Membangkitkan Sifat Kepahlawanan Generasi Muda Karo

Oleh: Analgin Ginting
Bayangkan jika dunia ini dikendalikan oleh sekelompok kecil orang—mereka yang punya data, kekuasaan politik, dan kendali ekonomi. Apa jadinya nasib kita yang berada di luar lingkaran itu?
Pertanyaan ini bukan sekadar teori konspirasi. Ini realitas yang sedang terjadi. Mulai dari pemilu yang dipengaruhi algoritma media sosial, hingga harga komoditas dan pekerjaan yang dikendalikan oleh segelintir korporasi besar. Bahkan di Tanah Karo, kita bisa melihat bagaimana arah politik dan ekonomi sering kali ditentukan oleh “orang-orang tertentu” yang punya akses dan koneksi.
Dan ketika Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, secara terbuka pernah meminta agar data pribadi rakyat Indonesia dikirim ke Amerika, kita patut bertanya: Mengapa data kita begitu penting bagi kekuatan global? Jawabannya jelas—karena data adalah tambang emas abad ke-21. Siapa yang menguasai data, bisa mengendalikan arah dunia.
Coba bayangkan hidup dalam dunia di mana semua gerak-gerik kita dipantau. Apa yang kita beli, tonton, pikirkan—semua jadi data. Dan data itu dipakai untuk membentuk opini, bahkan pilihan politik kita.
Di Indonesia, kita sudah melihat bagaimana media sosial bisa diarahkan untuk menjatuhkan lawan politik atau menaikkan kandidat tertentu. Lalu datang tekanan dari luar negeri: Presiden Trump ingin Indonesia membuka akses data rakyatnya ke Amerika. Ini bukan semata demi kerjasama ekonomi—ini soal kontrol dan pengaruh global.
Di Karo, fenomena ini muncul dalam bentuk lain: elite lokal yang punya kuasa media sosial dan relasi dengan pusat, mampu menggiring suara rakyat desa tanpa rakyat benar-benar tahu sedang diarahkan ke mana.
Ada juga bahaya lain: dunia bisa kembali ke sistem “feodal,” tapi versi modern. Orang biasa hanya jadi tenaga kerja murah dan konsumen pasif, sementara elite—baik lokal maupun global—menguasai tanah, pabrik, teknologi, bahkan pikiran kita.
Kita lihat ini dalam penguasaan platform digital oleh negara-negara besar. Indonesia hanya jadi pasar, bukan pemain. Ketika Trump meminta data rakyat Indonesia, itu seperti zaman kolonialisme baru—bukan lagi rempah-rempah yang dicuri, tapi identitas dan kebiasaan digital rakyat kita.
Di Karo, beberapa kelompok elite menguasai tanah, pupuk, dan pasar. Petani hanya bisa tunduk. Sekali lagi: yang kuat menguasai, yang lemah disuruh berdoa agar hujan turun.
Belum semua hilang. Masih ada harapan. Kalau para pemimpin dan elite—baik di Jakarta, di Kabanjahe, atau di Washington DC—memiliki etika, kesadaran spiritual, dan visi kemanusiaan, maka data dan kekuasaan bisa jadi alat untuk mempercepat keadilan sosial.
Ada kepala daerah di Indonesia yang pakai data untuk membagi bansos tepat sasaran. Di Karo, anak-anak muda dan gereja mulai pakai teknologi untuk bantu petani menjual hasilnya secara digital, mengajar warga lansia cara menghindari hoaks, dan melestarikan budaya.
Elite seperti ini tidak membangun menara gading. Mereka mendirikan jembatan.
Kita harus jujur: masa depan dunia sangat bergantung pada siapa yang mengendalikan data, politik, dan ekonomi. Apakah mereka akan memakainya untuk kuasa? Atau untuk membangun keadilan?
Permintaan Trump kepada Indonesia untuk menyerahkan data rakyatnya adalah sinyal peringatan. Jika kita tidak sadar dan bersuara, maka perlahan-lahan kita akan jadi penonton di panggung dunia yang dimainkan oleh elite global.
Sebaliknya, kalau kita mendidik elite muda kita dengan spiritualitas publik, kepemimpinan etis, dan kasih kepada rakyat kecil, maka Indonesia—dan Tanah Karo khususnya —bisa menolak dikendalikan dan mulai menentukan arahnya sendiri.
Bujur melala. Dunia ini bisa dikuasai oleh elite. Tapi arah masa depan masih bisa kita perjuangkan—asal nurani masih hidup dan rakyat tetap terjaga.
Komentar