Featured Post

Wartawan dan Assessor

Gambar
Membedakan Investigative Reporting dan Assessment Reporting: Antara Negative Thinking dan Positive Thinking Pendahuluan Dalam dunia profesional, baik jurnalisme maupun asesmen memiliki peran penting dalam membentuk opini publik dan pengambilan keputusan. Namun, investigative reporting (pelaporan investigatif) dan assessment reporting (pelaporan asesmen) berbeda secara mendasar dalam pendekatan, tujuan, dan paradigma berpikir yang digunakan oleh para pelakunya. Artikel ini mengulas perbedaan keduanya dengan menekankan pada orientasi berpikir — negatif versus positif — yang melandasi masing-masing praktik profesional. 1. Investigative Reporting: Mencari Fakta di Balik Fakta Investigative reporting adalah bentuk jurnalisme mendalam yang berupaya mengungkap hal-hal tersembunyi di balik peristiwa atau kebijakan publik. Ia dilakukan oleh wartawan profesional yang memiliki kompetensi dalam pengumpulan data, wawancara kritis, verifikasi, dan penulisan dengan standar etika jurnalistik tinggi (d...

Pandangan 2 Orang Profesor Tentang Batak dan Suku Karo

 Prof Payung Bangun dan Prof Eron Damanik

Persamaan kunci

Mengulas kelompok-kelompok etnik di Sumatra Utara dan relasinya (wilayah, adat, agama, bahasa, organisasi sosial). Payung Bangun memetakan “Batak” beserta sub-sukunya; Damanik menelaah proses pembentukan/penegasan identitas kelompok (khususnya Simalungun, Toba–Angkola–Mandailing). 

Mengakui dinamika modernisasi & agama sebagai unsur pembentuk identitas dan organisasi sosial (mis. HKBP, GBKP). 



Perbedaan pokok (inti teoretis & sudut pandang)

1. Ontologi “Batak”

o Payung Bangun: memperlakukan “Batak” sebagai payung etnokultural yang lebih khusus terdiri dari sub-suku-suku bangsa; dalam paparan bab “Kebudayaan Batak” ia memulai daftar sub-suku dari (1) Karo dan seterusnya (daftar bersambung di halaman berikut). Ini adalah tipologi etnografis yang memayungi Karo, Toba, Simalungun, Pakpak/Dairi, Angkola, Mandailing. 

o Eron Damanik: menekankan “Batak” sebagai label yang terkonstruksi secara sosio-historis (kolonial/administratif/median publik) dan sering diperdebatkan—terutama pada kasus Angkola–Mandailing dan penegasan identitas Simalungun. Fokusnya bukan mengafirmasi angka/paket sub-suku, melainkan menjelaskan proses penempelan, penerimaan, atau penolakan label “Batak” oleh kelompok-kelompok berbeda. 

2. Arah analisis

o Payung Bangun: deskriptif-komparatif—menjelaskan sebaran wilayah, unsur adat, religi, serta organisasi (HKBP, GBKP) dalam kerangka payung “Batak”. 

o Eron Damanik: kritis-konstruksionis—membedah politik identitas (boundary-making, label conflicts, peran agama/bahasa/klan) dan menunjukkan bahwa “Batak” bukan identitas tunggal yang given, melainkan hasil kontestasi historis dan kontemporer. 

3. Posisi soal Mandailing & Angkola (juga Simalungun/Karo)

o Payung Bangun: tradisi klasifikasi memasukkan Angkola–Mandailing dan Simalungun–Karo dalam “Batak” (arus utama etnografi Indonesia era itu). 

o Eron Damanik: menunjukkan kontestasi identifikasi—misalnya Mandailing yang menolak label “Batak” sedangkan Angkola cenderung menerima; juga perdebatan bahasa/identitas Simalungun; ini memperlihatkan pluralitas pengakuan diri yang tak selalu klop dengan klasifikasi akademik lama. 

Nilai tambah praktis bagi masyarakat Batak & Karo 

1. Pengelolaan kebinekaan intra-Batak

o Memakai tipologi Payung Bangun untuk pendidikan budaya (muatan lokal, museum, arsip digital) agar publik memahami keragaman sub-suku di bawah satu payung historis—tanpa menghapus kekhasan tiap kelompok. 

o Mengikuti Damanik, program budaya perlu menghormati self-identification (terutama komunitas yang menolak/menegosiasi label “Batak”), sehingga kurikulum, festival, dan kebijakan tidak memaksakan homogenisasi. Ini mencegah friksi dan memperkuat kohesi. 

2. Perancangan kebijakan & rekayasa sosial

o Kerangka konstruksionis Damanik membantu pemerintah daerah/LSM memetakan sensitivitas identitas pada perencanaan (pariwisata Danau Toba, pelestarian adat, konsolidasi organisasi marga, rumah ibadat/language planning). 

o Kerangka Payung Bangun memudahkan standardisasi data budaya (mis. basis data toponimi, pakaian adat, arsip ritual lintas sub-suku), bermanfaat untuk ekonomi kreatif lintas Karo-Simalungun-Toba-Pakpak-Angkola-Mandailing. 

3. Bagi komunitas Karo

o Peluang branding budaya: tampilkan keunikan Karo (bahasa, gendang lima sedalanen, arsitektur, kuliner) serta jejaring “Batak Raya” bila relevan—strategi “pluralisme identitas” yang adaptif di pariwisata, ekonomi kreatif, dan diplomasi budaya. Kerangka Damanik menegaskan hak memilih label, kerangka Payung Bangun memberi narasi payung saat kolaborasi lintas sub-suku diperlukan (mis. event besar Danau Toba). 


Kutipan pokok (sebagai penguat)

Payung Bangun, “Kebudayaan Batak”: halaman pembuka bab (judul, penulis, bagian 1. Identifikasi) dan permulaan daftar sub-suku:

“Suku-bangsa Batak, lebih khusus terdiri dari sub-suku-suku bangsa: (1) Karo…” (lanjutan daftar pada halaman berikut). 

Damanik dkk.: “Batak” dipahami sebagai label yang dikonstruksi dan diperdebatkan, khususnya dalam kasus Mandailing–Angkola dan Simalungun (agama/bahasa menjadi arena artikulasi identitas). 


Kesimpulan analitis

Payung Bangun memberi kerangka payung (tipologi sub-suku) yang masih berguna untuk literasi budaya dan kolaborasi lintas komunitas.

Eron Damanik menambahkan kedalaman kritis: identitas “Batak” tidak statis, melainkan hasil negosiasi historis, politik, dan kultural; karena itu kebijakan/kurikulum/brand budaya perlu elastis terhadap pilihan label komunitas.

Menggabungkan keduanya menghasilkan pendekatan “tipologi-konstruksionis”: ada atlas/kerangka bersama tanpa menafikan otonomi identitas—ini yang paling sehat untuk masa depan masyarakat Batak dan Karo.


Referensi (cita kunci)

Bangun, Payung. “IV. Kebudayaan Batak,” dalam Koentjaraningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan (cet. 1971–1984). Akses scan: lihat halaman 94 dst.; pembuka bab & daftar sub-suku tampak jelas. 

Damanik, Erond Litno. Agama dan Identitas Kelompok Etnik: Proses Identifikasi Identitas Kelompok Etnik Simalungun (naskah ilmiah/tesis; Unimed). Menyorot agama/bahasa sebagai pilar identitas Simalungun dan relasinya dengan “Batak”. 

Hidayat, H., & Damanik, E. L. “Batak dan Bukan Batak: Paradigma Sosiohistoris tentang Konstruksi Identitas Etnik di Kota Medan, 1906–1939,” Jurnal Sejarah Citra Lekha 3(2): 71–87. Memaparkan konflik label “Batak” (Mandailing vs Angkola) dan implikasinya. 

Damanik, E. L. “Pentagonal Relationships in the Simalungun Ethnic Group,” Asia Pacific Social Science Review (2021). Mengulas pola relasi sosial Simalungun—berguna memahami dinamika identitas kontemporer. 

(Sumber populer) Medan Insider: ulasan publik berisi pernyataan Damanik bahwa label “Batak” bukan identitas suku bangsa yang digunakan sebelum abad ke-20 (berguna sebagai penjejak wacana populer; tetap rujuk primer/akademik untuk penulisan ilmiah). 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Tambahan PJJ 6 - 12 Juli 2025

Catatan Tambahan PJJ 6 - 12 April 2025

Catatan Tambahan PJJ 11 – 17 Mei 2025