Catatan Tambahan PJJ 6 - 12 Juli 2025

:
Bersatu Hati Memuji Tuhan (Ersada Sora Muji Dibata)
"Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri. Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya. Karena Kristus juga tidak mencari kesenangan-Nya sendiri, tetapi seperti ada tertulis: “Kata-kata cercaan mereka, yang mencerca Engkau, telah mengenai Aku.” Sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci. Semoga Allah, yang adalah sumber ketekunan dan penghiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu, sesuai dengan kehendak Kristus Yesus, sehingga dengan satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus."
Di tengah dunia yang makin individualistis, suara yang menyatukan hati untuk memuliakan Tuhan menjadi semakin langka. Rasul Paulus, dengan kepekaan pastoral dan kekuatan apostoliknya, mengajak kita menghidupi semangat kolektivitas dan kerendahan hati. Dalam bacaan ini, kita dipanggil untuk menjadi komunitas yang tidak saling menjatuhkan, melainkan saling menopang, memuji Tuhan dengan satu suara, dan hidup dalam pengharapan.
Teks ini menunjukkan bahwa Allah tidak menciptakan keseragaman, tetapi perbedaan yang memperkaya komunitas iman. Ada yang kuat dan ada yang lemah; dan yang kuat dipanggil bukan untuk merasa unggul, tetapi untuk menanggung dan mengangkat yang lemah. Dalam eklesiologi Paulus, kekuatan tidak dilihat sebagai hak istimewa, tetapi sebagai beban tanggung jawab dalam kasih.
Kristus sendiri menjadi teladan agung: Ia tidak mencari kesenangan-Nya sendiri, tetapi menanggung cercaan dan penderitaan demi kita. Ini adalah spiritualitas kenosis—pengosongan diri (bdk. Flp 2:6–8)—yang menjadi dasar bagi etika saling menanggung dalam tubuh Kristus.
Kebersamaan dan kerukunan yang dihasilkan bukan hanya soal hidup damai, tetapi juga soal kesaksian umat Allah di dunia. Ketika umat menyatukan suara dan hati untuk memuji Tuhan, maka kemuliaan Allah dinyatakan secara kolektif—itulah liturgi hidup yang sejati. Bahkan kenangan hidup, suka-duka, dan kebersamaan—termasuk makan cipera bersama—bisa menjadi bagian dari pujian bersama kepada Tuhan bila dilandasi kasih dan syukur.
Kekuatan sejati bukan untuk berkuasa, tetapi untuk menanggung. Kebersamaan sejati bukan sekadar berkumpul, tetapi bersatu dalam pengharapan dan pujian kepada Tuhan. Mari kita, dengan satu hati dan satu suara, menjadi tubuh Kristus yang memuliakan Allah di tengah dunia yang terpecah.
Komentar