Catatan Tambahan PJJ 16 - 22 Maret 2025

Pemberlakuan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat membuat masyarakat lebih
banyak melakukan aktivitas secara terbatas. Menghabiskan waktu di rumah adalah
hal yang paling aman dilakukan untuk menghindari penularan Covid-19. Juru
Bicara Pemerintah untuk Covid-19 dan Duta Adaptasi Kebiasaan Baru, dr Reisa
Broto Asmoro mengatakan jika masyarakat harus bisa melihat sisi lain dari PPKM
Darurat ini. "Selain untuk menghentikan laju Covid-19, dengan momentum ini
jadi lebih banyak memiliki waktu untuk melakukan hal yang sebelumnya tidak
sempat dilakukan kerana sibuk. Dengan lebih banyak di rumah punya waktu
untuk beribadah atau menjalankan hobi, " ujarnya secara virtual di
Instagram live @radiokesehatan.
Tetapi, banyak yang
merasa tertekan dengan kebijakan ini. Ruang gerak yang terbatas dan aktivitas tidak bisa lagi dilakukan untuk sementara.
Terlihat dari berbagai macam video yang viral di media sosial, pasca
diberlakukannya PPKM secara menyeluruh di Indonesia. Faktor utamanya adalah
ekonomi masyarakat yang sulit pulih, semenjak COVID-19 menyerang Indonesia.
Sekalipun demikian, Pemerintah
telah menyiapkan skenario perpanjangan pemberlakuan pembatasan kegiatan
masyarakat (PPKM) darurat hingga enam minggu ke depan. Hal tersebut diketahui
berdasarkan bahan paparan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat
rapat kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI pada Senin (12/6/2021).
Dalam paparan tersebut disebutkan, PPKM darurat diperpanjang hingga enam minggu
karena risiko pandemi Covid-19 masih tinggi, khususnya varian baru (Delta).
APA YANG BISA KITA
LAKUKAN?
Kisah Para Rasul 4:32-37
menjadi
inspirasi dan solusi menarik dalam situasi PPKM seperti sekarang ini. Sederhana,
namun sulit dilakukan oleh beberapa orang yang sudah terjebak dengan konsep kompetitif yang marak sebelum Covid-19 menyerang Indonesia.
Kita sering menemukan
di dalam Alkitab bahwa imperatif (perintah) didahului dengan indikatif
(pernyataan). Tindakan praktis dilandaskan pada alasan teologis. Apa yang kita
lakukan didorong oleh apa yang Allah lakukan. Pola itulah yang kita temukan di
sini. aksi (4:34-37) bersumber dari hati (4:32a), teologi (4:32b), dan anugerah
ilahi (4:33).
Ribuan orang Yahudi
yang bertobat dari pasal 2-4 kemungkinan besar adalah para peziarah dari
berbagai daerah yang sedang merayakan Hari Raya Pentakosta (lihat 2:1-11).
Tatkala mereka bertobat, mereka memutuskan untuk tinggal di Yerusalem lebih
lama. Perbekalan mereka sangat mungkin tidak lagi memadai. Mereka tidak mampu
membayar sewa penginapan maupun kebutuhan sehari-hari mereka. Situasi yang dialami
oleh kita juga saat PPKM berlangsung. Namun, di tengah situasi seperti ini
jemaat mula-mula tidak berdiam diri. Mereka memberi diri. Mereka belajar untuk
berbagi. Bagaimana dengan kita?
Apa yang dilakukan oleh
mereka terbilang luar biasa. Kemurahhatian mereka melebihi praktek
kebajikan pada zamannya. Sebagai contoh, pada zaman itu tanah atau rumah
merupakan sumber kekayaan, status sosial dan jaminan utama. Semakin banyak
tanah/rumah yang dimiliki, semakin seseorang. Semakin banyak ladang
berarti semakin banyak penghasilan. Semakin banyak properti semakin tenang
sampai tua nanti. Ketika seseorang menjual tanah/rumah dan diberikan untuk
kepentingan bersama, orang itu mungkin telah mengurbankan harta utama, sumber
penghasilan utama, martabat dalam komunitas maupun ketenangan hari tua.
Hal lain yang membuat
kemurahhatian jemaat mula-mula terlihat sangat menonjol adalah pemberian yang
tanpa pilih dan pamrih. Menurut kebiasaan pada waktu itu, banyak orang
cenderung memberi kepada orang lain yang memiliki status sosial yang sama. Di jaman modern pemberian itu juga umumnya bersifat resiprokal. Maksudnya, memberi supaya
diberi. Ada pamrih. Tidak demikian dengan jemaat mula-mula di 4:34-37. Tidak
ada keuntungan yang mereka dapatkan dari penerima bantuan. Yang diberi juga
orang-orang yang secara sosial dan ekonomi lebih rendah daripada mereka.
Sederhananya, Kisah Jemaat
Mula-Mula mengajarkan kita tentang budaya ekonomi gotong royong. Budaya yang timbul
dari rasa simpati dan empati terhadap satu dengan yang lainnya. Budaya yang
merubah sikap kompetitif. Sebaliknya kita diajak untuk menghasilkan
produk-produk yang bisa saling memenuhi satu dengan yang lain. Bisakah kita “saling
membeli” produk-produk yang dihasilkan saudara disekitar kita?
Komentar