Mentalitas Berkekurangan Para Pendeta

Tulisan ini diinspirasi oleh makalah Dr. Moris Tarigan yang
memberikan kuliah di Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung
(SBM ITB) dengan judul Corporate Culture & Unleashing Gen Z Potential.
Pemikiran beliau membuka wawasan tentang bagaimana nilai-nilai korporasi klasik
seperti loyalitas, stabilitas, dan pengabdian jangka panjang masih relevan di
tengah perubahan besar yang dibawa oleh generasi muda dan disrupsi digital.
Tulisan ini mengajak pembaca untuk meninjau kembali relevansi konsep lifetime
employment dalam konteks budaya, ekonomi, dan sosial Indonesia masa kini.
a. Membangun Loyalitas dan Stabilitas Melalui Model
'Womb-to-Tomb' dan 'Lifetime Employment'
Model India dan Jepang menekankan stabilitas kerja serta perhatian terhadap
kesejahteraan keluarga karyawan. Dalam konteks budaya Indonesia yang
kolektivistik, pendekatan ini selaras dengan nilai gotong royong dan
kekeluargaan.
b. Harmoni Sosial dan Rekonstruksi Pasca Krisis (Belajar dari Jepang)
Pendekatan Jepang setelah Perang Dunia II menekankan kerja sama antara negara,
perusahaan, dan pekerja. Indonesia dapat mengadopsi model kolaboratif tripartit
serupa untuk menciptakan stabilitas jangka panjang.
c. Jaminan Sosial sebagai 'Iron Rice Bowl' Modern (Pelajaran dari China)
Konsep jaminan sosial total China memberi pelajaran penting: kesejahteraan dan
perlindungan sosial menjadi kunci stabilitas nasional.
d. Nilai Kerja dan Etos Pembangunan (Korea/Taiwan Model)
Model ini menekankan pentingnya loyalitas, pelatihan teknis, dan sinergi
industri-pemerintah, relevan untuk mendukung visi industri Indonesia.
e. Fleksibilitas dan Produktivitas (Pelajaran dari Barat)
Negara Barat menyeimbangkan fleksibilitas tenaga kerja dengan jaminan sosial.
Konsep ini bisa diadaptasi Indonesia melalui kebijakan flexicurity.
- Budaya kolektivistik dan gotong royong: Mendukung
loyalitas dan hubungan kerja jangka panjang.
- Perusahaan keluarga dominan: Selaras dengan model
paternalistik India dan Jepang.
- Kebijakan CSR dan ESG meningkat: Menopang kesejahteraan
sosial pekerja.
- Program Jaminan Sosial Nasional (BPJS): Landasan untuk
sistem kesejahteraan kerja.
- Bonus demografi: Populasi muda potensial untuk pelatihan
jangka panjang.
- Fleksibilitas kerja era digital: Gig economy membuat
'lifetime employment' sulit diterapkan.
- Budaya kerja pragmatis dan hierarkis: Model paternalistik
sering terjebak dalam feodalisme.
- Kelemahan manajemen SDM: Kurangnya sistem karier jangka
panjang.
- Ketidakpastian hukum ketenagakerjaan: Seringnya revisi
peraturan menghambat kebijakan jangka panjang.
- Orientasi jangka pendek pengusaha: Fokus pada keuntungan
cepat, bukan pengembangan SDM.
Negara /
Model |
Ciri Utama
Sistem Kerja |
Pelajaran
untuk Indonesia |
India |
Model
paternalistik dan berbasis loyalitas jangka panjang, kesejahteraan keluarga
karyawan diperhatikan. |
Mendorong hubungan
kerja kekeluargaan dan peningkatan kesejahteraan internal perusahaan. |
Jepang |
Lifetime
employment dengan kerja sama erat antara pemerintah, perusahaan, dan pekerja. |
Perlu
kolaborasi tripartit antara negara, pengusaha, dan serikat buruh untuk stabilitas
jangka panjang. |
China |
Sistem 'Iron
Rice Bowl' menjamin kesejahteraan dan keamanan kerja bagi karyawan sektor
publik. |
Pentingnya
memperkuat jaminan sosial nasional seperti BPJS dan perlindungan pekerja
informal. |
Korea/Taiwan |
Etos
pembangunan nasional dan pelatihan teknis terintegrasi dengan industri. |
Menumbuhkan
etos kerja produktif dan memperkuat pendidikan vokasi. |
Negara Barat |
Fleksibilitas
kerja tinggi, fokus pada produktivitas dan inovasi digital. |
Menyeimbangkan
fleksibilitas tenaga kerja dengan perlindungan sosial (konsep flexicurity). |
Indonesia dapat memadukan model paternalistik India–Jepang
dengan jaminan sosial China dan fleksibilitas Barat untuk menciptakan model
khas Indonesia: Kesejahteraan Jangka Panjang Berbasis Kekeluargaan dan
Kompetensi.
Langkah strategis:
1. Bangun jalur karier jangka panjang dan sistem penghargaan berbasis
loyalitas.
2. Perkuat kolaborasi antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja.
3. Modernisasi sistem jaminan sosial agar melindungi pekerja formal dan
informal.
4. Integrasikan pelatihan vokasi dengan kebutuhan industri digital.
Abegglen, J. (1958). The Japanese Factory: Aspects of Its
Social Organization. Free Press.
Aoki, M. (1988). Information, Incentives, and Bargaining in
the Japanese Economy. Cambridge University Press.
Boyer, R. & Durand, J.P. (1997). After Fordism.
Macmillan.
Budhwar, P. & Varma, A. (2010). 'Emerging HRM systems in
India', Human Resource Management Review, 20(1), 20–32.
Carney, M. (2005). 'Corporate governance and competitive
advantage in family–controlled firms', Entrepreneurship Theory and Practice,
29(3), 249–265.
Fields, K. (1994). Enterprise and the State in Korea and
Taiwan. Cornell University Press.
Hofstede, G. (2011). Culture’s Consequences. Sage.
Jacoby, S.M. (1997). Modern Manors: Welfare Capitalism Since
the New Deal. Princeton University Press.
Naughton, B. (2007). The Chinese Economy: Transitions and
Growth. MIT Press.
Walder, A.G. (1986). Communist Neo-Traditionalism. University
of California Press.
ILO (2021). World Employment and Social Outlook: The Role of
Digital Labour Platforms. ILO.
Komentar