Wartawan dan Assessor

Pengantar
Suku Karo, yang mendiami wilayah dari pesisir hingga pegunungan di Sumatra Utara, merupakan salah satu komunitas etnis yang memiliki kekayaan budaya dan sejarah tinggi. Salah satu bukti peradaban itu adalah keberadaan aksara Karo. Namun, berbeda dengan tradisi aksara Batak Toba yang relatif lebih dikenal, warisan kesusastraan Karo lebih dominan berbentuk lisan. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa aksara Karo kurang diapresiasi bahkan hampir terlupakan oleh masyarakatnya sendiri. Padahal, menurut Simanjuntak (2006), keberadaan aksara tradisional merupakan indikator penting dari tingkat kebudayaan dan peradaban suatu masyarakat.
Dua Tokoh Penjaga Aksara
Di tengah kondisi memprihatinkan tersebut, muncul dua tokoh sepuh yang tetap konsisten dan penuh semangat dalam memperjuangkan eksistensi aksara Karo, yakni Barata Berahmana dan Mengket Barus.
1. Barata Berahmana
Barata Berahmana dikenal sebagai sosok yang gigih mendorong generasi muda dan tokoh masyarakat Karo untuk mengenal, mempelajari, dan mengapresiasi aksara Karo. Ia bukan hanya berbicara, tetapi juga menanggung biaya kegiatan seperti seminar, diskusi budaya, penulisan buku, hingga acara-acara kebudayaan. Dengan dedikasi yang berlandaskan kepedulian, ia menjadi salah satu sponsor paling konsisten bagi gerakan pelestarian aksara Karo.
2. Mengket Barus
Mengket Barus, seorang pensiunan pegawai perkebunan, mengabdikan diri pada pelestarian aksara Karo. Keahliannya meliputi kemampuan menulis, membaca, serta mengevaluasi penulisan aksara Karo. Ia juga menyusun metode pembelajaran berbasis digital, yang menjadikan aksara Karo lebih mudah dipelajari generasi muda. Perannya sebagai “ahli” aksara Karo membuatnya sangat layak diakui sebagai tokoh penting dalam upaya revitalisasi.
Karo Foundation dan Aksara di Ruang Publik
Selain dua tokoh tersebut, Karo Foundation turut berperan besar dalam gerakan revitalisasi. Pada Agustus 2025, lembaga ini mengalokasikan sekitar Rp120 juta untuk mengganti plang penunjuk jalan di Kabanjahe dan Berastagi dengan tambahan aksara Karo. Upaya ini tidak hanya simbolik, tetapi juga strategis, karena menghadirkan aksara Karo dalam ruang publik sehari-hari.
Pandangan Para Ahli tentang Pelestarian Aksara
Ahli antropologi Clifford Geertz (1973) menegaskan bahwa bahasa dan simbol-simbol budaya adalah jantung dari identitas masyarakat. Kehilangan aksara tradisional berarti kehilangan salah satu elemen fundamental identitas kolektif. Hal ini dipertegas oleh Daniels dan Bright (1996) yang menyebutkan bahwa setiap aksara tradisional adalah representasi unik dari cara berpikir, sejarah, dan worldview suatu masyarakat. Dalam konteks lokal, Perret (2010) dalam studinya tentang Sumatra Timur juga menekankan pentingnya rekonstruksi memori kolektif melalui peninggalan aksara dan manuskrip, agar generasi muda tidak tercerabut dari akar budayanya.
Makna Pemberian Ketokohan
Mengangkat Barata Berahmana dan Mengket Barus sebagai tokoh aksara Karo bukan sekadar penghargaan personal, melainkan simbol penghormatan masyarakat terhadap usaha pelestarian budaya. Hal ini juga berfungsi sebagai teladan bahwa peran individu dapat memberi dampak besar bagi kelangsungan sebuah peradaban. Menurut Hobsbawm dan Ranger (1983), simbolisasi tokoh dalam tradisi dan budaya sering menjadi motor penggerak untuk melestarikan 'invented tradition' yang memperkuat solidaritas dan identitas kolektif.
Harapan Masyarakat Karo
Masyarakat Karo berharap perjuangan kedua tokoh ini tidak berhenti pada satu generasi saja. Dengan hadirnya dukungan institusi seperti Karo Foundation, sekolah-sekolah, lembaga adat, hingga pemerintah daerah, aksara Karo diharapkan dapat kembali diajarkan secara sistematis di pendidikan formal maupun non-formal. Harapannya, generasi muda tidak hanya sekadar mengenal aksara ini, tetapi juga bangga menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari—baik dalam media cetak, digital, maupun simbol-simbol publik.
Kesimpulan dan Saran
Kisah Barata Berahmana dan Mengket Barus menunjukkan bahwa pelestarian aksara tradisional membutuhkan kombinasi antara komitmen individu dan dukungan kelembagaan. Revitalisasi aksara Karo harus dilakukan melalui:
1. Pengajaran sistematis di sekolah-sekolah di wilayah Karo.
2. Pemanfaatan media digital agar aksara Karo hadir di platform yang dekat dengan generasi muda.
3. Penerapan ruang publik seperti plang jalan, papan nama kantor, dan simbol resmi pemerintah.
4. Penghargaan terhadap tokoh budaya untuk memotivasi keterlibatan masyarakat luas.
Dengan demikian, aksara Karo bukan hanya artefak masa lalu, tetapi bagian aktif dari identitas masa kini dan masa depan Karo.
Referensi
• Daniels, P. T., & Bright, W. (1996). The World’s Writing Systems. Oxford University Press.
• Fishman, J. A. (1991). Reversing Language Shift: Theoretical and Empirical Foundations of Assistance to Threatened Languages. Multilingual Matters.
• Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. Basic Books.
• Hobsbawm, E., & Ranger, T. (1983). The Invention of Tradition. Cambridge University Press.
• Perret, D. (2010). Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut. KPG.
• Simanjuntak, T. (2006). Arkeologi dan Sejarah Budaya Nusantara. Yayasan Obor.
Komentar