Featured Post

Catatan Khotbah Minggu 12 Mei 2024

Gambar
 Minggu Eksaudi : Begiken Min O Jahwe Warna Mbentar Invocatio          :  “(Pilipi 3 : 16)” Ogen                     :  Perbahanen Rasul Rasul 1 : 1 - 5  (Tunggal )     Khotbah            :  Masmur 31 : 1 – 5      (Responsoria )     Thema                 :  Pemindon Lako Iampang-ampangi Tuhan              Khotbah : Masmur 31 : 1 – 5     Masmur Daud. Ku Kam aku cicio o TUHAN ula pelepas aku kemalun. Kam kap Dibata si bujur, mindo aku, maka IkeliniNdu aku. Begiken min pertotonku pedas min Kam reh mulahi aku. Jadi min Kam deleng batu inganku cicio, kubungku si nteguh inganku terkawal. Kam kap ingan cebuni dingen bentengku, tegu-tegu dingen babai aku erkiteken GelarNdu. Tegu-tegu aku maka ula aku kena siding itogeng kalak man bangku. Ampang-ampangi aku maka ula aku kena cilaka. Pembukaan   Syalomm mejuah juah senina ras turang, Kidekah nggeluh manusia ibas doni enda, lit lalap perbeben.  Lit nge lalap kiniseran, kiniseraan si mengancam keselamatan ta.  Tapi lit ka nge jalan keluar,

5 TAHUN ? MASIH BERTAHAN MENJADI DETASER ?

Refleksi 5 Tahun Pelayanan ARON GINTING MANIK Sebagai Detaser di Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)



Mungkin, di antara kita masih asing dengan istilah “Detaser”. Tahukah kita bahwa ternyata tenaga Detaser di GBKP pada awalnya difungsikan untuk menjawab kebutuhan pelayanan Pekabaran Injil dan pendampingan jemaat-jemaat yang membutuhkan. Dahulu Detaser adalah para Pertua, Diaken bahkan jemaat yang dianggap memiliki kualifikasi (profesional) untuk melakukan tugas tersebut dan mereka diberi Surat Keputusan penempatan sebagai Detaser pada kurun waktu yang ditetapkan oleh Moderamen GBKP. Dalam sejarah GBKP, pernah pula disituasi tertentu, tenaga Guru Agama / Guru Evangelis bahkan Pendeta diutus sebagai tenaga Detaser.

Sampai akhirnya, sejak Sidang Sinode GBKP 11-18 April 2010 dikeluarkan keputusan bahwa seluruh anggota jemaat GBKP berhak mendapatkan kesempatan untuk menjalani proses pendidikan teologi di Kampus yang direkomendasikan oleh GBKP. Keputusan ini berdampak pada bertambahnya jumlah yang berminat untuk menjadi Pendeta di GBKP. Tentu seperti banyak yang jemaat lihat, betapa besar kebutuhan GBKP untuk menerima pendeta. Tetapi semua terbatas pada masalah keuangan Gereja. Sehingga di Sidang Sinode di tahun 2016, bidang Marturia memutuskan agar seluruh sarjana teologi yang merupakan jemaat di GBKP menjadi tenaga Detaser.

Sering kali, keluarga ataupun jemaat mempertanyakan jenjang dari status Detaser seperti; “Kapan selesai sekolahnya?”; “Kapan menjadi Pendeta?” dsb. Sebab, seorang sarjana teologi yang berkeinginan menjadi pendeta, harus menyelesaikan persyaratan dan ketentuan dari Sidang Sinode GBKP untuk menjadi vikaris. Lalu kemudian ditahbiskan menjadi seorang pendeta.

Tentu, tidak jarang di antara Detaser secara sadar atau tidak dianggap dan beranggapan sebagai orang-orang gagal. Termasuk saya, sebagai tenaga Detaser yang kini melayani di GBKP Rg Buluh Awar.

Tahun kedua dan ketiga saat saya dinyatakan tidak lulus persyaratan dan ketentuan dari GBKP, tentu anggapan pada diri sebagai orang-orang gagal merasuki diri saya. Bahkan beban itu terasa semakin berat ketika saya sebagai mahasiswa yang lulusan tercepat dan mendapat piagam mahasiswa terbaik dari Universitas Kristen Duta Wacana, dikatakan tidak lulus.

Hahaha. Anda pasti berpikir, betapa angkuhnya saya masa itu.

Kepuasan diri atas prestasi akademik, seketika hancur dan tidak lagi sebagai kebanggaan tapi menjadi beban terberat saya saat mendapati kenyataan yang tidak pernah saya harapkan. Bahkan, pada masa itu pikiran untuk bunuh diri pernah terlintas dalam benak saya. Karena anggapan gagal tersebut dan melihat perjuangan orangtua yang telah menjualkan tanah untuk saya bisa kuliah.

Saat itu saya melayani di Bakal Jemaat (BAJEM / Perpulungen) GBKP Banjarmasin (kini telah menjadi Majelis / Runggun Banjarmasin), jemaat tidak mengetahui beban berat tersebut. Mereka hanya mengetahui, bahwa saya sering sulit tidur. Tentu, tidak etis rasanya ketika seorang pelayan mengungkapkan beban pikiran mereka kepada jemaat. Karena itu, pengalaman melayani di Bakal Jemaat GBKP Banjarmasin sangat penuh dengan tantangan yang muncul dari dalam diri sendiri.

Tetapi saya tidak pernah menyerah, hingga saya menyelesaikan tugas sesuai waktu yang telah ditentukan oleh Moderamen dengan pencapaian poin luar biasa mengajukan BAJEM GBKP Banjarmasin menjadi kemajelisan / runggun di GBKP. Dan terpujilah Tuhan, tidak lama setelah proses itu jemaat tetap berjuang dan disahkan menjadi GBKP Rg Banjarmasin.

Beda tempat, beda cara pelayanan dan bentuk pelayanan. Kira-kira demikianlah yang sering kali orang lain ajarkan kepada saya. Bila di GBKP Rg Bogor dan GBKP Rg Bogor Barat saya lebih sering melakukan pelayanan PI di Terminal dan pinggiran kota Bogor. Maka di GBKP Daulu selain daripada pelayanan rutinitas, saya juga ikut melihat dan terlibat pada kepedulian lingkungan, ekonomi kreatif serta kegiatan-kegiatan literasi yang tidak hanya di Desa Daulu. Tetapi juga di Desa Raya, Desa Tanjung Barus dan Desa Tongkeh (TAHURA). Sampai di GBKP Rg Buluh Awar selain daripada pelayanan rutinitas, saya juga ikut aktif di kegiatan Wisata Rohani Desa Buluh Awar yang telah menjadi Desa Wisata Buluh Awar. Hal-hal tersebut saya lakukan, bukan karena saya tidak fokus. Tapi saya menyadari, bahwa ternyata ada banyak waktu luang yang dapat digunakan seorang Detaser, untuk dia bisa mengembangkan diri secara softskill ataupun hardskill.

Sampai akhirnya, kegiatan-kegiatan tersebut sekarang menjadi tantangan baru. Beberapa orang yang mengenal saya begitu mendalam juga bertanya; “Mengapa kamu, masih bertahan menjadi seorang Detaser?”

Kira-kira apa yang Anda harapkan, akan jawaban yang muncul dari saya atas pertanyaan tersebut? Hahahaha... Saya mengerti apa yang ada di benak Anda.

Banyak orang berpikir dan menjawab dengan mudah pertanyaan itu, dengan mengatakan bahwa “Saya bisa saja dengan mudah berpindah dan menjadi pendeta lain, tapi saya tidak melakukannya.” Hal ini tidak berlaku untuk saya, sebab ketika awal lulus teologi mungkin kesempatan itu lebih besar. Tetapi ketika 5 tahun melayani sebagai detaser di GBKP, hal tersebut tidak lagi saya pernah pertimbangkan.

Bertahan bukan pilihan saya, karena “bertahan” merupakan kata yang sering kali dianggap sebagai keterpaksaan untuk menetap atau memaksakan diri untuk menetap. Nyatanya saya tidak merasa terpaksa dan memaksakan diri untuk melakukan ini.

Sejatinya, kenyataan menjadi pelajaran terbaik dari Tuhan atas hidup saya. Secara khusus mengenai keangkuhan akademis dan keangkuhan rohani yang justru memberikan beban besar kepada saya. Kenyataan memproses diri saya pada titik untuk memilih dan menjadikan diri sebagai pelayan Tuhan dan memanifestasikan diri sebagai Pendeta sekalipun belum menjadi pendeta secara sah yang diakui oleh Gereja.

Hal ini bermula ketika saya melayani beberapa orang di luar Gereja. Ada tiga pengalaman menarik yang mengubah hidup saya sampai pada tahap itu yakni; Pertama pelayanan di kedai Kopi. Beberapa kali saya bertemu dan melakukan konseling pastoral di kedai Kopi yang akhirnya mereka dengan mudahnya memanggil saya pendeta. Walaupun saya terus menjelaskannya, tapi mereka tetap bersikukuh menyebutnya; Kedua pelayanan di RBM (Rehabilitasi Bersumber daya Masyarakat) yang merupakan komunitas saudara-saudara kita yang disabilitas. Saya memberikan diri untuk melakukan kegiatan literasi pada mereka yang akhirnya mereka dengan mudahnya memanggil saya pendeta. Walaupun saya terus menjelaskannya, tapi mereka tetap bersikukuh menyebutnya.

Pengalaman itu mengajarkan saya bukan untuk terus “bertahan”, tapi terus melanjutkan langkah sebagai seorang yang melayani Tuhan. Apakah, ada kemungkinan untuk saya tidak lagi menjadi seorang detaser? Apakah, ada kemungkinan untuk saya tidak lagi melamar sebagai seorang pendeta di GBKP? Jelasnya, segala kemungkinan itu ada terlebih Moderamen GBKP juga memiliki syarat dan ketentuan untuk lamaran menjadi Pendeta.

Bahkan sampai saat ini saya melangkah dengan bayang-bayangan kekhawatiran dan pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi saya menikmatinya, sebab saya melangkah dalam iman dan pengharapan saya kepada Tuhan. Mata tertuju pada salib dan inilah keputusan terbesar dalam hidup. Bahwa saya tetap melayani Tuhan, dengan setiap kemungkinan dan rancangan yang telah Tuhan tentukan dalam kehidupan saya.

Perekonomian, sering jadi persoalan terbesar ketika saya mengambil keputusan ini. Tentu, ini bukan soal kekhawatiran akan hidup. Tetapi tentang status dan karir yang sering jadi standarisasi di kehidupan banyak orang dan bahkan sering membebani keluarga saya. Apakah saya menyerah pada hal tersebut? Jelasnya, tidak! Bagaimanapun caranya, saya berjuang untuk bertanggung jawab pada diri sendiri dan keluarga.

Itulah iman dan pengharapan yang menjadi modal untuk saya terus melayani Tuhan. Sebab saya selalu percaya, Tuhan telah melakukan segala sesuatunya dengan semestinya. Apa yang Tuhan telah lakukan dan orang-orang yang telah Tuhan pilih untuk mendukung pelayanan saya, sangat luar biasa.

Inilah mengapa lagu “I have Decided to Follow Jesus” begitu mengesankan bagi saya. Sebab demikianlah keputusan ini telah saya ambil sejak awal masuk SMA. Itu bukan cita-cita, tapi itu keputusan yang saya telah buat. Dan seperti lirik akhir di setiap baitnya “No Turning Back”. Saya tidak memiliki jalan untuk kembali, karena keputusan saya “hanya” dan “untuk” mengikutiNya.


Komentar

Analgin Ginting mengatakan…
Bagus sekali Aron. Ini sebuah tukisan yang sangat inspiratif karena sumber nya adalah hati dan komitmen tangguh untuk setia Melayani Tuhan. Bujur melala Bang "pendeta".




Postingan populer dari blog ini

Indah Pada Waktunya / Pengkhotbah 3:11-15 ( Pekan Penatalayanan Hari Keempat)

Catatan Tambahan PJJ 1 – 7 Oktober 2023

Catatan Tambahan PJJ 27 Agustus – 2 September 2023