Oleh : Marufinsudibyo
Kepulan debu vulkanik pekat menyembur dari puncak Gunung Sinabung
yang tingginya 2.460 meter dari paras air laut pada Minggu pagi 15
September 2013. Debu membumbung ke atas hingga setinggi sekitar 50 meter
dari puncak untuk kemudian ‘hanyut’ ke timur mengikuti arus udara
setempat. Semburan disusul dengan suara bergemuruh disertai hujan debu
dan kerikil di kaki gunung. Tak ada keraguan kalau gunung berapi yang
terletak di Kabupaten Karo propinsi Sumatra Utara itu telah meletus
(kembali). Letusan terjadi hanya berselang beberapa saat setelah Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi
Kementerian ESDM menaikkan status Gunung Sinabung dari Waspada (Tingkat
2) menjadi Siaga (Tingkat 3). Peningkatan dilakukan seiring meningkatnya
aktivitas kegempaan vulkanik di gunung berapi ini khususnya dengan
mulai terjadinya gempa tremor menerus yang dibarengi penampakan titik
api di puncak.
Gambar 1. Hembusan kolom debu vulkanik Gunung
Sinabung pada letusan 2013 yang
dimuntahkan dari Kawah III, diabadikan
pada Minggu 15 September 2013 dari kaki gunung sektor tenggara. Nampak
posisi sumbat lava (SL) di puncak. Sumber: Antara, 2013.
Meski sampai saat ini terhitung lebih kecil jika dibandingkan Letusan
Sinabung 2010, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatra Utara tak mau
membuang waktu. Evakuasi penduduk di desa-desa di kawasan kaki gunung
segera digelar. Hingga Senin pagi 16 September 2013 pukul 08:00 WIB
jumlah pengungsi tercatat 5.956 jiwa yang tersebar di lima titik
pengungsian. Sejauh ini tak ada korban jiwa atau luka-luka dan kerusakan
bangunan akibat letusan Sinabung. Namun penerbangan perintis Susi Air
yang melayani rute Kuala Namu-Kutacane hari ini terpaksa dibatalkan
untuk menghindari kemungkinan gangguan pada pesawat akibat menghirup
debu vulkanik. Dengan status Siaga (Tingkat 3), maka tak ada aktivitas
manusia yang diperbolehkan hingga radius 3 kilometer dari puncak.
Letusan Sinabung kali ini merupakan yang kedua dalam tiga tahun terakhir
setelah diselingi periode tenang antara 7 Oktober 2010 hingga 14
September 2013. Sebelumnya Gunung Sinabung, yang tak dipantau secara
rutin karena kedudukannya sebagai gunung berapi aktif tipe B (yakni
gunung berapi yang pernah meletus sebelum tahun 1600 namun tak diketahui
kapan waktu kejadiannya dengan pasti), mendadak menyemburkan debu
vulkanik pekatnya hingga setinggi sekitar 3.000 meter disertai suara
dentuman keras pada Jumat senja 27 Agustus 2010. Tak ada tanda-tanda
yang dirasakan sebelum letusan terjadi.
Letusan ini sontak mengagetkan segenap penduduk di sekujur kaki gunung,
karena kejadian tersebut tak pernah mereka alami sepanjang hayatnya,
bahkan bagi generasi kakek-nenek mereka sekalipun. Sehingga tak satupun
yang tahu apa yang harus dilakukan. Alhasil mereka pun melewatkan malam
dengan penuh rasa cemas di kediaman masing-masing di tengah guyuran
hujan debu dari langit. Baru keesokan paginya pengungsian dilakukan dan
ribuan orang pun dievakuasi menuju 8 titik pengungsian yang secara
keseluruhan menampung sekitar 12.000 orang. PVMBG pun segera mengirim
tim reaksi cepat untuk memantau gunung ini. Status Awas (Tingkat 4) pun
diberlakukan dengan konsekuensi hingga radius 6 kilometer dari puncak
gunung menjadi area yang terlarang untuk aktivitas manusia dalam bentuk
apapun. Letusan berlanjut hingga mencapai puncaknya pada 7 September
2010 saat letusan eksplosif (ledakan) terjadi. Namun selepas itu
aktivitas Sinabung berangsur-angsur menurun, sehingga status Awas pun
diturunkan menjadi Siaga pada 23 September 2010 dan akhirnya diturunkan
kembali Waspada semenjak 7 Oktober 2010 yang terus bertahan hingga tiga
tahun kemudian.
Sinabung dan Toba
Gambar 2. Kontur Gunung Sinabung dengan
posisi setiap kawah (I, II, III dan IV) serta bekas tambang Belerang di
lerengnya (S). Di kaki gunung sektor utara terdapat Danau Lau Kawar.
Sumber: Sudibyo, 2013 adaptasi dari Wittiri, 2009 dengan peta dari
Google Maps.
Bagi Indonesia, letusan Sinabung pun cukup mengagetkan. Tak ada catatan
letusan bagi gunung berapi ini dalam kurun 400 tahun terakhir, sehingga
kadangkala ia bahkan dianggap sudah mati alias tak bisa meletus lagi.
Dari endapan awan panas purba yang terserak di sekitar kampung Bekerah
(kaki gunung sektor tenggara) diketahui muntahan magma Sinabung yang
terakhir terjadi 1.200 tahun silam . Sebelum 27 Agustus 2010, aktivitas
vulkanik gunung ini hanya berupa kepulan uap air dan gas belerang
melalui titik-titik fumarol dan solfatara yang tersebar di keempat
kawahnya.
Ya. Sinabung memang memiliki empat kawah, masing-masing diberi nama
Kawah I, II, III dan IV. Kawah I terletak di puncak sebuah kubah lava
tua dan sekaligus menjadi titik tertinggi Sinabung (2.460 meter dpl).
Kawah II (2.437 meter dpl) terletak di timur Kawah I. Sementara Kawah
III (2.431 meter dpl) berada di sebelah selatan Kawah II atau di sebelah
tenggara Kawah I dan menjadi satu-satunya kawah Sinabung yang memiliki
nama, yakni Kawah Batu Sigala. Antara Kawah II dan III terdapat sebuah
sumbat lava berukuran besar yang khas dengan bentuk mirip ujung jarum
jika dilihat dari kejauhan. Keberadaan sumbat lava ini memunculkan
dugaan bahwa Kawah II dan III merupakan sepasang kawah kembar. Dan Kawah
IV (2.453 meter dpl) terselip di antara Kawah I dan III.
Pada setiap kawah dijumpai endapan Belerang yang berwarna kekuningan dan
berjumlah cukup besar sebagai produk aktivitas solfatara. Endapan
Belerang juga dijumpai di lereng selatan, dalam sebuah lembah besar
tempat asap Belerang sanggup menembus tubuh gunung dan mengepul.
Banyaknya jumlah Belerang membuatnya sempat ditambang oleh penduduk
setempat, khususnya deposit di lereng selatan yang relatif lebih mudah
diakses. Namun aktivitas penambangan ini berhenti dalam satu dasawarsa
silam, seiring kian menurunnya kadar Belerang yang berhasil digali dan
saat itu diduga akibat kian menurunnya kegiatan vulkanik Sinabung.
Sehingga Belerang yang masih ada dan terus terbentuk dianggap tak lagi
menguntungkan untuk dieksploitasi.
Gunung Sinabung merupakan satu gunung berapi penghias sebentuk dataran
tinggi yang membentang dari sisi timur lembah Wampu hingga Berastagi.
Dataran tinggi ini memiliki puncak-puncak yang menjulang di atas
ketinggian 1.500 meter dpl. Namun puncak Sinabung-lah yang tertinggi di
sini, melampaui ketinggian puncak gunung berapi lainnya didekatnya yakni
Gunung Sibayak yang ‘hanya’ 2.212 meter dpl. Secara geologis gunung
berapi ini terbentuk melalui proses yang serupa dengan pembentuk
gunung-gunung berapi lainnya di sekujur pulau Sumatra, termasuk Danau
Toba (Gunung Toba) yang terkenal itu. Yakni dari interaksi lempeng India
dan Australia yang mendesak ke utara terhadap lempeng Sunda (Eurasia)
dan mikrolempeng Burma yang mengalasi pulau Sumatra dan bergerak lebih
lambat ke timur. Sebagai lempeng samudera yang massa jenisnya lebih
berat, lempeng India dan Australia melekuk (menyubduksi) ke bawah
lempeng Sunda dan Burma yang sifatnya kontinental. Selain membentuk
palung laut memanjang yang menghiasi lepas pantai barat Sumatera,
subduksi yang bersifat miring ini juga menjadi penyebab terbentuknya
Pegunungan Bukit Barisan yang adalah kenampakan di muka Bumi dari sistem
patahan besar Sumatra, sumber gempa darat utama di pulau itu.
Sepasang kolom debu vulkanik dan uap air yang
menjulur dari puncak Gunung Sinabung yang ikonik dalam letusan 2010
silam. Masing-masing kolom debu dimuntahkan dari Kawah II dan III,
sementara kolom uap air dari Kawah IV. I menunjukkan posisi Kawah I yang
tidak memuntahkan material letusan sama sekali, sementara SL adalah
lokasi sumbat lava. Sumber: Badan Geologi, 2010
.
Selain membentuk sumber-sumber gempa, pergesekan antar lempeng-lempeng
tersebut juga memproduksi magma di kedalaman yang lantas mengumpul dalam
dapur-dapur magma. Melalui jalur-jalur lemah dalam lempeng Eurasia,
magma pun mengalir ke atas dan akhirnya keluar di muka Bumi membentuk
gunung-gunung berapi Sumatra. Namun meski terbentuk oleh mekanisme yang
sama, tiap dapur magma memiliki volume dan ciri khasnya sendiri-sendiri
sehingga masing-masing gunung berapinya pun memiliki karakternya
sendiri-sendiri. Karena itu meski Gunung Sinabung berdiri berdampingan
dengan Danau Toba (Gunung Toba), karakteristik magma Sinabung
menjadikannya relatif kalem dan tak seganas Gunung Toba.
Dengan karakteristik Sumatra sedemikian rupa, nampaknya ada sebuah
hubungan antara aktivitas kegempaan tektonik yang dibangkitkan sistem
patahan besar Sumatra dengan aktivitas gunung-gunung berapinya terkait
pelepasan energi akibat subduksi lempeng India dan Australia terhadap
lempeng Sunda dan mikrolempeng Burma. Saat intensitas gempa-gempa
tektonik Sumatra demikian riuh seperti saat ini, maka aktivitas
gunung-gunung berapinya tergolong rendah. Dalam seabad terakhir pulau
Sumatra hanya mengalami tiga letusan gunung berapi, masing-masing
Letusan Peuet Sago 1988 (Aceh), Letusan Talang 2005 (Sumatra Barat) dan
Letusan Sinabung 2010 (Sumatra Utara). Namun saat intensitas gempa-gempa
tektonik cukup rendah, seperti pernah terjadi di masa silam, maka
giliran aktivitas kegunungapiannya yang cukup tinggi. Letusan Toba
75.000 tahun silam, yang adalah letusan terdahsyat di muka Bumi dalam
kurun 26 juta tahun terakhir, menjadi contohnya bersama dengan Letusan
Maninjau 60.000 tahun silam.
Gunung Tidur
Letusan Sinabung 2010 tergolong erupsi freatik, yakni letusan gunung
berapi yang terjadi saat magma yang sedang menanjak naik menuju tubuh
gunung mulai memanaskan air bawah tanah. Air pun berubah menjadi uap dan
terjebak di bawah sana sembari terkumpul sedikit demi sedikit, sehingga
pada akhirnya berjumlah sangat banyak dan memiliki tekanan sangat besar
hingga melampaui dayatahan batuan penyumbat saluran magma Gunung
Sinabung. Maka menyemburlah uap air keluar melalui titik terlemah yang
umumnya adalah dasar kawah sebuah gunung berapi. Sembari menyembur
keluar, uap air juga menyeret kerikil, pasir dan debu bersamanya.
Sehingga letusan ini tidak disertai muntahan magma dalam segala rupanya,
baik sebagai leleran lava melalui lereng-lerengnya ataupun tumpukan
magma segar di puncak sebagai kubah lava baru yang lantas longsor
menjadi awan panas. Bukti terjadinya erupsi freatik diperoleh dari
endapan batu dan pasir produk letusan, yang absen dari tanda-tanda
kehadiran magma segar.
Meski sanggup memproduksi erupsi freatik, tekanan uap masih jauh dari
cukup untuk mampu mendobrak kubah lava tua yang ada di puncak Sinabung.
Sebagai akibatnya arus uap pun tidak menyembur lewat Kawah I di puncak,
melainkan terpaksa berbelok ke samping sehingga keluar dari Kawah II dan
III secara bersamaan. Inilah yang menimbulkan kepulan debu vulkanik
kembar dan menjadi ikon Letusan Sinabung 2010. Letusan-letusan Sinabung
periode berikutnya diperkirakan akan terjadi lewat jalur yang sama.
Terbukti dalam Letusan Sinabung 2013 ini, debu vulkanik pun menyembur
terutama melalui Kawah III. Tiadanya jejak-jejak magma terutama berupa
luncuran lava hingga saat ini menunjukkan Letusan Sinabung 2013 pun
masih berupa erupsi freatik.
Gambar 4. Saat-saat awal kelahiran Gunung
Anak Ranakah di dekat kota Ruteng (NTT) pada akhir Desember 1987. Nampak
kolom debu vulkanik menyembur ke arah timur. Tanda panah menunjukkan
lokasi bukit Ranakah dengan menara telekomunikasi Perumtel (kini PT
Telkom) di puncaknya. Sumber: Rohi, 1988 dalam Wahyudin, 2012.
Bagaimana Gunung Sinabung bisa meletus kembali setelah 1.200 tahun
terlewat? Bagi sebagian besar kita, fakta ini memang mencengangkan.
Indonesia amat akrab dengan sejumlah gunung berapi yang demikian rajin
meletus dalam waktu-waktu tertentu. Sebut saja Gunung Anak Krakatau
(Lampung) di Selat Sunda, yang hampir setiap tahun selalu menyemburkan
debu dan magma. Atau Gunung Merapi (Jawa Tengah-DIY) yang meletus setiap
antara 2 hingga 5 tahun sekali. Demikian pula Gunung Lokon-Empun dan
Karangetang (keduanya di Sulawesi Utara). Maka bagaimana sebuah gunung
berapi bisa terdiam selama 1.200 tahun untuk kemudian meletus kembali
sepintas cukup mengejutkan. Namun dalam khasanah kegunungapian, hal ini
sebenarnya tidaklah unik baik dalam lingkup Indonesia maupun global.
Dalam seperempat abad terakhir Indonesia telah menyaksikan tiga buah
gunung berapi yang bangun kembali dari tidur panjangnya.
Selain Gunung Sinabung, dua lainnya adalah Gunung Anak Ranakah (NTT) dan
Gunung Ibu (Maluku Utara). Gunung Anak Ranakah tumbuh dari tepian
kaldera Poco Leok yang tua. Kemunculannya pada akhir 1987 menggemparkan
Indonesia dan dunia, sebab inilah untuk pertama kalinya manusia modern
menyaksikan langsung detik-detik kelahiran sebuah gunung berapi dalam
setengah abad terakhir, setelah peristiwa kelahiran Gunung Paricutin
(Meksiko) pada 1943. Pada 28 Desember 1987 sebuah ledakan dan kepulan
debu vulkanik mendadak terjadi di kaki bukit Ranakah sektor timur laut
tak jauh dari kota Ruteng. Titik ledakan terus memuntahkan magma hingga
berbulan-bulan kemudian hingga membentuk gundukan yang terus membumbung
tinggi hingga seukuran bukit (kubah lava) yang kemudian diberi nama
Gunung Anak Ranakah.
Demikian pula Gunung Ibu di pulau Halmahera bagian utara, yang juga tak
menunjukkan aktivitas muntahan magma dalam kurun cukup lama. Sehingga
sekujur tubuh gunung hingga ke puncak, bahkan hingga ke dalam kawahnya
yang berdiameter 1 kilometer itu dipenuhi dengan tetumbuhan lebat. Siapa
sangka gunung berapi ini mendadak meletus pada Desember 1998 yang
berujung dengan terbentuknya kubah lava baru di dasar kawah semenjak 20
Januari 1999. Berbeda dengan Gunung Sinabung yang ‘hanya’ terdiam selama
1.200 tahun, kawasan di kompleks kaldera Poco Leok maupun Gunung Ibu
tak menunjukkan jejak aktivitas vulkanik muntahan magma dalam kurun
15.000 tahun terakhir. Ini jauh melampaui batasan standar dunung berapi
aktif terketat yang dilansir Global Volcanism Program Smithsonian, yakni
maksimum 10.000 tahun terakhir. Dengan demikian baik kaldera Poco Leok
maupun Gunung Ibu bisa dikatakan sebagai gunung berapi tak aktif sebelum
masing-masing terbangun kembali.
Gambar 5. Magma segar yang mulai menumpuk
membentuk kubah lava baru di dasar kawah Gunung Ibu yang telah menjadi
hutan belantara pada Januari 1999, sebagai pertanda bangunnya gunung
berapi ini dari tidur panjangnya selama 15.000 tahun. Sumber; Wittiri,
2009.
Satu hal yang mengkhawatirkan dari gunung-gunung berapi yang meletus
kembali setelah sekian lama adalah potensi terjadinya letusan dahsyat
yang katastrofik, atau bahkan kolosal. Pada dasarnya kian lama sebuah
gunung berapi terdiam, kian banyak gas-gas vulkanik yang tersekap di
dalam dapur dan kantung magmanya sehingga kian besar energinya. Maka
tatkala meletus, terjadilah pelepasan energi dalam jumlah besar yang
sanggup menghancurkan puncak gunung atau bahkan hampir keseluruhan tubuh
gunung hingga membentuk kawah raksasa (kaldera) dengan dampak letusan
bersifat regional. Meletus dahsyatnya Gunung Pinatubo (Filipina) pada
1991 menjadi contoh terkini, dimana gunung berapi tersebut terbangun
kembali setelah lebih dari 600 tahun.
Kabar baiknya, tak setiap gunung berapi yang lama tertidur kemudian
meletus dahsyat tatkala terbangun. Gunung Sinabung menjadi salah satu
contohnya. Meski harus digarisbawahi bahwa bagaimana karakter letusan
gunung berapi ini ke depan masih menjadi tanda tanya seiring belum
terjadinya erupsi magmatik (letusan yang memuntahkan magma).
Rujukan :
Sutawidjaja dkk. 2013.
The August 2010 Phreatic Eruption of Mount Sinabung, North Sumatra. Jurnal Geologi Indonesia vol. 8 no. 1 (Maret 2013) hal. 55-61.
Hendrasto dkk. 2012.
Evaluation of Volcanic Activity at Sinabung Volcano, After More Than 400 Years of Quiet. Journal of Disaster Research vol. 7 no. 1 (2012).
Wahyudin, 2012.
Vulkanisme dan Prakiraan Bahaya Gunung Api Anak Ranakah, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi vol. 3 no. 2 (Agustus 2012) hal. 89-108.
Wittiri. 2009.
Indikasi Munculnya Kubah Lava Berdasarkan Rekaman Seismik. Jurnal Geologi Indonesia vol. 4 no. 2 (Juni 2009) hal. 93-101.
Wittiri. 2010.
Gunung Sinabung Naik Kelas. Majalah Warta Geologi vol. 5 no. 3 (September 2010) hal. 36-39.
Komentar