Catatan Tambahan PJJ 27 April - 3 Mei 2025
.jpg)
Peradaban Karo, jika dikaji lebih dalam, memiliki prinsip dan filosofi yang sangat menarik. Daya tarik ini membuat banyak orang ingin mempelajarinya, bahkan menjadi bagian dari peradaban Karo itu sendiri.
Banyak orang, terutama melalui proses pernikahan dengan pemuda atau pemudi Karo, bersedia dianugerahi marga atau beru Karo. Tidak sedikit tokoh bersedia dinobatkan atau diberikan marga/beru Karo melalui serangkaian upacara adat yang penuh makna.
Ketika seseorang diberikan marga atau beru, maka akan dicarikan dan diberikan pula sangkep nggeluh-nya (keluarga adatnya), yang mencakup senina/sembuyak, kalimbubu, dan anak beru. Dengan demikian, ia tidak lagi berdiri sendiri, karena sudah jelas siapa senina/sembuyak-nya (orang-orang yang semarga), siapa kalimbubu-nya (paman dari pihak ibu), dan siapa anak beru-nya (keponakan dari pihak ayah).
Dalam pelaksanaan upacara adat Karo, seperti upacara perkawinan, ada tradisi-tradisi yang konsisten dijalankan dari dahulu hingga sekarang, misalnya tiga rangkaian proses: Maba Belo Selambar (MBS), Nganting Manuk, dan Mata Kerja. Yang menarik, tetap dipertahankan pula tradisi duduk lesehan di atas amak mentar (tikar putih). Tidak peduli setinggi apapun pangkat atau jabatannya, orang tetap duduk lesehan. Bila seseorang berperan sebagai anak beru, maka posisi duduknya harus lebih rendah dari kalimbubu—sebuah ekspresi penghormatan yang mendalam.
Salah satu bukti kehebatan peradaban Karo adalah keberhasilannya menanamkan rasa bangga dan kepercayaan diri dalam diri generasi muda Karo. Hampir di semua bidang profesi, kita bisa menemukan merga silima. Dari seniman hingga sejarawan, dari dosen hingga peneliti, dari sipil hingga militer dan polisi, dari olahragawan hingga aktivis sosial, dari jurnalis hingga penulis buku, bahkan motivator—semua ada yang berasal dari Karo dan menunjukkan prestasi yang membanggakan.
Dalam beberapa pribadi orang Karo, saya menemukan hal-hal yang sangat menarik—dan saya percaya itu merupakan buah dari tingginya peradaban Karo. Salah satunya adalah sosok yang sangat menginspirasi saya: Mama Barata Berahmana. Beliau tidak hanya tertarik mengangkat seluruh aspek budaya, aksara, cerita sejarah—singkatnya, seluruh peradaban Karo—tetapi juga dengan tulus menyumbangkan uang dalam jumlah yang tidak terbatas, meluangkan waktu untuk berdialog dengan berbagai kalangan, dan aktif membagikan pemikiran-pemikirannya lewat grup WhatsApp yang ia ikuti.
Kekaguman saya pada Mama Barata Berahmana tidak berhenti sampai di situ. Di usianya yang telah menginjak 86 tahun pada 2025, beliau tetap sehat prima, gemar mengundang banyak orang untuk berdiskusi sambil makan dan minum anggur merah—bukan di sembarang tempat, tetapi di hotel berbintang lima.
Apakah semua ini buah dari penghayatan dan etos kerja yang tumbuh dari peradaban Karo? Jika ya, maka peradaban Karo haruslah direvitalisasi dan disosialisasikan kepada generasi muda Karo, agar kelak tumbuh lebih banyak Barata-Barata lainnya—yang berprestasi dalam dunia kerja dan bisnis, keluarga, kesehatan dan usia, relasi sosial, serta gaya hidup yang menghargai dan menghormati sesama.
Satu-satunya kekurangan yang saya lihat dan rasakan (tentu ini pandangan subjektif saya) adalah kadang beliau terlalu cepat membela seseorang tanpa terlebih dahulu mendengarkan kedua belah pihak. Namun itu hanyalah 10% dari dirinya. Sedangkan 90% lainnya—karakter, cara berpikir, dan prestasi hidupnya—adalah yang terbaik dan sangat ideal menurut saya.
Bagi saya, Mama (Paman) Barata Berahmana adalah magnet dari peradaban Karo itu sendiri. Mengagumi beliau, berarti mengagumi peradaban Karo.
Komentar