Dalam proses PILKADA Jakarta beberapa kenyataan yang sangat menyakitkan mulai terkuak, perlahan tapi pasti. Bahwa selama ini gembar gembor “Untuk Kepentingan Rakyat” hanya sebuah slogan kosong yang sangat sarat dengan kebohongan dan tipu muslihat. Hasil Pilkada putaran pertama yang dimenangkan oleh pasangan Jokowi dan Ahok, yang merupakan pilihan rakyat digugat habis habisan dan berusaha diterjang dari segala penjuru dengan segala permainan yang sangat kotor dan licik.
Mulai dengan diadakannya survey survey yang semua memilih kemenangan Foke-Nara ternyata bohong dan palsu semua. Lalu berkoalisi lah partai partai besar untuk mendukung Foke yang tidak menduga kekalahannya di putaran pertama. Para Ulama seperti Rhoma Irama dan yang lainpun berusaha untuk mencari cari kelemahan dari pasangan Jokowi dan Ahok, sampai sampai tuduhan yang berbau SARA dan sebagainya.
Siapa Foke, apa yang telah dia lakukan selama 5 tahun kepemimpinannya. Jawabnya, kosong. Tidak ada sedikitpun kemajuan apalagi ide ide baru yang diprogramkan selama 5 tahun menjabat sebagai Gubernur DKI. Bahkan dengan Wakil Gubernurnya tidak ada komunikasi sehingga koalisinya pecah di tengah jalan.
Sekarang semua Partai mendukung dia untuk bisa memenangkan Pilkada putaran kedua. Partai partai besar bersama bersama mendukung kemenangan calon yang terbukti tidak bisa bekerja apa-apa. Seandainya Foke adalah seorang gubernur pekerja, maka tidak perlu dukungan Partai demikian banyak untuk memenangkannya. Penduduk Jakarta lebih suka bekerja dan fokus kepada dirinya. Siapapaun Gubernurnya , penduduk tidak peduli yang penting punya program untuk membuat kota Jakarta lebih baik.
Jika Jokowi dipilih dan memenangkan putaran pertama, menurut hemat saya adalah lebih karena penolakan kepada Foke. Sebab Jokowi dan Ahok jelas punya kelemahan dan tidak mempunyai pengalaman untuk memimpin propinsi sebesar dan serumit Jakarta. Akan tetapi jika dibandingkan dengan Foke yang tidak bisa diharapkan apa apa, maka pengalaman Jokowi di Solo lah yang lebih membuka harapan meskipun hanya sedikit. Sekarang partai partai besar mendukung mati matian dan dengan segala cara untuk calon yang ditolak oleh rakyat.
Lalu apa sebenarnya motivasi partai partai itu? Apakah untuk mendapatkan Gubernur yang lebih baik atau sekedar pemikiran pragmatis spekulatif untuk keuntungan partainya? Saya lebih cenderung untuk mengatakan, dukungan partai kepada kepada Foke adalah demi partai itu sendiri. Bukan untuk Rakyat. Ini lah yang saya katakan bahwa semua jargon jargon untuk kepentingan rakyat hanya pembohongan besar besaran. Partai partai politik produk dari jaman Reformasi di Indonesia ternyata belum mampu berfikir objektif apalagi untuk melahirkan Negarawan yang panggilan hidup atau passion nya benar benar untuk Indonesia yang lebih baik.
Indonesia menuju Negara 3 Partai
Namun jika pada tanggal 20 September nanti Jokowi dan Ahok yang menang, maka ada sebenarnya fenomena yang sangat positif bisa dipelajari untuk diterapkan seterusnya. Jika Jokowi dan Ahok yang hanya didukung oleh 2 Partai yaitu PDIP dan Gerindra yang memenangkan Pilkada tahap 2, melawan koalisi partai Demokrat, Golkar, PAN, PPP, Hanura, PKB dan PKS yang mendukung Foke, maka kedepan Bangsa ini tidak perlu lagi mempunyai Multi Partai. Cukup dua atau 3 Partai saja, dan tentu ongkos yang harus diemban rakyat pun semakin sedikit dan efisien. Sebab sekarang pun tanpa diduga dan diperkirakan pada awalnya pertarungan di DKI Jakarta, pusat dari Indonesia itu sendiri adalah pertarungan antara hanya dua koalisi partai.
Saya bahkan berani menyebut bahwa koalisi pendukung Foke lebih baik meleburkan diri menjadi partai dengan ideologi Pragmatis Progresif, sedangkan partai Gerindra dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan adalah partai Nasionalis Ideologis. Sebab PKS dan Golkar diikuti yang lainnnya terbukti sangat berfikir pragmatis untuk keuntungan partainya. PKS yang semula lebih menekankan ideologis agamis, ternya kelihatan belangnya dan lebih pragmatis seperti Golkar dan Demokrat. Sedangkan PDIP dan Gerindra semakin membuktikan diri sebagai Partai yang sangat nasionalis. Mereka berani bertarung walaupun hanya berdua melawan koalisis raksasa yang sangat pragmatis.
Nasdem dan Partai SRI selanjutnya bisa juga bergabung dengan PDIP dan Gerindra. Sedangkan partai partai lainnya bergabunglah dengan Koalisi Pragmatis itu. Ataupun ada gabungan untuk membentuk partai ketiga yang berliran tengah, misalnya Partai yang berideologis Agamis dan Progresif
Jika memang motivasi para kader kader partai itu adalah murni untuk kemajuan Bangsa dan Rakyat Indonesia mereka pasti mau memikirkan hal itu. Namun jika tetap sekedar berkoalisi untuk keuntungan partai nya saja, maka tetap kepentingan rakyat hanya sebuah kebohongan. Inilah kenyataan yang harus kita terima di HUT 67 Bangsa Indonesia hari ini, bahwa partai partai polkitik hanya kumpulan program kosong dan bohong untuk kemajuan rakyat. Saya takut 10 tahun lagi, negara Indonesia akan bubar seperti Uni Sovyet dan Negara Negara di Eropa Timur.
Komentar