Featured Post

Perlunya Pembinaan Partisipatif dan Regeneratif di GBKP Runggun Graha Harapan Bekasi

Gambar
  Pt. Em Analgin Ginting M.Min.  Pendahuluan Pembinaan jemaat merupakan salah satu tugas hakiki gereja yang tidak dapat dipisahkan dari panggilan teologisnya sebagai ekklesia—umat Allah yang dipanggil, dibentuk, dan diutus ke tengah dunia (Ef. 4:11–13). Gereja bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga ruang pembelajaran iman, karakter, dan kepemimpinan. Oleh karena itu, pembinaan yang berkelanjutan, partisipatif, dan regeneratif menjadi indikator penting kesehatan sebuah gereja lokal. Dalam konteks Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), pembinaan memiliki makna yang lebih luas karena terkait erat dengan sistem pelayanan presbiterial-sinodal yang menekankan kepemimpinan kolektif-kolegial (runggu). Artikel ini hendak memperdalam, melengkapi, dan mengontekstualisasikan tulisan awal mengenai perlunya pembinaan di GBKP Runggun Graha Harapan Bekasi, dengan tetap mempertahankan esensi pengalaman empiris yang telah dituliskan, sekaligus memperkaya dengan muatan teologis dan refleksi aktual....

MENGHILANGKAN WATAK FEODAL


Apa yang di tulis oleh Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia, tentang etos kerja orang Indonesia nampaknya semakin menunjukkan kebenaran. Dikatakan ada satu etos kerja kita yang positif yaitu menyukai seni dan keindahan. Indonesia mempunyai warisan yang sangat besar tentang benda-benda seni dan juga sampai sekarang kesenian kita terus berkembang. Tidak hanya dalam desain, tarian, lagu, arsitektur tapi termasuk dalam hal kuliner.

Namun menurut Lubis, etos kerja kita yang lain adalah munafik, lemah watak, percaya tahayul, enggan bertanggung jawab dan juga feodal. Melihat apa yang ditontonkan di TV-TV kita saat ini maka satu aspek yang menonjol yang saya lihat adalah watak feodal itu tadi. Jika ada seorang pribadi atau satu lembaga yang lebih tinggi kedudukannya, maka dia merasa wajar kalau orang lain yang kedudukannya ebih rendah tunduk dan mengabdi kepadanya. Selanjutnya terlihat juga jika ada satu orang yang merasa mempunyai uang, dia merasa bahwa orang lain bisa diatur oleh uang. Parahnya lagi dari pihak yang lebih rendah tadi pun merasa bahwa wajar jika dia tunduk dan mengabdi kepada orang atau lembaga yang kedudukannya lebih tinggi dan lebih berkuasa dari dirinya.

Dua contoh yang saya lihat adalah yang pertama bagaimana seorang pengusaha merasa dirinya demikian kuat dan perkasanya bisa mengatur pribadi, lembaga bahkan terkesan seluruh Bangsa ini pun bisa diaturnya, karena dia mempunyai uang . Dan juga pihak-pihak yang berhubungan dengan dia seolah-olah dibuat tidak berdaya oleh karena sepak terjangnya, dan menuruti irama permainan yang dia kumandangkan.

Contoh kedua, saya melihat bagaimana tidak berdayanya seorang wanita muda yang dengan sengaja dipajang untuk menjawab bertubi-tubi pertanyaan yang diajukan oleh wartawan-wartawan dari seluruh lembaga pers di republik ini. Saya melihat bahwa peristiwa tanya jawab tersebut sedikitpun bukan untuk dirinya sendiri. Bahkan dari beberapa jawabannya terlihat bagaimana tertekannya dia, karena memang wajar sebab suaminya sendiri adalah korban dalam peristiwa yang harus dia “klarifikasi”. Hati kecil kita langsung bertanya, mengapa sekarang dia memberikan waktu untuk diwawancarai? Mengapa bukan dulu, mengapa harus dibatasi waktunya, mengapa-mengapa? Dan kalau kita menyimak jawabannya semua nampaknya tidak ada satupun yang berhubungan dengan dirinya sendiri. Apakah dia sengaja diatur oleh suatu lembaga yang lebih kuat dari dirinya sendiri?

Disisi lain kita juga melihat bagaimana entengnya seorang pejabat menjawab semua pertanyaan dengan senyum tanpa sedikit pun rasa bersalah. Padahal kita bisa melihat dan menyimpulkan bahwa dia berada di episentrum seluruh permasalahan hukum negara kita yang saat ini sedang dalam titik terendahnya. Bukankah semua penampakan di atas muncul karena etos kerja atau paling tidak paradigma feodal itu tadi?

Membenahi hukum, institusi penegakan hukum dan juga seluruh masyarakat sebagai objek hukum saya usulkan dimulai dari menghilangkan paradigma atau etos kerja feodalis tadi. Marilah kita memandang saudara kita sebagai orang yang sejajar dengan kita. Terutama kita di posisi yang rendah, oke kita memang mempunyai kedudukan, kekayaan dan kesempatan yang lebih rendah dari mereka, tapi kita bisa saja berkata ‘TIDAK” atas semena-mena mereka. Seperti yang pernah dikatakan oleh Mahatma Gandhi “mereka atau siapun tidak akan mampu membeli harga diri kita kecuali kita menjualnya” .

Dan bagi Lembaga dan seluruh pejabat-pejabat yang duduk di Lembaga tersebut, mohon untuk tidak memakai kedudukan Anda dan lembaga Anda untuk menguasai rakyat, memperlakukan kami hanya untuk kepentingan Anda. Tapi layanilah kami, hargailah kami, dan buatlah kami merasa bangga dan beruntung sebagai Bangsa Indonesia atas semua prilaku empatik Anda kepada kami. Kalau hal ini anda lupakan, ada kekuatan yang amat besar yang dapat menginterfensi dan menghentikan Anda. Dan jika Anda berhenti melayani kami, maka kami pun menjadi sengsara juga.

Oleh sebab itu kepada kita semua, lintas kedudukan, lintas kekayaan, lintas suku bangsa dan agama, kita jadikan saat ini adalah saat yang paling tepat untuk menghilangkan paradigma feodalisme dari otak seluruh anak Bangsa Indonesia. Saya berterima kasih dan merasa “Berutang” kepada pembantu di rumah saya atas seluruh pengabdian yang sudah ditunjukkan. Saya berdoa agar Anda menemukan kebahagiaan sejati Anda di tengah-tengah keluarga kita. Hidup dan Makmurlah Bangsa Ku Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Tambahan PJJ 6 - 12 Juli 2025

Catatan Tambahan PJJ 6 - 12 April 2025

Catatan Tambahan PJJ 11 – 17 Mei 2025