Catatan Tambahan PJJ 27 April - 3 Mei 2025
.jpg)
Thema Khotbah: Merasakan Penderitaan untuk Mempermuliakan Tuhan (Ngenanami Kiniseraan Guna Mpermuliakan Dibata)
Nas: Yohanes 12:27-36
I. Pendahuluan
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus,
Setiap manusia pasti pernah mengalami penderitaan. Namun, respons kita terhadap penderitaan dapat sangat berbeda. Ada yang menyerah, ada yang memberontak, ada pula yang berusaha mencari makna di balik penderitaan tersebut.
Yesus Kristus, dalam Yohanes 12:27-36, mengajarkan kepada kita bahwa penderitaan bukanlah tanda kegagalan atau hukuman, melainkan dapat menjadi sarana untuk mempermuliakan Tuhan. Penderitaan yang diterima dengan iman dan ketaatan justru dapat memperlihatkan kemuliaan Tuhan yang lebih besar.
Melalui khotbah ini, kita akan menggali lebih dalam makna teologis dari penderitaan Yesus, relevansinya bagi jemaat saat ini, dan bagaimana kita bisa menghidupi panggilan menjadi "anak-anak terang" di tengah dunia yang gelap.
II. Fakta dari Yohanes 12:27-36
Ada empat fakta penting yang menjadi dasar pemahaman kita tentang teks ini:
1. Yesus Mengalami Kegetiran Batin yang Mendalam
Yesus berkata, "Sekarang jiwa-Ku terharu." (Yohanes 12:27). Kata terharu dalam bahasa Yunani yang digunakan adalah tarassō (ταράσσω) yang berarti "kegelisahan batin yang mendalam" atau "gejolak batin yang hebat."
Yesus tidak menyembunyikan pergumulan batin-Nya. Penderitaan yang Ia hadapi begitu berat, bahkan sebagai Anak Allah, Yesus mengalami gejolak emosional yang sangat besar. Namun, yang menarik, Yesus tidak berdoa agar penderitaan itu dijauhkan. Sebaliknya, Ia berdoa: "Bapa, muliakanlah nama-Mu!"
Yesus mengajarkan bahwa di tengah penderitaan yang berat, sikap yang benar adalah berserah penuh pada kehendak Bapa.
2. Dialog antara Yesus dengan Bapa di Sorga
Dalam teks ini, Allah Bapa menegaskan dua hal penting:
"Aku telah memuliakan-Nya": Menunjuk pada pelayanan Yesus selama hidup-Nya yang sudah membawa kemuliaan bagi Allah.
"Aku akan memuliakan-Nya lagi": Merujuk pada penderitaan, kematian, dan kebangkitan Yesus yang akan membawa kemuliaan yang lebih besar.
Dialog ini menegaskan bahwa penderitaan Yesus bukanlah peristiwa yang tidak terkendali, tetapi merupakan bagian dari rencana Allah yang besar.
3. Puncak Penderitaan Yesus adalah Kematian-Nya di Kayu Salib
Yesus berkata, "Apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku." (Yohanes 12:32).
Frasa "ditinggikan" mengandung dua makna: secara fisik mengacu pada penyaliban, namun secara teologis menunjuk pada kemuliaan-Nya yang terlihat melalui salib. Penderitaan-Nya menjadi sarana penebusan dunia.
4. Pesan Yesus kepada Para Pendengar-Nya
Yesus berkata, "Hanya sedikit waktu lagi terang ada di antara kamu... Percayalah kepada terang itu." (Yohanes 12:35-36).
Ini adalah peringatan bagi semua orang untuk tidak menunda-nunda pertobatan dan beriman kepada Kristus. Penderitaan yang Yesus hadapi adalah undangan bagi semua orang untuk hidup dalam terang-Nya.
III. Makna Teologis
Ada tiga makna teologis mendalam yang dapat kita gali dari teks ini:
1. Penderitaan sebagai Jalan Menuju Kemuliaan
Theolog Dietrich Bonhoeffer dalam bukunya The Cost of Discipleship menulis:
> "Ketika Kristus memanggil seseorang, Ia memanggilnya untuk datang dan mati."
Yesus mengajarkan bahwa kemuliaan sejati tidak terletak pada kenyamanan duniawi, melainkan pada kesediaan untuk menderita bagi kebenaran dan kehendak Allah.
2. Ketaatan yang Radikal sebagai Wujud Kasih
Yesus menunjukkan bahwa ketaatan tidak ditentukan oleh kondisi yang nyaman. Dalam penderitaan yang begitu besar, Yesus tetap memilih untuk taat kepada kehendak Bapa. Paulus menulis dalam Filipi 2:8, "... Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib."
Ketaatan Yesus adalah bukti kasih-Nya yang radikal kepada Allah dan kepada dunia.
3. Penderitaan sebagai Sarana Penebusan
Yesus berkata, "...Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku." (Yohanes 12:32).
Penebusan yang Yesus lakukan melalui penderitaan-Nya menegaskan bahwa penderitaan yang diterima dengan iman dapat membawa dampak rohani yang besar. Dalam konteks ini, penderitaan menjadi sarana pemulihan, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
IV. Relevansi dengan Kondisi Jemaat Saat Ini
Masyarakat GBKP, yang terdiri dari 20% urban dengan pencapaian hidup yang tinggi dan 80% rural dengan kehidupan subsisten, menghadapi tantangan yang beragam.
1. Bagi yang hidup nyaman dan sukses:
Peringatan Yesus agar tidak terlena oleh kesuksesan duniawi sangat relevan. Kesuksesan tanpa kesadaran spiritual dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kegelapan rohani.
2. Bagi yang hidup dalam kesulitan dan penderitaan:
Firman ini memberi pengharapan bahwa penderitaan bukan akhir dari segalanya. Dalam penderitaan, Tuhan hadir dan mempersiapkan kita untuk mengalami kemuliaan-Nya.
Dalam dunia yang cenderung pragmatis, firman ini menantang kita untuk mengembangkan pola pikir teologis yang lebih dalam — melihat penderitaan bukan hanya sebagai masalah, tetapi sebagai sarana pertumbuhan rohani dan jalan menuju kemuliaan Allah.
V. Kerygma / Implementasi
Firman ini menuntut kita untuk:
1. Melihat Penderitaan sebagai Sarana Pertumbuhan
Ketika menghadapi penderitaan, mari kita bertanya: “Apa yang Tuhan sedang kerjakan melalui situasi ini?”
2. Meneladani Ketaatan Yesus yang Radikal
Seperti Yesus yang tetap taat hingga mati di salib, kita pun dipanggil untuk taat kepada kehendak Allah, meskipun jalannya terasa sulit.
3. Menjadi "Anak-anak Terang" di Tengah Kegelapan
Kita dipanggil untuk hidup dalam terang Kristus — menghadirkan kasih, keadilan, dan pengharapan di tengah masyarakat yang sedang bergumul dengan berbagai tantangan hidup.
VI. Kesimpulan
Saudara-saudari yang terkasih,
Penderitaan yang kita alami tidak selalu berarti kegagalan atau hukuman. Seperti yang Yesus tunjukkan, penderitaan dapat menjadi sarana yang sangat kuat untuk memuliakan Tuhan.
Apakah kita berani melihat penderitaan sebagai kesempatan untuk bertumbuh dalam iman? Apakah kita siap menjadi "anak-anak terang" yang membawa harapan dan kasih Kristus kepada dunia yang gelap ini?
Mari kita belajar dari Yesus, yang dalam penderitaan-Nya memilih untuk berkata: "Bapa, muliakanlah nama-Mu!"
Amin.
Catatan Kaki / Referensi
1. Dietrich Bonhoeffer, The Cost of Discipleship (New York: Touchstone, 1995).
2. William Barclay, The Gospel of John (Louisville: Westminster John Knox Press, 2001).
3. Craig S. Keener, The Gospel of John: A Commentary (Grand Rapids: Baker Academic, 2003).
4. N. T. Wright, The Day the Revolution Began (San Francisco: HarperOne, 2016).
5. D.A. Carson, The Gospel According to John (Grand Rapids: Eerdmans, 1991).
Komentar