Sebenarnya semua cerita atau legenda tidaklah perlu dicari kebenarannya apakah memang terjadi persis seperti yang diceritakan. Sebab mau tidak mau kita akan memakai logika berfikir kita saat ini. Sedangkan semua cerita lahir berdasarkan kecerdasan berfikir masyarakat dulu yang jaraknya ratusan bahkan ribuan tahun. Lalu apa yang bisa kita petik, ketika dalam dunia sangat modern seperti ini kita disuguhkan lagi pertunjukan yang mengisahkan legenda jaman lalu?
Pertanyaan ini mengemuka ketika menyaksikan Pertunjukan Drama Puti Hijau produksi Teater Aron, yang dengan sangat baik di sutradari oleh Budayawan Muda Indonesia dari suku Karo, Joey Bangun, di TIM Jakarta pada tanggal 16 Oktober. Pertunjukan yang memakan waktu lebih kurang 200 menit itu, mengisahkan secara lengkap kisah Putri Hijau.
Dikisahkan seorang Ibu br Sembiring yang dipanggil Tekang, tiba-tiba hamil, namun tidak ada siapapun yang mengetahui siapa suaminya , termasuk dia sendiri dan keluarganya. Akibat malu, dan memperkirakan bahwa seluruh penduduk Desa Seberaya akan mengusir dia, maka dengan diam-diam dia pergi dan menetap di pinggiran sungai di satu tempat yang disebut Lau Pirik.
Akhirnya si Ibu melahirkan tiga anak kembar, yang pertama dalam bentuk naga, yang kedua seorang wanita yang sangat cantik (diperankan oleh Mindy Br Silangit yang memang putih dan cantik :), dan ketiga adalah seorang laki-laki dalam wujud sebuah meriam. Ketiga anak bertumbuh bersama dan mempunyai ikatakan batin yang sangat kuat. Si Beru Putri karena wujudnya sebagai manusia normal bertugas untuk mencari makan untuk mereka bertiga, dan saat makan bersama pun kelihatan mereka selalu sama-sama dan saling berbagi dan saling menghormati. Bahkan mereka bertiga mempunyai kredo yang berkali-kali mereka ucapkan: “Kami telu sada nioga, erlape-lapeken tendi nuri-nuri dst....”
Suatu malam, sang putri bertemu dengan Raja Seberaya bermarga Karosekali yang jatuh hati kepadanya. Dengan sabar sang raja memperkenalkan diri dan menyampaikan maksudnya untuk mempersungting si Beru Putri, yang dijawab dengan “ku sungkun lebe duana turangku” (aku tanya persetujuan kedua saudara laki-lakiku). Sementara itu, dua saudara laki-laki si Beru Putri manjadikan ternak-ternak peliharaan Rakyat Seberaya jadi mangsanya, sampai akhirnya habis, dan membuat seluruh penduduk marah.
Setelah Raja Karosekali berhasil meminang si Beru Putri, maka sebagai rasa hormat kepada kalimbubunya dia menyuruh juak-juaknya untuk memberi makan mereka yang tetap bermukim di Lau Pirik dengan mengantarkan ternak-ternak peliharaannya yang memang banyak sekali. Sampai satu ketika semua ternak ini habis, terjadilah percekcokan antara Raja dengan juak-juaknya, dan juga dengan istrinya si Beru Putri yang terlihat lebih sayang kepada “turangnya” daripada perbulangannya (suaminya).
Sepakat mereka bertiga pergi ke Delitua, mengingat disana ada kesain Sembiring Meliala Marga/Beru Ibu mereka sendiri. Mereka bertemu dengan Raja Haru, yang mempersunting Si Beru Putri jadi Permaisurinya karena sejak Pandangan Pertama si Raja Haru langsung jatuh cinta kepadanya karena kecantikannya. Pada hal Sang Raja Haru sudah mempunyai 6 orang selir, namun belum ada yang diangkat menjadi permaisuri.
Digambarkan oleh Sutradara bahwa Kerajaan Haru pada saat itu adalah kerajaan yang sangat besar, terkenal sampai ke Johor, ke Daratan Asia, Ke Jawa dan tentu saja ke Kerajaan Samudra Pasai, di Tanah Aceh. Suatu saat Kerajaan Haru kedatangan tamu sang Raja Aceh. Ketika melihat sang Beru Putri yang sudah menjadi permaisuri Raja Haru, dia pun jatuh cinta. Ketika pulang ke Aceh, bayangan kecantian Sang Beru Putri tidak pernah hilang. Lalu Dia mengirim utusannya kepada Raja Haru untuk melamar permaisuri raja jadi istrinya sendiri. Tentu saja lamaran ini ditolak mentah-mentah. Sehingga terjadilah perang antara Kerajaan Samudra Pasai dengan Kerajaan Haru. Peperangan di menangkan oleh Haru, karena dibantu oleh dua orang Turang si Beru Putri yaitu Naga dan Meriam.
Karena kalah dalam berperang, maka si Raja Aceh mengubah taktik yaitu menyogok panglima perang Raja Haru dengan uang yang begitu banyak. Dengan mudah Raja Haru bisa dibunuh, setelah menaklukkan semua panglimanya yang mabuk dengan uang sogokannya. Meriam dan Naga pun berperang sendiri-sendiri dan dengan mudah dikalahkan. Si Beru Putri oleh Raja Aceh diubah namanya menjadi Putri Hijau, dan dibawa ke Aceh. Di tengah jalan Sang Naga turang sintua Putri Hijau menangkap kembali si Putri Hijau dan dibawa ke dasar lautan. Sang meriam karena kalah kembali ke Seberaya, menemui Raja Karosekali, yang dengan sangat baik diperankan sendiri oleh sutradara Joey Bangun, untuk diterima kembali. Tapi dia ditolak dan diusir. Karena teringat bahwa Meriam Bere-bere Sembiring Meliala adalah anak beru di Sukanalu maka dia pergi ke Sukanalu. Sampai sekarang meriam ada di Sukanalu, dihormati dengan cara membuat tempatnya, tidak berapa jauh dari Loos Kuta.
Pertunjukan ini, terasa sangat menyejukkan karena mengangkat legenda dari daerah Karo, dan di lakukan di tempat yang sangat bergengsi di TIM (pertunjukan dilakukan dua hari, 16 dan 17 Oktober, melibatkan lebih dari 60 orang pemain dan penari latar). Pada pertunjukan pertama, penonton lebih setengah gedung memenuhi, sedangkan pertunjukan kedua lebih ¾ terisi. Joey Bangun terlihat sangat berbakat sebagai sutradara bahkan Director, karena seluruh pertunjukan dari aawal sampai akhir bisa tertata dan mengalir. Jika ada yang kurang, hanyalah beberapa pemain yang masih belum fasih benar dalam menghafalkan dialog. Seperti yang dilakukan pemeran si Raja Aceh ketika berbicara kepada Putri Hijau yang menangis di depan jenazah suaminya. “Kau makin cantik makin galak” yang mungkin maksudnya “Kau makin galak makin cantik”. Beberapa penonton di belakang penulis langsung gerrr mendengar dialog ini.
Disamping itu, ada beberapa informasi mengenai orang Karo yang bisa dipetik dari pertunjukan ini yaitu (1) bahwa orang karo sangat menghormati turangnya, baik yang perempuan kepada laki-laki, maupun yang laki-laki kepada perempuan. Setiap kali menghadapi kesulitan mereka langsung menyebutkan kredonya tadi. (2) Ada keyakinan orang karo bahwa tendi orang tua selalu menyertai anaknya. Ini sangat baik divisualisasikan oleh Joey Bangun, dimana berkali-kali si ibu yang sudah meninggal itu, dihadirkan kembali mendatangi dan membelai ketiga anaknya ini. Informasi yang lain yang disampaikan oleh Joey adalah, tentang kerajaan Haru. Yang saya sendiripun baru menyadari, pernah ada, jaya dan beribukota di Delitua. Untuk sebuah tontonan Putri Hijau tidak hanya menarik dan renyah, namun juga dapat dipakai mengenal tabiat dan karakter Suku Karo. Untuk itu Joey perlu kita apresiasi dan dukung secara optimal untuk menghadirkan dan mempertunjukkan legenda lain orang Karo. Kami menunggu karyandu selanjutnya impal. GBU.
Komentar