Sebuah kebenaran baru terkuak dalam kasus upaya
penangkapan Penyidik KPK Novel Baswedan. Sebagaimana yang sangat ramai
diberitakan bahwa alasan Polda Bengkulu mengepung kantor KPK dengan 2
kompi pasukan adalah menangkap Kompol Novel, karena terlibat kejahatan
tahun 2004. Kejahatan yang sudah berusia selama delapan tahun, akhirnya
dibuka kembali dan dijadikan alasan untuk menangkap seorang perwira
polisi yang pada tahun 2004 menanggung jawabi perbuatan anak buahnya
yang salah tembak.
Akal sehat kita langsung bertanya, “lho selama ini megapa didiamkan?”.
Mengapa sekarang tiba tiba dibuka? Mengapa kejahatan yang dilakukan
oleh anak buahnya itu, dituduhkan kepadanya? Ini adalah beberapa
pertanyaan yang sangat mengganggu rasionalitas berfikir kita. Namun
yang saya ingin soroti bukan hal ini, melainkan disimpannya kejahatan.
Kita ikuti cara berfikir Polda Bengkulu. Kita asumsikan Novel
bersalah. Apakah selama ini tidak ada yang mengetahui ‘kesalahan ini”.
Apakah tidak ada seorang pun di institusi Polri yang mengetahui kasus
Novel ini? Tidak mungkin tidak ada yang tahu. Apakah tidak ada yang
tahu bahwa Novel mempunyai kesalahan saat dia dipilih, dipersiapkan dan
dikirim ke KPK sebagai penyidik dari Lembaga Kepolisian Republik
Indonesia? Tidak mungkin tidak ada yang tidak tahu. Ada yang tahu
namun diam.
Komisaris Polisi Novel Baswedan
Berarti selama delapan tahun kesalahan itu didiamkan. Dan mengapa
sekarang dibukakan, karena sekarang ada keuntungan yang lebih besar
dapat diperoleh dengan membuka kesalahan itu. Yaitu sebagai dasar untuk
menangkap dirinya sekaligus memberhentikannya dari tugas penyidikan di
KPK, sebab ternyata penugasan Novel sebagai penyidik di KPK
mengakibatkan Polri mendapat kerugian yang amat besar. Jenderal
berbintang dua menjadi tersangka korupsi, dan bisa terkait ke jenjang
yang lebih tinggi. Kerugian yang lain adalah citra Polisi yang sangat
buruk sebagai lembaga pemberantas Korupsi.
Kalau benar begitu, kesalahan bukan lagi dalam pertimbangan hukum atau
moral atau agama. Kesalahan prilaku di Indonesia berada dalam
pertimbangan untung rugi. Untung atau rugi secara material, juga secara
non material. Siapa yang salah atau benar bukanlah ditentukan oleh
perbuatan melanggar hukum atau tidak, melanggar etika atau tidak,
melanggar ajaran agama atau tidak. Kalau asumsi ini benar, sungguh
alangkah banyaknya kesalahan yang masih terpendam di Bumi Indonesia ini.
Wah, ini tentu fakta yang sangat menakutkan.
Ada ungkapan dari hasil percakapan Angelina dengan Rosa yang mengatakan
“saya bisa buat Tsunami di Senayan (DPR)”. Ada kesalahan yang diketahui
Angelina yang belum dibukakan. Kalu begitu otak kita pun bertanya,
berapa lagi kesalahan yang secara faktual dilakukan oleh pejabat pejabat
tinggi negeri ini yang belum dibukakan karena pertimbangan untung rugi
tadi. Tarutama kejahatan berupa korupsi, penyuapan, penggelapan.
Ada kesalahan dibalik peristiwa Mei 1998 yang belum dibukakan, juga
karena pertimbangan untung rugi. Ada kesalahan dibalik peristiwa
perebutan tanah di Mesuji setahun yang lalu yang belum dibukakan karena
pertimbangan untung rugi. Ada kesalahan dibalik pembantaian kepada
masyarakat yang dituduhkan PKI, 38 tahun yang lalu yang belum dibukakan
karena pertimbangan untung rugi. Dan masih banyak lagi dan masih
banyak lagi.
Semua kesalahan adalah pertimbangan untung rugi. Kalau ini yang terus
dipertahankan apa yang terjadi selanjutnya? Dan sampai kapankah situasi
seperti ini dibiarkan? Presiden Kim Dae Jung dari Korea Selatan
ketika menjabat terpaksa menghadapi situasi yang sangat sulit dalam
karier politik dan keluarganya. Anaknya terlibat dan tersangka kasus
korupsi. Kasus itu dia teruskan untuk diproses di pengadilan.
Pengadilan memutuskan anak kandungnya bersalah. Dan Kim berkata, hukum
dia sesuai dengan hukum di Korea Selatan. Dia tidak memperlakukan kasus
hukum (kesalahan) anaknya sebagai pertimbangan untung dan rugi.
Di Indonesia kita seolah olah semua sepakat bahwa kesalahan perlu
disimpan dan disembunyikan sampai situasi baru muncul. Akan dibuka
kalau dengan demikian lebih banyak untungnya. Tanah Air Indonesia
terbukti menyimpan kandungan Gas Alam dan Batubara terbesar di dunia,
demikian juga pejabat dan lembaga lembaga kebangsaan kita ternyata
menimbun kesalahan yang sangat besar.
Komentar