Wartawan dan Assessor
Membedakan Investigative Reporting dan Assessment Reporting: Antara Negative Thinking dan Positive Thinking
Pendahuluan
Dalam dunia profesional, baik jurnalisme maupun asesmen memiliki peran penting dalam membentuk opini publik dan pengambilan keputusan. Namun, investigative reporting (pelaporan investigatif) dan assessment reporting (pelaporan asesmen) berbeda secara mendasar dalam pendekatan, tujuan, dan paradigma berpikir yang digunakan oleh para pelakunya. Artikel ini mengulas perbedaan keduanya dengan menekankan pada orientasi berpikir — negatif versus positif — yang melandasi masing-masing praktik profesional.
1. Investigative Reporting: Mencari Fakta di Balik Fakta
Investigative reporting adalah bentuk jurnalisme mendalam yang berupaya mengungkap hal-hal tersembunyi di balik peristiwa atau kebijakan publik. Ia dilakukan oleh wartawan profesional yang memiliki kompetensi dalam pengumpulan data, wawancara kritis, verifikasi, dan penulisan dengan standar etika jurnalistik tinggi (de Burgh, 2008).
Ciri khas dari pelaporan investigatif adalah sikap kritis dan skeptis terhadap informasi permukaan. Seorang jurnalis investigatif diasumsikan berangkat dari negative thinking dalam arti epistemologis: ia tidak menerima sesuatu apa adanya, tetapi mencurigai kemungkinan adanya penyimpangan, manipulasi, atau ketidakjujuran. Sikap ini bukan pesimisme moral, melainkan upaya menjaga independensi dan objektivitas berita (Houston, 2010).
Wartawan seperti Bob Woodward dan Carl Bernstein dalam kasus Watergate menjadi simbol dari tradisi ini — di mana asumsi awal adalah: “ada yang tidak beres,” dan tugas jurnalis adalah membuktikannya melalui data dan sumber yang valid (Ettema & Glasser, 1998).
Dengan demikian, negative thinking di sini berfungsi sebagai metode kerja yang kritis, bukan sebagai orientasi destruktif, melainkan untuk membongkar kebenaran tersembunyi demi kepentingan publik.
2. Assessment Reporting: Mengevaluasi untuk Pengembangan
Berbeda dengan jurnalisme investigatif, assessment reporting adalah bentuk pelaporan profesional yang dilakukan oleh seorang assessor, yakni individu yang memiliki keahlian dalam menilai kinerja, potensi, atau kompetensi seseorang atau organisasi (Fletcher, 2001). Tujuannya bukan untuk membongkar kesalahan, tetapi untuk memberikan umpan balik konstruktif yang mendorong perbaikan dan pertumbuhan.
Laporan asesmen didasarkan pada prinsip positive psychology (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000) — berangkat dari keyakinan bahwa setiap individu memiliki kekuatan yang dapat dikembangkan. Orientasi berpikir yang digunakan adalah positive thinking, yaitu melihat potensi dan peluang peningkatan, bukan hanya kekurangan atau kesalahan (Luthans et al., 2007).
Metodologi asesmen menekankan keobjektifan, validitas instrumen, triangulasi data, dan komunikasi empatik. Seorang assessor profesional dituntut untuk menjaga etika dan memberikan hasil yang membangun, agar penerima laporan merasa didorong, bukan dijatuhi penilaian (Bachkirova et al., 2010).
3. Perbandingan Epistemologis dan Etis
Aspek Investigative Reporting Assessment Reporting
Pelaku Profesional Wartawan Assessor
Tujuan Utama Mengungkap kesalahan,
ketidakbenaran, atau penyimpang Mengevaluasi dan
mengembangkan potensi
Orientasi Berpikir Negative Thinking (kritis, skeptis,
mencari celah ketidakbenaran)
Positive Thinking (konstruktif,
empatik, fokus pada
pengembangan)
Basis Nilai Keadilan dan transparansi publik Pertumbuhan dan pemberdayaan
individu
Hasil Laporan Fakta investigatif yang bisa bersifat
mengguncang
Rekomendasi dan umpan balik
pengembangan
Kedua jenis pelaporan ini sama-sama menuntut profesionalisme tinggi, namun berbeda paradigma. Jika investigative reporting bekerja dengan prinsip “trust no one until proven true,” maka assessment reporting berlandaskan “see the good and help it grow.”
4. Implikasi Profesional
Perbedaan paradigma ini berdampak besar terhadap cara berpikir, cara bertanya, serta gaya komunikasi profesional. Wartawan yang terlalu positif dapat kehilangan daya kritisnya, sementara assessor yang terlalu negatif akan menimbulkan resistensi dan ketakutan. Oleh karena itu, keseimbangan antara skeptisisme dan empati menjadi kunci etika dalam kedua profesi.
Dalam konteks organisasi modern, sinergi antara dua pendekatan ini menjadi penting. Jurnalisme yang kritis membantu menjaga transparansi, sementara asesmen yang positif membantu menumbuhkan budaya belajar dan perbaikan berkelanjutan (continuous improvement).
Kesimpulan
Investigative reporting dan assessment reporting sama-sama berperan dalam memperkuat kualitas kehidupan sosial dan organisasi. Namun keduanya berangkat dari paradigma berpikir yang berbeda: wartawan profesional menggunakan negative thinking sebagai alat analisis kritis untuk menemukan kebenaran, sedangkan assessor profesional menggunakan positive thinking untuk mendorong pertumbuhan dan perubahan yang konstruktif.
Keduanya, pada akhirnya, adalah dua sisi dari mata uang etika profesional yang sama — mencari kebenaran dan mendorong kebaikan.
Daftar Referensi (Harvard Style)
Bachkirova, T., Spence, G. and Drake, D. (2010). The Complete Handbook of Coaching. London: Sage Publications.
de Burgh, H. (2008). Investigative Journalism: Context and Practice. London: Routledge.
Ettema, J.S. and Glasser, T.L. (1998). Custodians of Conscience: Investigative Journalism and Public Virtue. New York: Columbia University Press.
Fletcher, C. (2001). Performance Appraisal and Management: The Developing Research Agenda. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 74(4), pp.473–487.
Houston, B. (2010). The Investigative Reporter’s Handbook. Boston: Bedford/St. Martin’s.
Luthans, F., Avolio, B.J., Avey, J.B. and Norman, S.M. (2007). Positive Psychological Capital: Measurement and Relationship with Performance and Satisfaction. Personnel Psychology, 60(3), pp.541–572.
Seligman, M.E.P. and Csikszentmihalyi, M. (2000). Positive Psychology: An Introduction. American Psychologist, 55(1), pp.5–14.
Komentar