Featured Post

Catatan Tambahan PJJ 16 - 22 Maret 2025

Gambar
  Thema : Ciptakan Perdamaian Dengan Sepenuh Hati (Bulatken Ukur Erbahan Perdamaian) Nas Alkitab: Masmur 34:12-15 I. FAKTA Penulis Mazmur 34, yang diyakini adalah Daud, menguraikan beberapa prinsip penting terkait kehidupan yang damai dan penuh berkat: Keinginan akan hidup panjang dan menikmati kebaikan Setiap manusia pada dasarnya memiliki keinginan alami untuk hidup panjang dan menikmati hal-hal yang baik. Ini mencerminkan kebutuhan dasar manusia akan kesejahteraan dan kebahagiaan. Menjaga lidah terhadap yang jahat dan bibir dari ucapan menipu Perkataan memiliki dampak besar dalam kehidupan manusia. Kata-kata yang jahat, menipu, atau memecah belah akan menimbulkan kehancuran baik secara pribadi maupun dalam komunitas. Menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik Perdamaian tidak hanya terjadi secara otomatis, tetapi membutuhkan upaya aktif untuk menghindari kejahatan dan secara sadar melakukan kebaikan. Mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya Perd...

Analisis Lengkap Mengenai Ketidaksinambungan Komunikasi antara Pertua & Diaken Emeritus dengan Pertua & Diaken Aktif di GBKP (Klasis Bekasi-Denpasar) dalam Perspektif Akademis dan Teologis

 Pembinaan khusus bagi Pertua dan Diaken Emeritus Klasis Bekasi-Denpasar yang dilaksanakan di Kinasih, Depok, pada 7 Februari 2025 mengangkat isu fundamental mengenai peran dan keterlibatan pertua dan diaken emeritus dalam gereja. Salah satu poin yang ditekankan oleh Pdt. Christoper Sinulingga, selaku Kabid Pembinaan Moderamen GBKP, adalah bahwa tidak ada perbedaan dalam hal melayani  antara pertua dan diaken aktif dengan pertua dan diaken emeritus. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan komunikasi dan peran yang cukup signifikan.



Pertanyaan kunci yang muncul:

1. Mengapa terjadi kesenjangan komunikasi dan peran antara pertua & diaken emeritus dengan pertua & diaken aktif?

2. Benarkah dalam konsep teologis tidak ada perbedaan antara keduanya?

3. Jika secara konsep tidak ada perbedaan, mengapa dalam praktik muncul perbedaan?

4. Apa tujuan sejati dari pembinaan ini, dan bagaimana penyelesaiannya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, analisis akan dilakukan dalam tiga dimensi:

1. Aspek Teologis: Bagaimana kedudukan dan peran pertua & diaken emeritus dalam terang Alkitab dan teologi Reformed-Presbiterial.

2. Aspek Organisasional & Sosiologis: Faktor struktural, komunikasi, dan dinamika sosial yang menyebabkan kesenjangan.

3. Aspek Praktis: Analisis atas realitas pelayanan di lapangan dan bagaimana membangun rekonsiliasi antara kedua kelompok ini.


I. Aspek Teologis: Kedudukan Pertua & Diaken Emeritus dalam Teologi Reformed-Presbiterial

Dalam sistem Presbiterial Sinodal yang dianut oleh GBKP, kepemimpinan gerejawi bukan bersifat hierarkis seperti dalam sistem episkopal, melainkan kolegial dan berbasis panggilan komunitas. Dalam terang teologi pelayanan gerejawi, ada beberapa prinsip penting:

1. Pelayanan sebagai Panggilan Seumur Hidup

o Dalam tradisi Reformed, khususnya yang merujuk pada ajaran Calvin dan teologi gereja Presbiterial, pelayanan sebagai pertua dan diaken bukan sekadar jabatan administratif yang selesai setelah masa jabatan habis, tetapi panggilan seumur hidup.

o Hal ini sejalan dengan Roma 11:29, “Sebab Allah tidak menyesali kasih karunia dan panggilan-Nya.”

2. Perbedaan Peran dalam Struktur Gereja

o Pertua dan diaken aktif memiliki tanggung jawab administratif, kebijakan, dan pengambilan keputusan sehari-hari di gereja.

o Pertua dan diaken emeritus tidak lagi memiliki kewenangan administratif, tetapi tetap diakui sebagai bagian dari kepemimpinan gereja dalam fungsi penasehat, pembimbing rohani, dan teladan iman.

3. Perspektif Teologis tentang Transisi Kepemimpinan

o Dalam 1 Timotius 3:1-13 dan Titus 1:5-9, jabatan penatua dan diaken memiliki standar moral yang tinggi dan bukan hanya administratif.

o Namun, Alkitab juga mengajarkan regenerasi kepemimpinan, di mana pemimpin yang lebih tua membimbing dan menyerahkan tugas kepada generasi baru (2 Timotius 2:2).

o Dalam konteks GBKP, perbedaan ini sering tidak dipahami dengan baik, sehingga muncul gesekan antara “pemimpin lama” (emeritus) dan “pemimpin baru” (aktif).

Kesimpulan aspek teologis: Dalam konsep teologi pelayanan gerejawi, memang tidak ada perbedaan dalam panggilan pelayanan, tetapi ada perbedaan dalam kewenangan dan tanggung jawab administratif.


II. Aspek Organisasional & Sosiologis: Penyebab Kesenjangan di Runggun Klasis Bekasi-Denpasar

Berdasarkan penelitian sosial keagamaan dan dinamika pelayanan di gereja-gereja Protestan, terdapat beberapa penyebab utama mengapa terjadi kesenjangan komunikasi dan peran antara pertua & diaken emeritus dengan yang aktif:

1. Perbedaan Persepsi tentang Otoritas dan Kewenangan

Pertua dan diaken emeritus merasa masih memiliki otoritas moral dan pengalaman dalam pelayanan, sementara pertua dan diaken aktif merasa bahwa merekalah yang memegang kendali penuh atas keputusan gereja saat ini.

Hal ini sering menimbulkan ketegangan, karena emeritus sering merasa kurang dihargai atau diabaikan, sementara majelis aktif merasa terganggu oleh campur tangan emeritus dalam pengambilan keputusan.

2. Kesenjangan Komunikasi dan Struktur Organisasi

Tidak ada mekanisme komunikasi yang jelas antara pertua dan diaken emeritus dengan yang aktif.

Rapat majelis tidak melibatkan emeritus, sehingga mereka merasa terputus dari kehidupan gereja.

3. Faktor Budaya dan Psikologi Sosial

Dalam budaya Karo (dan banyak budaya Asia lainnya), penghormatan terhadap yang lebih tua sangat kuat.

Jika seorang pertua atau diaken emeritus merasa “disingkirkan” setelah pensiun dari jabatannya, ini bisa melukai harga diri mereka.

Akibatnya, mereka menjauh dari komunitas gereja atau bahkan membentuk kelompok informal sendiri yang terpisah dari majelis aktif.


III. Aspek Praktis: Menganalisis Tujuan Pembinaan di Kinasih Depok

Dalam pembinaan 7 Februari 2025, Pdt. Christoper Sinulingga menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara pertua dan diaken aktif dengan emeritus. Pernyataan ini tampaknya berusaha menyampaikan bahwa peran pelayanan tetap sama dalam panggilan rohani, tetapi kurang memperhitungkan perbedaan praktis dalam tugas dan kewenangan administratif.

Namun, beliau juga mengakui bahwa perbedaan tidak muncul dalam tataran konsep atau Tata Gereja, tetapi dalam praktik gereja sehari-hari.

Apa Tujuan Pembinaan Ini?

Dari analisis di atas, tujuan utama dari pembinaan ini dapat dirangkum dalam beberapa poin:

1. Menyadarkan bahwa pelayanan tidak berhenti setelah menjadi emeritus

o Pembinaan ini bertujuan agar pertua dan diaken emeritus tetap merasa dihargai dan berkontribusi bagi jemaat.

2. Mencegah Konflik dan Fragmentasi

o Karena banyak pertua emeritus merasa tidak lagi dilibatkan, pembinaan ini mungkin dirancang untuk mendamaikan kedua kelompok agar bekerja sama dengan lebih harmonis.

3. Menjembatani Kesenjangan Komunikasi

o Mungkin pembinaan ini adalah langkah awal untuk membangun komunikasi lebih baik antara emeritus dan majelis aktif, meski masih ada perbedaan dalam praktik.


IV. Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Dari segi teologis, memang tidak ada perbedaan panggilan antara pertua dan diaken aktif serta emeritus. Namun, dari segi organisasi dan administrasi, perbedaan itu ada.

2. Kesenjangan komunikasi terjadi karena kurangnya mekanisme dialog antara kedua kelompok ini, serta perbedaan persepsi tentang otoritas gerejawi.

3. Tujuan pembinaan tampaknya ingin menjembatani kesenjangan tersebut, tetapi perlu langkah konkret lebih lanjut, seperti membuat forum komunikasi resmi antara emeritus dan majelis aktif.

4. GBKP perlu mengembangkan kebijakan yang lebih jelas tentang peran dan keterlibatan emeritus dalam gereja agar mereka tetap merasa dihargai tetapi tidak mengganggu kewenangan majelis aktif.

Jika pembinaan ini hanya berhenti di tataran konseptual tanpa solusi praktis, kemungkinan besar kesenjangan akan terus berlanjut dan konflik laten tetap ada.

Rekomendasi Praktis

1. Membentuk forum komunikasi antara pertua & diaken emeritus dan majelis aktif.

2. Mendefinisikan ruang lingkup keterlibatan emeritus secara jelas dalam Tata Gereja atau kebijakan internal klasis.

3. Melibatkan emeritus dalam kegiatan pembinaan jemaat, bukan dalam pengambilan keputusan administratif.

Dengan demikian, harmonisasi antara generasi kepemimpinan gereja dapat terjadi secara lebih alami dan damai.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penataan Adat / Matius 15:1-9 (Pekan Penatalayanan Keenam)

Catatan Tambahan PJJ 07 – 13 April 2024