Featured Post
Determinasi Rasa Sakit Hati
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Terdakwa (FS) dalam pembunuhan Brigadir J sudah mengakui perbuatannya. Dalam keterangannya FS mengatakan bahwa dia sakit hati saat istrinya menelepon Brigadir J telah melakukan perbuatan yang menjatuhkan martabat keluarga. Pengakuan ini direspon oleh ayah Alamarhum Yoshua, “kami dari keluarga merasa bingung atas keterangan resmi yang dikeluarkan Mabes Polri yang mengatakan unsur sakit hati yang dimulai sejak dari Magelang hingga Sambo membunuh Yoshua” (nasional.tempo.co)
Dari keterangan
Sambo ada kesan bahwa determinasi rasa sakit hati sangat kuat mempengaruhi sistem
kesadaran manusia dan metode pengambilan keputusan Seolah olah rasa sakit hati membuat
pertimbangan proaktif tidak mempan lagi dalam membuat keputusan yang lebih positif dan lebih
tepat. Benar kah demikian ?
Eleanor
Roosevelt istri Presiden FD Roosevelt pernah mengatakan sebuah ungkapan yang
sangat terkenal “tidak ada seorang pun yang bisa membuat Anda sakit hati tanpa
seijin Anda”. Ungkapan ini mengandung
makna bahwa sakit hati atau tidak seseorang bukan hanya karena informasi dari
luar dirinya tapi dia sendiri lah yang
mengijinkan dirinya untuk sakit
hati. Jadi pilihanyya sendiri lah yang membuat
seseorang sakit hati atau tidak.
Kalau saya
sandingkan pendapat Eleanor Roosevelt
dengan pendapat Gusdur maka hal itu menjadi lebih mudah dipahami. Misalnya kalau seseorang mengatai Anda monyet. Atau monyet yang sering nyengir, apakah Anda
sudah pasti sakit hati ? Ingat kata
Gusdru “itu saja koq report’.
Hahahha. Begitu Anda mengingat
perkataan Gusdur, perkataan moyet, atau perkataan apa pun yang membully kita
bisa hilang dan tidak mempengaruhi pikiran kita sama sekali.
Lagi pula,
kita tidak harus menjadi monyet hanya kalau sejuta orang mengatai kita monyet
bukan? Nah kalau begitu “apa yang
dikatakan oleh Eleanor Roosevelt sangat tepat.
Tidak seorang pun bisa membuat kita sakit hati tanpa seijin kita.
Penjelasan yang
lebih sistematis pernah juga dikatakan Steven Covey saat dia menulis bukunya “The 7 Habit Of Effective People”, yang sangat
terkenal itu. Ketika mengulas kebiasaan
pertama, “Be Proactive” atau kebiasaan proaktif dia mengatakan ada mekanisme
berfikir yang sangat berlawanan antara orang proaktif dengan orang
reaktif.
Seseorang
yang reaktif sudah bisa diramalkan apa responnya jika mendapatkan satu stimulus
atau informasi dari luar dirinya. Jika
berita sedih dia langsung sedih atau kecewa.
Ketika mendapat berita senang dia langsung tertawa, Ketika permintaannya ditolak dia langsung
sakit hati. Seolah olah stimulus yang
dia dapat/terima itu segera menentukan pemikiran dan prilakunya. Dia tidak lagi memakai otaknya untuk
menyaring informasi atau stimulus itu.
Ibarat tanaman Putri Malu, begitu mendapat sentuhan di daunnya segera mengkerut. Begitu ada rangsang dari luar segera dia
meresponnya. Dan respon responnya sudah dapat
diprediksi atau ditentukan oleh orang yang mengamatinya.
Sedangkan orang proaktif tidak serta merta merespon
apapun stimulus yang dia terima. Dia
akan jeda sebentar, atau menyaring dan memikirkan responnya. Dan responnya itu selalu positif karena berlandas kepada prinsip prinsip kebenaran dan
universal. Steven Covey menambahkan
bahwa ada 4 wahana yang dipakai seseorang ketika menyaring informasi atau stimulus
dari luar yaitu kesadaran diri, daya imaginasi, suara hati dan kehendak bebas.
Suatu kali
saat dia masih kuliah di Afrika Selatan
Mahatma Gandhi tiba tiba dia dipukul di wajah dengan kencang oleh
seorang mahasiswa berkulit putih. Apa
respon Mahatma Gandhi, di Negara yang
kala itu masih menerapkan system aparteid?
Dia diam sebentar lalu dia berbicara dengan volume suara yang tidak terlalu
keras, “hey kawan, kalau kamu berfikir saya marah
karena kamu sudah meninju saya, kamu salah, saya tidak marah”
Nah respon Mahatma
Gandhi terhadap stimulus berupa bogem / tinju orang lain di wajahnya sesuatu
yang sangat mengejutkan kita, karena dia membuat pilihan dengan kehendak
bebasnya (memilih dan memutuskan)
berdasarkan kesadaran dirinya, imaginasinya dan suara hatinya. Sistem nilai Mahatma Gandhi pun pasti ikut
berperan yaitu nilai nilai universal yang dia tanamkan dalam hatinya.
Respon Pak Sambo saat
mendengar telepon dari Istrinya (seandainya benar) adalah respon yang sangat reaktif bukan
seorang yang proaktif. Seharusnya ada
jeda waktu bagi Pak Sambo untuk memberikan kesadaran dirinya, imaginasinya,
suara hatinya dan kehendak bebasnya saat menentukan pilihan atau keputusannya
mendengar laporan istrinya.
Jadi saya
bisa memahami kebingungan Pak Samuel Hutabarat ayah alm Brigadir Yoshua terhadap pengakuan Pak Sambo. Mengapa dia akhirnya membiarkan sakit hatinya
untuk merencanakan pembunuhan kepada sang ajudan Brigadir Yoshua. Rasa heran
Pak Samuel dan rasa heran kita semua bertambah besar mengingat Pak Sambo pasti
sudah harus melewati banyak pendidikan formal dan pengalaman lapangan untuk
bisa menjadi seorang jenderal. Bahkan Pak
Sambo pernah dilaporkan perwira Polisi yang paling cepat (usia paling muda) meraih
bintang atau jenderal polisi.
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Saya menyoroti dari Sisi Pengetahuan. Untuk Menghilangkan Jejak yang dilakukan oleh Pelaku, sebegitu gampangnya ketahuan, dan sedikitpun tidak menggambarkan keprofesionalan sebagai petugas yg terlatih. Apakah hanya sebatas ini pengetahuan Polri ? Pelakunya adah Jemdral, tapi Pengetahuannya sangat minim. Semoga tidak seperti itu dangkalnya Pengetahuan polri kita.
Ma la me jago ... impalku?
Ma la me jago ... impalku?