Catatan Tambahan PJJ 16 - 22 Februari 2025

MEMPERTIMBANGKAN KEBERADAAN MILENIAL
DALAM PERENCANAAN SDM:
STUDI KASUS PERUSAHAAN PERKEBUNAN SAWIT INDONESIA
Dr. Nopriadi Saputra, ST, MM
Profil Generasi Milenial di Indonesia
Berdasarkan informasi dari Kemen PPPA (2018), milenial Indonesia adalah penduduk Indonesia yang dilahirkan antara tahun 1980 – 2000, sehingga pada tahun 2020 mereka sudah berusia 20 tahun sampai 40 tahun. Sebuah rentang usia yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Mengacu pada Susenas 2017, jumlah generasi milenial mencapai sekitar 88 juta jiwa atau 33,75 %. Hal itu berarti proporsi milenial lebih besar dari pada proporsi generasi lainnya, apakah Gen-X (25,74 %), Baby Boomer (11,27%) maupun Gen-Z (29,23 %).
Bila ditelaah menurut daerah
domisilinya, milenial lebih banyak menetap di perkotaan daripada di daerah perdesaan. Ada sekitar 55 persen
milenial yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini mengikuti pergeseran
demografik penduduk Indonesia pada umumnya yang berubah dari masyarakat rural
menuju masyarakat urban. Ada pun ciri khas dari milenial urban adalah percaya
diri tinggi (confidence), berani tampil beda (creative),
dan senantias terhubung dengan jejaring sosial (connected). Ada pun
komposisi gender antara milenial pria dan wanita cenderung berimbang (Kemen PPPA, 2018).
Milenial Indonesia paling banyak
berada di sepuluh proponsi, yaitu: Jawa Barat (16,5 juta jiwa), Jawa Timur (12,3 juta), Jawa Tengah (10,6 juta jiwa),
Sumatra Utara (4,8 juta jiwa), Banten (4,6 juta jiwa) , DKI Jaya (3,8 juta
jiwa), Sulawesi Selatan (2,9 juta jiwa), Sumatra Selatan (2,8 juta jiwa),
Lampung (2,7 juta jiwa) dan Riau (2,4 juta jiwa). Sementara di 24 propinsi
lainya populasi milenial kurang dari dua juta jiwa (Kemen PPPA, 2018).
Bagi milenial Indonesia, pernikahan
merupakan konsep yang krusial. Mereka lebih selektif dalam memilih pasangan
hidup dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Mereka lebih dan mementingkan
kemapanan finansial sebelum memutuskan untuk menikah. MIlenial Indonesia yang
telah menikah tenyata sebagian besar adalah perempuan (63,97%) dan laki-laki
sebagian besar masih melajang (53,60%). Ada pun rata-rata umur perkawinan
pertama milenial Indonesia wanita lebih muda yaitu pada usia 20-21 tahun,
sedangkan pada pria pada usia 23-24 tahun (Kemen PPPA, 2018).
Berkaitan dengan tingkat pendidikan
dan kesehatan; milenial Indonesia memiliki rata-rata lama sekolah (10,04 tahun),
angka melek huruf (99,39%), angka kesakitan (8,69%) dan rata-rata lama sakit
dalam sebulan (4,74 hari) yang lebih baik dari pada Gen-X maupun Baby
Boomer dan Veteran. Ada pun Gen-X memiliki rata-rata lama
sekolah hanya 8,07 tahun; angka melek huruf 96,44%; angka kesakita 14,21%; dan
rata-rata lama sakit sebulan 5,96 hari. Begitu pula generasi Baby Boomer dan Veteran
Indonesia mencatatkan indikator rata-rata lama sekolah (4,95 tahun), angka
melek huruf (80,81%), angka kesakitan (25,455%) dan rata-rata lama sakit dalam
sebulan (8,30 hari) yang lebih rendah daripada Gen-X apalagi Milenial. Hal ini mengindikasikan
bahwa dalam hal pendidikan dan kesehatan, milenial Indonesia adalah paling baik
kondisinya saat ini (Kemen PPPA, 2018).
Terkait dengan penggunaan teknologi,
milenial Indonesia yang bergender pria lebih intensif menggunakan teknologi
dalam kehidupan sehari-hari daripada milenial Indonesia yang bergender wanita.
Hal ini tergambarkan oleh persentasi penggunaan telepon seluler, komputer dan
akses internet. Milenial Indonsia bergender pria menggunakan telepon seluler 93,39%,
menggunakan komputer 30.21%, dan mengakses internet 59,32%. Sementara itu, bila
ditelusuri berdasarkan propinsi, maka milenial Indonesia yang mengakses
internet terbanyak berada di DKI Jakarta (85,49%) dan Kepulauan Riau (80,73%);
sedangkan yang terendah di Papua (27,64%) dan Maluku Utara (33,61%). Sebagian
besar milenial Indonesia memilih rumah sendiri (92,07%), bukan rumah sendiri
(31,16%), tempat kerja (30,42%), dan tempat umum gratis (23,59%) sebagai lokasi
mengakses internet. Ada pun keperluan dari mengakses internet, milenial
Indonesia menggunakan untuk jejaring sosial (83,32%), mencari informasi
(68,01%) dan hiburan (46,81%).
Persentasi angkatan kerja terhadap
penduduk usia kerja Indonesia atau TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) dari
milenial Indonesia sebesar 67,24%. Hal menunjukkan bahwa dua dari tiga milenial
Indonesia merupakan angkatan kerja.
Sektor pertanian, perdagangan, dan industri pengolahan merupakan tiga
lapangan kerja yang paling banyak menyerap angkatan kerja Indonesia. Baby Boom dan Veteran Indonesia paling
banyak bekerja pada sektor pertanian (52,17%), kemudian diikuti Gen-X
(30,80 %), dan barulah milenial (21,95 %). Milenial Indonesia paling banyak
bekerja di sektor perdagangan dan industri, daripada Gen-X, Baby Boom
maupun Veteran (Kemen PPPA, 2018).
Angkatan kerja Indonesia yang bekerja
di sektor petanian, kehutanan, dan perikanan mengalami penurunan secara
generasional. Seperti halnya tertera pada Gambar 2, generasi Baby Boomer
dan Veteran sekitar 43,57% yang bekerja pada sektor petanian, kehutanan
dan perikanam. Namun porsinya menurun drastis menjadi hanya 23,61% pada
generasi selanjutnya yaitu Gen-X dan terus menurun lagi pada generasi
selanjutnya menjadi 16,04 pada generasi milenial. Hal ini mengindikasikan
terjadinya pergesaran minat bekerja secara jangka panjang. Dalam jangka pendek,
fenoma pergeseran minat bekerja tersebut diperkuat dengan data tahun 2015-2017(Kemen
PPPA, 2018). Milenial Indonesia yang bekerja pada sektor pengelolaan alam seperti
pertanian, kehutanan, dan perikanan menunjukkan tren yang terus menurun. Sementara
itu, milenial Indonesia yang bekerja pada sektor perdagangan dan industri terus
meningkat. Hal ini mengindikasikan terjadinya brain-drain di sektor pertanian,
kehutanan, dan perikanan. Dengan demikian, perencanaan SDM pada sektor tersebut
mendapatkan tantangan yang serius sehingga mau tidak mau harus memperhatikan
keberadaan dari generasi milenial.
.
Gambar
2 – Sebaran Tenaga Kerja Indonesia berdasarkan Generasi
Salah satu tujuan utama dari
perencanaan SDM adalah untuk memastikan ketersediaan SDM baik dalam hal jumlah
dan mutu yang dapat memenuhi kebutuhan organisasi untuk menjalankan aktivitas
bisnisnya di masa mendatang. Seperti telah dibahas pada bagian terdahulu; sektor
pertanian, kehutanan, dan perikanan tengah menghadapi fenome brain drain.
Demikian pula halnya dengan perusahaan perkebunan sawit yang berada dalam
sub-sektor perkebunan dari sektor
pertanian. Brain drain pada perusahaan perkebunan sawit merupakan hal
yang krusial. Mengapa demikian? Karena berapa alasan berikut.
Pertama, industri perkebunan
sawit menghasilkan minyak sawit atau crude palm oil (CPO) yang merupakan produk andalan ekspor
Indonesia. Ekspor CPO mendatang pendapat pajak dan devisa signifikan bagi
perekonomian petani, pemerintah daerah,
dan negara. Kedua, terjadi
kelangkaan talenta (talent
shortage) di industri perkebunan sawit.
Telah terjadinya penurunan minat generasi
muda untuk berkuliah di fakultas pertanian (Manuwoto, Gunawan, & Firdaus, 2010). Pada rentang 2005-2006 saja ada sekitar 40 fakultas pertanian dari 60 fakultas pertanian di seluruh
Indonesia tutup karena ketiadaan peminat (Saputra, 2011).
Ketiga, terjadi perebutan talenta (talent
war) di industri perkebunan sawit.
Pesatnya pertambahan anggota GAPKI merupakan indikator pesatnya pertambahan
jumlah perusahaan atau pemain yang berusaha sekaligus bersaing di industri
minyak sawit Indonesia, Pertambahan rata-rata 18 perusahaan per tahun (Saputra, 2016a). Sementara itu pasokan tenaga
ahli dari fakultas pertanian mengalami penurunan, sehingga terjadi perebutan
talenta manajerial dan professional pada
industri perkebunan sawit Indonesia (Saputra,
2016b).
Keempat,
telah muncul dan bertumbuhnya generasi milenial di industri perkebunan sawit
Indonesia. Generasi ini yang lebih menyukai kegiatan di
dalam ruangan (in-door activity) daripada menjalankan kegiatan di luar
ruangan (out-door activity). Padahal kegiatan utama dari industri
perkebunan sawit berada di luar ruangan dengan kondisi yang penuh tantangan
alam maupun social (Saragih, 2015). Hal tersebut menyebabkan generasi milenial
memilik keterlekata kerja (work engagement) yang lebih rendah daripada
generasi sebelumnya. Dengan demikian, perusahaan perkebunan sawit menghadapi
tantangan yang tidak mudah dalam perencanaan SDM. Di samping kesulitan untuk
mendapatkan jumlah SDM yang memadai untuk memenuhi kebutuhan ekspansi bisnis
perkebunan, perusahaan perkebunan sawit juga mengalami kesulitan untuk
mempertahankan SDM tersebut untuk tetap terikat (engaged) dengan
perusahaan dalam jangka panjang. Dengan kata lain, perusahaan perkebunan sawit
Indonesia dapat saja menanam pohon sawit yang berusia produktif sampai 30
tahun, tetapi belum tentu dapat meretensi SDM profesional dan manajerial untuk
merawat pohon sawit tersebut (Saragih, 2005).
Oleh
karena itu maka dalam pengelolaan SDM di perkebunan sawit; perusahaan dituntut tidak
hanya efektif untuk mendapatkan SDM yang dibutuhkan, tetapi juga harus dapat
mempertahankan SDM tersebut bekerja
optimal dalam kurun waktu panjang. Untuk dapat “menarik” dan “mempertahankan”
generasi milenial bekerja di perusahaan perkebunan sawit; maka dalam
perencanaan SDM perusahaan harus dapat menjawab empat pertanyaan berikut: (1)
apa saja karakteristik milenial di industri perkebunan sawit? (2) apa saja karakteristik
pekerjaan di industri perkebunan sawit? (3) apa saja karakteristik milenial
yang paling penting untuk mendapatkan perhatian? (4) apa perlakuan yang direkomendasikan
terhadap milenial?
Apa saja karakteristik
milenial di perusahaan perkebunan Sawit? -
Untuk menjawab pertanyaan ini, perusahaan dapat menggunakan 22 pola
perilaku generasi milenial yang dibahas
pada bagian terdahulu sebagai acuan. Kemudia lakukan survey terhadap pegawai
perusahaan perkebunan sawit untuk memilih mana lima perilaku yang paling sering
ditemui dari milenial di perusahaan perkebunan sawit. Hasil survey yang
dilakukan oleh penulis mengerucut pada lima pola perilaku atau karakteristik yang
paling sering ditampikan milenial sehari-hari di perusahaan perkebunan sawit.
Kelima karakteristik tersebut adalah:
(1) Lebih membutuhkan akses
internet, (2) Kreatif dan penuh inovasi, (3) Cenderung tidak menghargai
struktur, (4) Individualistik dan lemah dalam keterampilan sosial, dan (5) Lebih memilih aktivitas di dalam ruangan (Saputra, 2016b).
Apa saja karakteristik
pekerjaan di perusahaan kerkebunan sawit? – Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perusahaan dapat melakukan focus group discussion terhadap
manajemen atau pun staf senior di perusahaan untuk mengidentifikan
karakteristik atau kondisi apa saja yang khas dari bekerja di perusahaan
perkebunan sawit dibandingkan dengan perusahaan di industri lainnya. Dari focus
group discussion yang dilakukan oleh penulis, teridentifikasi delapan karakteristik
pekerjaan di industri perkebunan sawit, yaitu: (1) Berada di daerah pelosok,
(2) Rutinitas dengan prosedur kerja yang ketat, (3) Banyak melakukan kegiatan
fisik di luar ruangan, (4) Struktur dan budaya organisasi yang hirarkis, (5)
Menyatunya tempat tinggal dan tempat kerja, (6) Lingkungan alam yang relatif
menantang, (7) Konflik sosial yang sering terjadi, dan (8) Berhadapan dengan
masyarakat dengan pendidikan terbatas (Saputra, 2016b).
Apa saja karakteristik milenial yang penting untuk
mendapatkan perhatian? – untuk
menjawab pertanyaan ini, kita dapat membuat tabulasi silang yang mempertemukan
karakteristik milenial dan karakteristik pekerjaan. Dari tabulasi silang
tersebut dapat dianalisis, karakteristik milenial apa saja yang bertentangan atau kontraproduktif dengan karakteristik pekerjaan di perkebunan sawit.
Karakteristik milenial yang paling banyak bertentangan dengan karakteristik
pekerjaan di perkebunan sawit adalah karakteristik yang penting mendapatkan
perhatian.
Untuk memperoleh jawaban tersebut, penulis melakukan foucs
group discussion dengan manajemen dan staf senior di perusahaan perkebunan.
Tabel-1 menjelaskan hasil diskusi tersebut. Karakteristik milenial yang “kreatif dan penuh inovasi” merupakan
karakterisitk yang paling penting untuk diperhatikan. Sementara karakteristik “cenderung
tidak menghargai struktur” dan “individualistik dan lemah dalam keterampilan
sosial” juga perlu untuk mendapatkan perhatian dan perlakukan tertentu (Saputra, 2016b).
Tabel 1 – Dampak Karateristik Milenial terhadap Pekerjaan di Perkebunan Sawit
Apa saja perlakuan yang direkomendasi
terhadap milenial?
–Berdasarkan karakteristik milenial yang penting mendapatkan perhatian,
perusahaan dapat mengembangkan rekomendasi-rekomendasi yang relevan untuk membuat
generasi milenial dapat bekerja optimal dalam jangka waktu panjang di
perusahaan perkebun sawit. Dari hasil focus
group discussion penulis dengan
manajemen perusahaan, direncanakanlah lima perlakuan sebagai (Saputra, 2016b) berikut:
(1) Ecological
Intelligence – selain mempertimbangkan kecerdasan intelektual dan
pengetahuan yang memadai mengenai teknis perkebunan, maka dalam merekrut milenial
sebaiknya juga mempertimbangkan kecerdasan alam atau ecological intelligence. Milenial yang memiliki kecerdasan alam
yang tinggi menyebabkan mereka dapat menikmati alam perkebunan yang berada di
pelosok dan penuh tantangan sebagai sarana untuk menyalurkan kreativitas dan
inovasi.
(2) Equal and
Interactive Communication – atasan dari para milenal dilatih untuk dapat
membangun komunikasi yang dialogis, interaktif dan menciptakan suasana
kesetaraan dalam hubungan antara atasan dan bawahan.
(3) Room for Innovation
– memberikan kesempatan yang luas kepada milenial untuk berpikir kreatif dan
mengembangkan inovasi dalam pekerjaan. Milenial dapat dilibatkan dalam mencari
solusi alternatif atas permasalahan operasional yang dihadapi. Mengembangkan
inovasi yang berkaitan dengan supervisi lapangan yang dapat dilakukan dari
dalam ruangan.
(3) Social Skill
Development – membantu milenial untuk dapat mengembangkan keterampilan
sosial mereka terutama ketika berhadapan dengan orang-orang yang memiliki latar
belakang pendidikan yang lebih rendah
(4) Internet Access
Improvement – secara bertahap membangun, mengembangkan dan melengkapi
infrastruktur dan akses internet yang dapat digunakan untuk kegiatan inovasi
dan supervisi operasional perkebunan.
Dengan menjawab pertanyan-pertanyaan tersebut di atas diharapkan perencaan SDM lebih akurat dalam mengantisipasi kehadiran generasi milenial dalam organisasi atau perusahaan. Sebagai suatu generasi yang unik, milenial memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Karena itu penting bagi organisasi untuk mengidentifikasi dan merumuskan rekomendasi apa saja yang perlu dikembangkan atau dijalankan agar milenial dapat berperan dan berkontribusi optimal bagi pencapaian tujuan organisasi atau perusahaan. Habis
Dr Nopriadi Saputra, ST, MM
Master trainer, Supreme Learning International. Salah satu lembaga Penyelenggara Pelatihan Soft Skills terbesar di Indonesia. Kunjungilah Supreme Learning di https://www.supremelearning.co.id/#top, Nopriadi Saputra dapat dihubungi melalui nopriadisaputra@gmail.com
Komentar