Semangkuk Miso (Mie Sop) itu rasanya gurih sekali.
Tapi bukan karena rasanya itu alasan perantau dari Sumatra Utara setiap
pagi dan petang berbondong bondong datang ke rumah kecil yang dipermak
jadi warung, di salah satu sudut perumahan Mutiara Gading Timur, Bekasi
Timur. Alasan yang sebenarnya adalah merasakan makanan khas masa
kecil/remaja ketika masih di kampung halaman.
Miso tidak terlalu dikenal di Pulau Jawa, khususnya Jabodetabek.
Disini masyarakat lebih mengenal Mie Baso atau Mie Ayam. Miso memang
setahuku makanan kecil di kala senggang, di Medan dan seluruh Sumatra
Utara. Biasanya dibuat dari campuran mie putih dan kuning, ditambah
daging ayam goreng yang sudah dicabik kecil kecil. Lalu ditambah kuah
panas.
Semangkuk Miso yang siap untuk disantap. Sumber Foto Dokumen Pribadi
Kuahnya dibuat dari sop kaldu sapi, bercampur dengan daun seledri. Menu
tambahannya biasanya ada perkedel. Yang disuguhkan di Mutiara Gading
Timur perkedel diganti dengan telur ayam rebus, bulat utuh.
Saat saya kecil dulu di Kabanjahe, saya paling suka makan miso Bang
Kumis yang dijual di samping bioskop Ria Kabanjahe. Dan kebiasaan saya
dulu kalau makan miso, kuahnya dihabisi dulu, sedangkan mie dan semua
menu yang lain dibiarkan. Setelah itu minta lagi kepada penjualnya
untuk tambah kuah. Saya biasanya berani meminta tambah kuah (gratis)
hanya sekali, namun ada teman saya kalau meminta tambah kuah bisa sampai
3 kali atau 4 kali. Hahahaha.
Penjual Miso biasanya perantau dari Jawa yang bermukim di Sumatra
Utara. Demikian juga yang di Mutiara Gading Timur penjualnya adalah
Mbak Tuty, ibu muda yang sehari hari berjualan dengan memakai kerudung
adalah seorang wanita keturunan Jawa yang menikah dengan laki laki dari
suku Mandailing.
Rindu suasana kampung halaman, itulah thema sebenarnya kedatang tamu
tamu berkunjung ke Warung Mbak Tuty. Lalu disuguhi lah kita makanan
makanan kecil yang semuanya khas Sumatra Utara. Ada sate kerang, ada
lontong sayur, ada kue lupis dengan lapisan gula merah yang amat gurih.
Tentu saja ada makanan berupa goreng gorengan yang setiap pagi dan sore
tersedia. Sekali sekali ada juga minuman Cendol Medan, yang membuai
keindahan masa kecil.
Saat tamu tamu berdatangan ke warung ini tidak terasa bahwa kebanyakan
mereka berbeda sub etnis dan agama. Ada Batak Tapanuli, Madailing,
Simalungun, Karo, Pakpak, Jawa yang berasal dari SUMUT, Padang, dan juga
Aceh. Tidak pernah mereka mempersoalkan suku dan agama, dan perbedaan
yang lain. Sebab yang utama adalah semangkuk Miso, atau sepiring
Lontong. Lalu semuanya bersenda gurau memperbincangkan apa saja. Silih
berganti tamu tamu datang dengan sepeda motor atau mobilnya masing
masing. Bahkan ada kesan, bahwa sang tamu sengaja datang ke warung
Miso Mbak Tuty untuk menegaskan bahw dia juga berasal atau pernah di
Sumatra Utara.
Saya merenung setelah kemarin makan Miso disini, betapa persatuan dan
kesatuan Bangsa sebenarnya bisa dibentuk dari hanya semangkuk Miso.
Lalu mengapaka saudara kita masih saling bunuh, seperti kejaidan baru
baru ini di Sampang Madura?
Komentar