Mentalitas Berkekurangan Para Pendeta

(Oleh Analgin Ginting)
Dalam dunia modern yang sangat kompetitif, kemampuan bernegosiasi bukan lagi sekadar keterampilan tambahan, melainkan faktor penentu keberhasilan organisasi dan individu. Sejak awal abad ke-21, globalisasi, digitalisasi, dan perubahan sosial ekonomi telah memaksa para manajer untuk berhadapan dengan situasi kompleks: konflik kepentingan, keterbatasan sumber daya, serta perbedaan budaya kerja. Dalam konteks ini, muncul sebuah adagium tajam — “Bernegosiasi atau hancur.”
Negosiasi adalah proses komunikasi dua arah untuk mencapai kesepakatan bersama di tengah perbedaan kepentingan. Namun di Indonesia, kualitas negosiasi sering kali lemah karena rendahnya kemampuan analitis, kurangnya keberanian mengambil posisi strategis, dan lemahnya integritas moral dalam berunding. Dalam banyak kasus bisnis, kelemahan ini berujung pada kerugian finansial, hilangnya peluang, dan rusaknya reputasi organisasi.
Berbagai pakar mendefinisikan negosiasi dari perspektif yang berbeda, namun memiliki inti yang sama: proses mencapai kesepakatan dengan komunikasi dan kompromi yang efektif.
Fisher dan Ury (1981) dalam karya klasiknya Getting to Yes menyebut negosiasi sebagai “proses komunikasi yang bertujuan mencapai hasil yang saling menguntungkan, dengan berfokus pada kepentingan, bukan posisi.”1 Roger Dawson (2001) menekankan bahwa negosiasi adalah “seni mendapatkan yang kita inginkan dari orang lain dengan menciptakan persepsi bahwa mereka juga menang.”2
Sementara itu, menurut Lewicki, Barry, dan Saunders (2021), negosiasi mencakup “pertukaran informasi, persuasi, dan pembuatan keputusan yang berbasis pada logika dan emosi.”3 Dalam konteks manajemen Indonesia, negosiasi harus dilihat bukan hanya sebagai kemampuan berbicara, tetapi juga sebagai cermin kedewasaan berpikir, kejujuran, dan kemampuan mengelola emosi sosial yang tinggi.
Salah satu hambatan terbesar dalam dunia manajerial Indonesia adalah karakter budaya yang membentuk cara bernegosiasi. Mochtar Lubis dalam pidatonya Manusia Indonesia (1977) menguraikan enam ciri utama manusia Indonesia: lemah watak, munafik, percaya pada tahayul, enggan bertanggung jawab, tidak disiplin, dan menyukai keindahan atau estetika lebih dari substansi.4 Karakteristik ini berimplikasi langsung terhadap rendahnya mutu negosiasi dalam berbagai bidang.
Sebagai contoh nyata, kasus negosiasi pembelian pesawat Garuda Indonesia tahun 1990-an memperlihatkan bagaimana proses yang tidak transparan dan minim analisis ekonomi menimbulkan beban utang besar bagi perusahaan.5 Begitu pula negosiasi kontrak Freeport di Papua yang berlarut-larut selama puluhan tahun memperlihatkan lemahnya posisi tawar pemerintah akibat ketergantungan ekonomi dan kurangnya ahli negosiasi di jajaran pengambil keputusan.6
Negosiasi yang sehat memerlukan fondasi karakter kuat: jujur, berani, konsisten, dan terbuka. Seperti dikatakan oleh Stephen Covey (1989), “Trust is the glue of life; it’s the most essential ingredient in effective communication.”7 Seorang negosiator sejati tidak memanipulasi fakta, tetapi membangun kepercayaan jangka panjang.
Untuk membentuk karakter demikian, perusahaan perlu menanamkan nilai-nilai etika kerja sejak dini: tanggung jawab pribadi, transparansi dalam laporan, dan keberanian menyatakan ketidaksetujuan secara sopan. Karakter yang kokoh menjadikan negosiator tidak mudah goyah oleh tekanan eksternal, baik dari atasan, politik, maupun kepentingan pribadi.
Keterampilan negosiasi tidak lahir secara alami. Ia harus dilatih melalui simulasi, studi kasus, dan refleksi. Harvard Negotiation Project dan Stanford Graduate School of Business menawarkan modul-modul pelatihan yang fokus pada kemampuan mendengarkan aktif, analisis kepentingan, dan strategi win-win solution.8
Di Indonesia, perusahaan-perusahaan besar seperti Pertamina, Telkom, dan Astra telah membangun Negotiation Competency Framework yang menekankan lima aspek: analytical thinking, persuasive communication, conflict management, decision-making, dan emotional intelligence.
Sebagai ilustrasi, negosiator di industri perkebunan sawit yang mampu berunding dengan masyarakat adat secara empatik—tanpa mengorbankan kepentingan perusahaan—sering kali berhasil menciptakan kesepakatan berkelanjutan. Ini contoh nyata bahwa pelatihan dan kepekaan budaya harus berjalan beriringan.
Negosiasi adalah inti dari semua hubungan manusia: bisnis, politik, sosial, bahkan kehidupan berkeluarga. Namun di Indonesia, kemampuan bernegosiasi masih terhambat oleh kelemahan karakter dan miskinnya pelatihan praktis. Tanpa reformasi pada dua aspek ini, bangsa kita akan terus menjadi “penonton” dalam arena global.
Kita harus memahami bahwa negosiasi bukan sekadar seni berbicara, tetapi seni memahami manusia—mendengar, menimbang, dan memutuskan dengan akal sehat dan hati nurani.
“Negosiasi bukan tentang siapa yang menang, tetapi siapa yang mampu bertahan dengan martabat.”
Jika kita tidak berani bernegosiasi dengan nilai dan analisis yang benar, maka sejarah akan menegaskan adagium ini: Bernegosiasi atau hancur.
Covey, S.R., 1989. The Seven Habits of Highly Effective People. New York: Simon & Schuster.
Dawson, R., 2001. Secrets of Power Negotiating. New York: Career Press.
Fisher, R. and Ury, W., 1981. Getting to Yes: Negotiating Agreement Without Giving In. Boston: Houghton Mifflin.
Harvard Law School Program on Negotiation, 2022. Negotiation Training Modules: Win-Win Strategies. Cambridge, MA: Harvard University.
Kompas.com, 2020. Mengenang Kasus Utang Garuda dan Negosiasi Pembelian Pesawat Era 90-an.
Lewicki, R.J., Barry, B. & Saunders, D., 2021. Negotiation. 9th ed. New York: McGraw-Hill.
Lubis, M., 1977. Manusia Indonesia. Pidato Kebudayaan, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Tempo.co, 2017. Kronologi Negosiasi Pemerintah dan Freeport.
Komentar