Featured Post

Mentalitas Berkekurangan Para Pendeta

Gambar
Oleh: Analgin Ginting Pengantar Dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena yang memprihatinkan dalam kehidupan sebagian pendeta di berbagai denominasi gereja. Muncul perilaku yang menunjukkan adanya krisis spiritual dan ketidakseimbangan antara panggilan dan gaya hidup. Kita menyaksikan pendeta yang tetap merokok sembari menyusun rasionalisasi teologisnya, pendeta yang menolak penugasan pelayanan ke jemaat tertentu, bahkan jemaat yang menolak kehadiran pendeta karena reputasi atau gaya kepemimpinannya. Tidak jarang, pendeta juga ikut terlibat dalam investasi bodong, atau menyimpulkan diskusi Alkitab secara dangkal tanpa kedalaman refleksi rohani. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah menjadi pendeta adalah panggilan kudus atau sekadar pilihan profesi dan gaya hidup religius? Pertanyaan ini menyentuh inti persoalan spiritualitas pendeta masa kini. Banyak pendeta yang tampak kehilangan daya spiritual yang sejati karena mentalitas berkekurangan (scarcity mentality) yang...

Apakah Konsep Lifetime Employment Masih Relevan di Indonesia?

 

Pengantar

Tulisan ini diinspirasi oleh makalah Dr. Moris Tarigan yang memberikan kuliah di Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) dengan judul Corporate Culture & Unleashing Gen Z Potential. Pemikiran beliau membuka wawasan tentang bagaimana nilai-nilai korporasi klasik seperti loyalitas, stabilitas, dan pengabdian jangka panjang masih relevan di tengah perubahan besar yang dibawa oleh generasi muda dan disrupsi digital. Tulisan ini mengajak pembaca untuk meninjau kembali relevansi konsep lifetime employment dalam konteks budaya, ekonomi, dan sosial Indonesia masa kini.


1. Insight yang Dapat Diterapkan di Indonesia

a. Membangun Loyalitas dan Stabilitas Melalui Model 'Womb-to-Tomb' dan 'Lifetime Employment'
Model India dan Jepang menekankan stabilitas kerja serta perhatian terhadap kesejahteraan keluarga karyawan. Dalam konteks budaya Indonesia yang kolektivistik, pendekatan ini selaras dengan nilai gotong royong dan kekeluargaan.

b. Harmoni Sosial dan Rekonstruksi Pasca Krisis (Belajar dari Jepang)
Pendekatan Jepang setelah Perang Dunia II menekankan kerja sama antara negara, perusahaan, dan pekerja. Indonesia dapat mengadopsi model kolaboratif tripartit serupa untuk menciptakan stabilitas jangka panjang.

c. Jaminan Sosial sebagai 'Iron Rice Bowl' Modern (Pelajaran dari China)
Konsep jaminan sosial total China memberi pelajaran penting: kesejahteraan dan perlindungan sosial menjadi kunci stabilitas nasional.

d. Nilai Kerja dan Etos Pembangunan (Korea/Taiwan Model)
Model ini menekankan pentingnya loyalitas, pelatihan teknis, dan sinergi industri-pemerintah, relevan untuk mendukung visi industri Indonesia.

e. Fleksibilitas dan Produktivitas (Pelajaran dari Barat)
Negara Barat menyeimbangkan fleksibilitas tenaga kerja dengan jaminan sosial. Konsep ini bisa diadaptasi Indonesia melalui kebijakan flexicurity.

2. Daya Dukung (Enablers) di Indonesia

- Budaya kolektivistik dan gotong royong: Mendukung loyalitas dan hubungan kerja jangka panjang.

- Perusahaan keluarga dominan: Selaras dengan model paternalistik India dan Jepang.

- Kebijakan CSR dan ESG meningkat: Menopang kesejahteraan sosial pekerja.

- Program Jaminan Sosial Nasional (BPJS): Landasan untuk sistem kesejahteraan kerja.

- Bonus demografi: Populasi muda potensial untuk pelatihan jangka panjang.

3. Daya Hambat (Constraints)

- Fleksibilitas kerja era digital: Gig economy membuat 'lifetime employment' sulit diterapkan.

- Budaya kerja pragmatis dan hierarkis: Model paternalistik sering terjebak dalam feodalisme.

- Kelemahan manajemen SDM: Kurangnya sistem karier jangka panjang.

- Ketidakpastian hukum ketenagakerjaan: Seringnya revisi peraturan menghambat kebijakan jangka panjang.

- Orientasi jangka pendek pengusaha: Fokus pada keuntungan cepat, bukan pengembangan SDM.

 

Negara / Model

Ciri Utama Sistem Kerja

Pelajaran untuk Indonesia

India

Model paternalistik dan berbasis loyalitas jangka panjang, kesejahteraan keluarga karyawan diperhatikan.

Mendorong hubungan kerja kekeluargaan dan peningkatan kesejahteraan internal perusahaan.

Jepang

Lifetime employment dengan kerja sama erat antara pemerintah, perusahaan, dan pekerja.

Perlu kolaborasi tripartit antara negara, pengusaha, dan serikat buruh untuk stabilitas jangka panjang.

China

Sistem 'Iron Rice Bowl' menjamin kesejahteraan dan keamanan kerja bagi karyawan sektor publik.

Pentingnya memperkuat jaminan sosial nasional seperti BPJS dan perlindungan pekerja informal.

Korea/Taiwan

Etos pembangunan nasional dan pelatihan teknis terintegrasi dengan industri.

Menumbuhkan etos kerja produktif dan memperkuat pendidikan vokasi.

Negara Barat

Fleksibilitas kerja tinggi, fokus pada produktivitas dan inovasi digital.

Menyeimbangkan fleksibilitas tenaga kerja dengan perlindungan sosial (konsep flexicurity).

 

4. Kesimpulan dan Rekomendasi

Indonesia dapat memadukan model paternalistik India–Jepang dengan jaminan sosial China dan fleksibilitas Barat untuk menciptakan model khas Indonesia: Kesejahteraan Jangka Panjang Berbasis Kekeluargaan dan Kompetensi.

Langkah strategis:
1. Bangun jalur karier jangka panjang dan sistem penghargaan berbasis loyalitas.
2. Perkuat kolaborasi antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja.
3. Modernisasi sistem jaminan sosial agar melindungi pekerja formal dan informal.
4. Integrasikan pelatihan vokasi dengan kebutuhan industri digital.

Daftar Pustaka

Abegglen, J. (1958). The Japanese Factory: Aspects of Its Social Organization. Free Press.

Aoki, M. (1988). Information, Incentives, and Bargaining in the Japanese Economy. Cambridge University Press.

Boyer, R. & Durand, J.P. (1997). After Fordism. Macmillan.

Budhwar, P. & Varma, A. (2010). 'Emerging HRM systems in India', Human Resource Management Review, 20(1), 20–32.

Carney, M. (2005). 'Corporate governance and competitive advantage in family–controlled firms', Entrepreneurship Theory and Practice, 29(3), 249–265.

Fields, K. (1994). Enterprise and the State in Korea and Taiwan. Cornell University Press.

Hofstede, G. (2011). Culture’s Consequences. Sage.

Jacoby, S.M. (1997). Modern Manors: Welfare Capitalism Since the New Deal. Princeton University Press.

Naughton, B. (2007). The Chinese Economy: Transitions and Growth. MIT Press.

Walder, A.G. (1986). Communist Neo-Traditionalism. University of California Press.

ILO (2021). World Employment and Social Outlook: The Role of Digital Labour Platforms. ILO.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Tambahan PJJ 6 - 12 April 2025

Catatan Tambahan PJJ 6 - 12 Juli 2025

Catatan Tambahan PJJ 11 – 17 Mei 2025