghasilkan pikiran berkelimpahan (Ibrani 13:5).


2. Pendidikan Kepemimpinan Berbasis Teologi Abundance – Lembaga pelatihan pendeta perlu menanamkan teologi kelimpahan bahwa Tuhan adalah sumber segala sesuatu (Mazmur 23:1).


3. Kehidupan Komunitas yang Akuntabel – Pendeta perlu hidup dalam komunitas sejati di mana ia juga dikoreksi dan dipimpin.

Kesimpulan

Mentalitas berkekurangan di kalangan pendeta merupakan gejala krisis panggilan dan spiritualitas. Pendeta yang kehilangan kesadaran akan kasih karunia Allah mudah terjebak dalam kecemasan duniawi dan kehilangan semangat pelayanan sejati. Sebaliknya, pendeta dengan mentalitas berkelimpahan akan memandang hidup dan pelayanan sebagai kesempatan berbagi kasih dan memuliakan Tuhan.

Power Statement

Pendeta yang hidup dengan mentalitas berkelimpahan tidak khawatir kehilangan, sebab ia sadar bahwa sumber hidupnya bukan dari gereja, tetapi dari Tuhan yang memanggilnya.

Referensi

Barth, K. (1963). Evangelical Theology: An Introduction. Eerdmans, Grand Rapids.
Bonhoeffer, D. (1937). The Cost of Discipleship. SCM Press, London.
Calvin, J. (1559/1960). Institutes of the Christian Religion. Westminster Press, Philadelphia.
Covey, S. R. (2004). The 7 Habits of Highly Effective People. Simon & Schuster, New York.
Darmaputera, E. (1990). Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Guinness, O. (1998). The Call: Finding and Fulfilling the Central Purpose of Your Life. Word Publishing, Nashville.
Nouwen, H. J. M. (1989). In the Name of Jesus: Reflections on Christian Leadership. Crossroad Publishing, New York.
Sumartana, Th. (1993). Teologi Kontekstual di Indonesia. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Warren, R. (2002). The Purpose Driven Life. Zondervan, Grand Rapids.
Wright, N. T. (2010). After You Believe: Why Christian Character Matters. HarperOne, New York.
Peterson, E. H. (1992). Under the Unpredictable Plant. Eerdmans, Grand Rapids.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Tambahan PJJ 6 - 12 April 2025

Catatan Tambahan PJJ 6 - 12 Juli 2025

Catatan Tambahan PJJ 11 – 17 Mei 2025