Featured Post

Catatan Tambahan PJJ 28 April – 4 Mei 2024

Gambar
  Thema :  Ersada Ukur Ras Ersada Sura Sura 1 Korinti 1 : 10 – 17   Bahasa Karo  O senina-senina, kupindo man bandu i bas gelar Tuhanta Jesus Kristus: ersadalah katandu kerina, gelah ula sempat jadi perpecahen i tengah-tengahndu. Ersadalah ukurndu janah ersadalah sura-surandu. Maksudku eme: maka sekalak-sekalak kam nggo erpihak-pihak. Lit si ngatakenca, "Aku arah Paulus, " lit ka si ngatakenca, "Aku arah Apolos, " deba nina, "Aku arah Petrus, " janah lit pe si ngatakenca, "Aku arah Kristus." Sabap piga-piga kalak i bas jabu Klue nari ngatakenca man bangku maka i tengah-tengahndu lit turah perjengilen. Ibagi-bagiken kin Kristus man bandu? Paulus kin si mate i kayu persilang man gunandu? I bas gelar Paulus kin kam iperidiken? Kukataken bujur man Dibata sabap sekalak pe kam la aku mperidikenca, seakatan Krispus ras Gayus. Dage sekalak pe kam la banci ngatakenca maka kam nai iperidiken gelah jadi ajar-ajarku. Lupa aku! Istepanus ras isi jabuna pe nai

CIRUS SINAGA YANG MENGINGATKAN URIP TRI GUNAWAN

J

aksa Cirus Sinaga resmi menjadi pesakitan. Sekarang ditahan di Rutan Salemba, sebagai terdakwa dalam kasus korupsi, berkaitan dengan kasus Gayus Tambunan. Jaksa Cirus Sinaga mengingatkan kita kepada Jaksa Urip Tri Gunawan, yang kasus nya mencuat 3 tahun yang lalu. Juga dalam kasus korupsi atau penyuapan. Korupsi dan penyuapan, yah sama saja. Semua berkaitan dengan duit. Jaksa, yang mewakili negara untuk menuntut orang yang bersalah, demi keadilan dan demi keberlangsungan negara, ehh ternyata bukan mewakili negara tapi mewakili dirinya sendiri. Masih adakah Jaksa yang layak dan cukup terhormat untuk mewakili negara? Saya pesimis. Benar pesimis sekali. Dalam 3 tahun, dua jaksa menjadi bintang TV dan Media, karena kebobrokan moral dan etika nya. Bukan jadi tontonan positif, tapi tontonan keprihatinan. Apa dasar dan implikasi dari kasus ini?

Gagalnya pembinaan Moral dan Ketangguhan Karakter di Kejaksaan RI.

Bagi saya, Cirus dan Urip adalah representasi dari seluruh Jaksa. Dan kegagalan Cirus dan Urip adalah kegagalan dari Jaksa secara keseluruhan, terutama kegagalan dari pembinaan moral dan karakternya. Saya tidak tahu persis bagaiamana kurikulum pembinaan jaksa, sehingga nantinya dapat menghasilkan lulusan yang layak disebut jaksa. Lulus menjadi jaksa sebagai kelanjutan tangan negara dalam menuntut Warga Negara atau orang yang bersalah. Nah yang saya lihat pembinaan dan pelatihan bagi para jaksa itu gagal untuk memberikan penekanan identitas dan kebanggaan sebagai jaksa. Sebab sebagai Jaksa, seharusnya setiap orang yang memilihnya menjadi profesi (panggilan hidupnya) harus menyadari keuntungan dan kerugian (makna dan “harga”) menjadi Jaksa. Seharusnya sistem pembinaan dan pelatihan itu mampu membuat calon calon jaksa itu merasa BANGGA menjadi Jaksa, meskipun ada kekurangan dalam uang (gaji) yang dia peroleh. Sebab dia bekerja untuk negara.


Sebagai contoh yang pernah saya dengar, betapa sulit menjadi Pastor dalam lingkungan agama Katolik. Dan ketika dia diterima menjadi pastor, maka ada konsekwensi untuk tidak pernah menikah seumur hidupnya. Memilih orang yang layak menjadi Pastor memerlukan sistem pembinaan dan pelatihan yang sangat panjang, dengan disiplin sangat ketat. Sampai akhirnya ditentukanlah seleksi akhir siapa yang layak menjadi Pastor. Hasilnya, semua yang tidak terpilih menjadi Pastor akan meratapi kegagalannya. Mereka yang tidak terpilih menjadi pastor, akhirnya bekerja di luar gereja dalam lingkungan bisnis, organisasi LSM, Partai politik dan yang lain. Banyak yang berhasil menjadi Human Resouces Manager atau Director. Uangnya banyak, Gajinya cukup menghantarkan mereka menjadi masyarakat kelas menengah ke atas. Namun, mereka pernah menangisi pekerjaan yang tidak menghasilkan uang.

Sekali Lancung Keujian, seumur hidup orang tidak percaya.

Kenyataan “dirutankan” nya Cirus Sinaga akhirnya dengan tegas menjelaskan siapa Jaksa Cirus Sinaga. Dia punya mind set, paradigma berfikir, habit atau karakter. Secara moral diragukan. Secara ketangguhan pendirian disangsikan. Menyisakan pertanyaan “bagaimana dengan kasus kasus yang sebelumnya dia tangani”. Kasus besar sebelumnya yang dia tangani adalah menjadi jaksa penuntut dalam Kasus Antasari Azhar yang dituduh sebagai otak yang mengatur pembunuhan Nazaruddin Samsuddin. Belakangan kasus ini dianggap banyak rekayasa. Banyak yang aneh dan tidak masuh akal. Bahkan semua hakim yang mengadili kasus ini pun rencananya akan diperiksa Komisi Yudisial. Kalau begitu, Jaksa Cirus terpilih menjadi jaksa di kasus ini, bisa jadi bagian dari rekayasa. Bukti saling menguatkan pun terjadi. Kasua Gayus membuktikan kelemahan moral Jaksa Cirus, dan Jaksa Cirus menguatkan bukti bahwa Kasus Antasari adalah sebuah rekayasa.

Persoalan menjadi menarik, sebab Cirus Sinaga dan Antasari Azar sama sama jaksa. Yang satu menuntut yang satu, ketika mempunyai kedudukan sebagai Ketua KPK yang pada saat kasusnya muncul, mempunyai reputasi sangat baik. Antasari Azar pada saat menjadi ketua KPK dikenal berani, lugas, cepat dan mempunyai Tim yang cerdas, muda, energik sehingga menjanjikan sesuatu yang sangat baik dan positif. Cirus Sinaga dibina menjadi Jaksa. Antasari Azar dibina menjadi Jaksa. Pembinaan nya dalam satu institusi yang sama. Koq hasilnya berbeda? Jelas berbeda, karena karakter dasar orangnya berbeda. Ini adalah masalah rekrutmen.

Kesimpulan, kedepan Kejaksaan Agung Republik Indonesia harus memperbaiki Sitem Perekrutannya dan memperbaharui Sistem Pembinaannya supaya tidak salah merekrut dan membina Jaksa Jaksa. Kasihan Cirus Sinaga dan Urip Tri Gunawan yang direkrut menjadi Jaksa, padahal potensi terbesarnya adalah menjadi Pengusaha atau Ketua Partai Politik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indah Pada Waktunya / Pengkhotbah 3:11-15 ( Pekan Penatalayanan Hari Keempat)

Catatan Tambahan PJJ 1 – 7 Oktober 2023

Catatan Tambahan PJJ 27 Agustus – 2 September 2023