Catatan Tambahan PJJ 16 - 22 Februari 2025

Refleksi 5 Tahun Pelayanan ARON GINTING MANIK Sebagai Detaser di Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)
Mungkin, di antara kita
masih asing dengan istilah “Detaser”. Tahukah kita bahwa ternyata tenaga
Detaser di GBKP pada awalnya difungsikan untuk menjawab kebutuhan pelayanan
Pekabaran Injil dan pendampingan jemaat-jemaat yang membutuhkan. Dahulu Detaser
adalah para Pertua, Diaken bahkan jemaat yang dianggap memiliki
kualifikasi (profesional) untuk melakukan tugas tersebut dan mereka diberi
Surat Keputusan penempatan sebagai Detaser pada kurun waktu yang ditetapkan
oleh Moderamen GBKP. Dalam sejarah GBKP, pernah pula disituasi tertentu, tenaga
Guru Agama / Guru Evangelis bahkan Pendeta diutus sebagai tenaga Detaser.
Sampai akhirnya, sejak
Sidang Sinode GBKP 11-18 April 2010 dikeluarkan keputusan bahwa seluruh anggota
jemaat GBKP berhak mendapatkan kesempatan untuk menjalani proses pendidikan
teologi di Kampus yang direkomendasikan oleh GBKP. Keputusan ini berdampak pada
bertambahnya jumlah yang berminat untuk menjadi Pendeta di GBKP. Tentu seperti
banyak yang jemaat lihat, betapa besar kebutuhan GBKP untuk menerima pendeta.
Tetapi semua terbatas pada masalah keuangan Gereja. Sehingga di Sidang Sinode
di tahun 2016, bidang Marturia memutuskan agar seluruh sarjana teologi yang
merupakan jemaat di GBKP menjadi tenaga Detaser.
Sering kali, keluarga
ataupun jemaat mempertanyakan jenjang dari status Detaser seperti; “Kapan
selesai sekolahnya?”; “Kapan menjadi Pendeta?” dsb. Sebab, seorang sarjana
teologi yang berkeinginan menjadi pendeta, harus menyelesaikan persyaratan dan ketentuan
dari Sidang Sinode GBKP untuk menjadi vikaris. Lalu kemudian ditahbiskan
menjadi seorang pendeta.
Tentu, tidak jarang di
antara Detaser secara sadar atau tidak dianggap dan beranggapan sebagai
orang-orang gagal. Termasuk saya, sebagai tenaga Detaser yang kini melayani di
GBKP Rg Buluh Awar.
Tahun kedua dan ketiga
saat saya dinyatakan tidak lulus persyaratan dan ketentuan dari GBKP, tentu
anggapan pada diri sebagai orang-orang gagal merasuki diri saya. Bahkan beban
itu terasa semakin berat ketika saya sebagai mahasiswa yang lulusan tercepat
dan mendapat piagam mahasiswa terbaik dari Universitas Kristen Duta Wacana,
dikatakan tidak lulus.
Hahaha. Anda pasti berpikir,
betapa angkuhnya saya masa itu.
Kepuasan diri atas
prestasi akademik, seketika hancur dan tidak lagi sebagai kebanggaan tapi
menjadi beban terberat saya saat mendapati kenyataan yang tidak pernah saya
harapkan. Bahkan, pada masa itu pikiran untuk bunuh diri pernah terlintas dalam
benak saya. Karena anggapan gagal tersebut dan melihat perjuangan orangtua yang
telah menjualkan tanah untuk saya bisa kuliah.
Saat itu saya melayani di
Bakal Jemaat (BAJEM / Perpulungen) GBKP Banjarmasin (kini telah menjadi Majelis
/ Runggun Banjarmasin), jemaat tidak mengetahui beban berat tersebut. Mereka
hanya mengetahui, bahwa saya sering sulit tidur. Tentu, tidak etis rasanya
ketika seorang pelayan mengungkapkan beban pikiran mereka kepada jemaat. Karena
itu, pengalaman melayani di Bakal Jemaat GBKP Banjarmasin sangat penuh dengan
tantangan yang muncul dari dalam diri sendiri.
Tetapi saya tidak
pernah menyerah, hingga saya menyelesaikan tugas sesuai waktu yang telah ditentukan
oleh Moderamen dengan pencapaian poin luar biasa mengajukan BAJEM GBKP
Banjarmasin menjadi kemajelisan / runggun di GBKP. Dan terpujilah Tuhan, tidak
lama setelah proses itu jemaat tetap berjuang dan disahkan menjadi GBKP Rg
Banjarmasin.
Beda tempat, beda cara
pelayanan dan bentuk pelayanan. Kira-kira demikianlah yang sering kali orang
lain ajarkan kepada saya. Bila di GBKP Rg Bogor dan GBKP Rg Bogor Barat saya
lebih sering melakukan pelayanan PI di Terminal dan pinggiran kota Bogor. Maka
di GBKP Daulu selain daripada pelayanan rutinitas, saya juga ikut melihat dan
terlibat pada kepedulian lingkungan, ekonomi kreatif serta kegiatan-kegiatan
literasi yang tidak hanya di Desa Daulu. Tetapi juga di Desa Raya, Desa Tanjung
Barus dan Desa Tongkeh (TAHURA). Sampai di GBKP Rg Buluh Awar selain daripada
pelayanan rutinitas, saya juga ikut aktif di kegiatan Wisata Rohani Desa Buluh
Awar yang telah menjadi Desa Wisata Buluh Awar. Hal-hal tersebut saya lakukan,
bukan karena saya tidak fokus. Tapi saya menyadari, bahwa ternyata ada banyak
waktu luang yang dapat digunakan seorang Detaser, untuk dia bisa mengembangkan
diri secara softskill ataupun hardskill.
Sampai akhirnya,
kegiatan-kegiatan tersebut sekarang menjadi tantangan baru. Beberapa orang yang
mengenal saya begitu mendalam juga bertanya; “Mengapa kamu, masih bertahan menjadi
seorang Detaser?”
Kira-kira apa yang Anda
harapkan, akan jawaban yang muncul dari saya atas pertanyaan tersebut?
Hahahaha... Saya mengerti apa yang ada di benak Anda.
Banyak orang berpikir dan
menjawab dengan mudah pertanyaan itu, dengan mengatakan bahwa “Saya bisa saja
dengan mudah berpindah dan menjadi pendeta lain, tapi saya tidak melakukannya.”
Hal ini tidak berlaku untuk saya, sebab ketika awal lulus teologi mungkin
kesempatan itu lebih besar. Tetapi ketika 5 tahun melayani sebagai detaser di
GBKP, hal tersebut tidak lagi saya pernah pertimbangkan.
Bertahan bukan pilihan
saya, karena “bertahan” merupakan kata yang sering kali dianggap sebagai
keterpaksaan untuk menetap atau memaksakan diri untuk menetap. Nyatanya saya
tidak merasa terpaksa dan memaksakan diri untuk melakukan ini.
Sejatinya, kenyataan
menjadi pelajaran terbaik dari Tuhan atas hidup saya. Secara khusus mengenai
keangkuhan akademis dan keangkuhan rohani yang justru memberikan beban besar
kepada saya. Kenyataan memproses diri saya pada titik untuk memilih dan
menjadikan diri sebagai pelayan Tuhan dan memanifestasikan diri sebagai Pendeta
sekalipun belum menjadi pendeta secara sah yang diakui oleh Gereja.
Hal ini bermula ketika
saya melayani beberapa orang di luar Gereja. Ada tiga pengalaman menarik yang
mengubah hidup saya sampai pada tahap itu yakni; Pertama pelayanan di kedai
Kopi. Beberapa kali saya bertemu dan melakukan konseling pastoral di kedai Kopi
yang akhirnya mereka dengan mudahnya memanggil saya pendeta. Walaupun saya
terus menjelaskannya, tapi mereka tetap bersikukuh menyebutnya; Kedua pelayanan
di RBM (Rehabilitasi Bersumber daya Masyarakat) yang merupakan komunitas saudara-saudara
kita yang disabilitas. Saya memberikan diri untuk melakukan kegiatan literasi
pada mereka yang akhirnya mereka dengan mudahnya memanggil saya pendeta.
Walaupun saya terus menjelaskannya, tapi mereka tetap bersikukuh menyebutnya.
Pengalaman itu mengajarkan
saya bukan untuk terus “bertahan”, tapi terus melanjutkan langkah sebagai seorang
yang melayani Tuhan. Apakah, ada kemungkinan untuk saya tidak lagi menjadi
seorang detaser? Apakah, ada kemungkinan untuk saya tidak lagi melamar sebagai
seorang pendeta di GBKP? Jelasnya, segala kemungkinan itu ada terlebih Moderamen
GBKP juga memiliki syarat dan ketentuan untuk lamaran menjadi Pendeta.
Bahkan sampai saat ini
saya melangkah dengan bayang-bayangan kekhawatiran dan pertanyaan-pertanyaan
itu. Tapi saya menikmatinya, sebab saya melangkah dalam iman dan pengharapan
saya kepada Tuhan. Mata tertuju pada salib dan inilah keputusan terbesar dalam
hidup. Bahwa saya tetap melayani Tuhan, dengan setiap kemungkinan dan
rancangan yang telah Tuhan tentukan dalam kehidupan saya.
Perekonomian, sering jadi
persoalan terbesar ketika saya mengambil keputusan ini. Tentu, ini bukan soal
kekhawatiran akan hidup. Tetapi tentang status dan karir yang sering jadi standarisasi
di kehidupan banyak orang dan bahkan sering membebani keluarga saya. Apakah
saya menyerah pada hal tersebut? Jelasnya, tidak! Bagaimanapun caranya, saya
berjuang untuk bertanggung jawab pada diri sendiri dan keluarga.
Itulah iman dan
pengharapan yang menjadi modal untuk saya terus melayani Tuhan. Sebab saya
selalu percaya, Tuhan telah melakukan segala sesuatunya dengan semestinya.
Apa yang Tuhan telah lakukan dan orang-orang yang telah Tuhan pilih untuk
mendukung pelayanan saya, sangat luar biasa.
Inilah mengapa lagu “I
have Decided to Follow Jesus” begitu mengesankan bagi saya. Sebab demikianlah
keputusan ini telah saya ambil sejak awal masuk SMA. Itu bukan cita-cita, tapi
itu keputusan yang saya telah buat. Dan seperti lirik akhir di setiap baitnya “No
Turning Back”. Saya tidak memiliki jalan untuk kembali, karena keputusan saya “hanya”
dan “untuk” mengikutiNya.
Komentar