Analisis Lengkap Mengenai Ketidaksinambungan Komunikasi antara Pertua & Diaken Emeritus dengan Pertua & Diaken Aktif di GBKP (Klasis Bekasi-Denpasar) dalam Perspektif Akademis dan Teologis

MEMPERTIMBANGKAN KEBERADAAN MILENIAL
DALAM PERENCANAAN SDM:
STUDI KASUS PERUSAHAAN PERKEBUNAN SAWIT INDONESIA
Dr. Nopriadi Saputra, ST, MM
Perkembangan teknologi digital telah menghantarkan
kita pada Revolusi Industri 4.0, yaitu kehidupan yang penuh dengan
perubahan-perubahan continuous and disruptive (McCann &
Selsky, 2012). Selain
itu, teknologi digital juga telah menghadirkan generasi baru pada pasar dan angkatan
kerja, yaitu generasi milenial. Suatu generasi yang memiliki karakteristik yang
berbeda secara fundamental dari generasi sebelumnya - yaitu generasi Baby Boomer maupun Gen X. Generasi milenial ini tersebut juga dikenal dengan sebutan generasi
Internet atau Native-Digital (Kemen PPPA, 2018) Suatu
generasi yang terlahir, bermain, belajar, dan bekerja dalam samudra byte data dan informasi sebagai
konsekwensi dari perkembangan teknologi
digital.
Bagi Indonesia sendiri, generasi
digital memiliki nilai stratejik. Karena sebagai negara dengan penduduk
terbanyak keempat di dunia, Indonesia dihadapkan dengan fenomena istimewa dalam
ranah sosio-ekonomi yaitu bonus demografi. Suatu peristiwa langka yang hanya
erjadi satu kali saja dalam sejarah bangsa tersebut. Fenomena itu bisa menjadi
momentum bagi Indonesia untuk melejitkan pertumbuhan untuk keluar dari middle
class trap dan menjadi negara maju. Dan pada tahun 2020 ini, generasi
milenial berada pada rentang usia 20 tahun sampai40 tahun. Usia tersebut merupakan
usia produktif yang akan menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Begitu
pula dalam hal komposisi penduduk, generasi milenial mencapai sekitar 88 juta
jiwa atau 33,75 % dari total penduduk Indonesia. Hal itu lebih besar dari
proporsi generasi lainnya (Kemen PPPA, 2018).
Karena kedua hal tersebutlah, maka ada
penting bagi organisasi untuk memperhatikan hal tersebut dalam melakukan
perencanaan sumber daya manusia untuk mempertimbangkan keberadaan generasi
milenial, baik sebagai pelanggan yang menjadi tujuan organisasi maupun sebagai
pegawai sebagai sumber daya organisasi. Apa, mengapa, dan bagaimana generasi milenial
ini berpikir, menilai dan berperilaku akan memberi warna tersendiri dalam
perencanaan SDM. Karenanya. bab ini akan
memusatkan pembahasan empat pokok bahasan: Pertama, Milenial sebagai Fenomena Sosiologis – bagaimana perspektif sosiologi dalam memahami keberadaan
generasi milenial, Kedua, Milenial sebagai Suatu Generasi yang Unik
– apa saja perbedaan karakteristik yang fundamental generasi milenial dibandingkan
dengan generasi lainnya. Ketiga, Profil Generasi Milenial di Indonesia
– apa saja karakteristik demografik dan psikografik dari generasi milenial di
Indonesia. Keempat, Studi Kasus Perencanaan SDM di Perusahaan Perkebunan
Sawit – bagaimana mempertimbangkan keberadaan milenial dalam perencanaan
SDM dengan mengambil studi kasus pada
perusahaan perkebunan sawit di Indonesia.
Gambar 1 Bonus Demografi Indonesia
Pembahasan mengenai generasi dan
perbedaan antar generasi sebenarnya sudah dirintis oleh sosiolog Jerman - Karl
Mannheim. Beliau memaparkan pemikirannya lewat tulisan yang berjudul “Das Problem der Generationen” pada tahun
1928. Tulisan tersebut kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris pada
tahun 1952 menjadi “The Problems of
Generations”. Tulisan tersebut sangat sistematis dan lengkap dalam
menjelaskan generasi sebagai suatu fenomena sosiologis. Mannheim berpendapat
bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh socio-historical
environment. Hal tersebut berupa peristiwa penting dalam sejarah yang
melibatkan orang-orang yang hidup pada jaman tersebut secara aktif. Pengalaman
melewati peristiwa penting tersebut menjadi pengalaman bersama yang membangun pola
pikir maupun sistem nilai tertentu. Pola pikir atau sistem nilai tersebutlah yang
kemudian akan menjadi acuan bagi orang-orang tersebut berperilaku di masa
mendatang. Pemikiran Mannheim ini menjadi dasar bagi pengembangan Theory of Generations atau Sociology of Generations.
Para peneliti antropologi, sosiologi,
dan psikologi sosial lebih sering menggunakan istilah cohort untuk menjelaskan fenomena generasi (Becton,
Walker, & Jones-Farmer, 2014).
Generasi atau cohort secara spesifik
didefinisikan sebagai sebuah klaster atau kelompok orang-orang yang dilahirkan
dan dibesarkan dalam suatu kondisi sosial-historis tertentu yang identik dengan
periode waktu tertentu (Yogamalar & Samuel, 2016)
dan menciptakan pola perilaku atau budaya yang khas di kemudian hari (Campbell, Campbell, Siedor, & Twenge, 2015).
Menurut Campbell et al. (2015)
ada tiga model yang digunakan untuk menjelaskan perubahan dan
perbedaan generasional.
Pertama, Cyclic Model yang
dikembangkan oleh Strauss &
Howe (1991).
Model ini bertumpu pada siklus
ekonomi yang berpengaruh terhadap
generasi, mulai dari greedbased
economy, menuju overextended economy
sampai akhirnya mencapai contractive
or fear based economy. Kedua, Modernization Model yang dikembangkan
oleh Inglehart & Welzel
(2005). Model ini
yang menjelaskan bahwa generasi dipengaruhi oleh proses modernisasi
dimana terjadi peningkatan
individualisme, toleransi, dan keterlibatan masyarakat.
Ketiga, Extrinsic Individualism Model
yang dikembangkan oleh Twenge,
Campbell, & Freeman (2012). Model ini memprediksi bahwa generasi akan
berkembang ke arah yang lebih extrinsic
self-focus (seperti narsisme dan materialisme), kurang civic engagement, tidak mudah percaya pada orang lain, lebih berani
mengekspresikan diri dan kurang inward focus.
Berdasarkan pandangan para ilmuwan tersebut, tulisan ini memetakan perkembangan
generasi-generasi yang ada sejak awal abad ke-20 (tahun 1901) sampai sekarang (tahun
2020) menjadi lima generasi, yaitu Veteran, Baby Boomer, Gen-X,
Millennial, dan Gen-Z. Generasi Veteran merupakan generasi
tertua dimana sebagian besar sudah wafat dan populasinya sangat sedikit. Generasi
ini terlahir antara tahun 1900 sampai dengan tahun 1924. Perang dunia pertama
dan kedua merupakan peristiwa sosio-historis yang membangun sistem nilai dan
membentuk pola perilaku generasi ini kemudian. Di Indonesia, generasi ini
mengalami situasi berakhirnya masa penjajahan Belanda – dimana budaya, nilai-nilai,
dan bahasa Belanda atau Eropa berasimilasi dengan budaya lokal. Selain itu, pada
masa ini juga merupakan masa penjajahan Jepang - dimana nilai-nilai, budaya,
dan bahasa Jepang berasimilasi dengan budaya lokal. Pergerakan menjadi bangsa
yang merdeka mewarnai suasana sosio-historis masa itu.
Selanjutnya, muncullah generasi Baby-Boomer. Generasi ini terlahir antara tahun 1946
sampai 1964. Kondisi pasca perang dunia, dimana terjadi ledakan penduduk. Begitu
banyak bayi-bayi yang terlahirkan setelah perang dunia berakhi. Hal ini dianalogikan
dengan ledakan bom sehingga generasi ini dinamakan Baby Boomer. Amerika
dan sekutu sebagai pemenang perang dunia menjadi penguasa sekaligus “polisi
dunia”. Jepang yang kalah perang dunia
memilih untuk fokus membangun kekuatan ekonomi lewat manufaktur otomotif dan
elektronik. Rivalitas antara Blok Barat dan Blok Timur memasuki episode
terakhir. Sedangkan
di dalam negeri, Indonesia tengah berjuang mempertahankan kemerdekaan dari
agresi militer Belanda beserta sekutunya, Orientasi politik luar negeri bersifat
mercu suar dan cenderung untuk bergabung dengan Blok Timur. Selain itu, di
Indonesia juga terjadinya pemberontakan-pemberontakan di berbagai daerah
terhadap pemerintahan pusat, timbulnya konfrontasi militer antara Indonesia dan
Malaysia, terjadi upaya perebutan Irian Barat untuk kembali lagi dalam NKRI;
serta megagalan Orde Lama dalam memperbaiki kesejahteraan rakyat merupakan
peristiwa-peristiwa sosio-historis yang terjadi pada masa itu.
Selanjutnya berkembanglah Gen-X.
Generasi ini terlahir antara tahun 1965 – 1979 yang merupakan periode perang
dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Melalui sistem ekonomi liberal, Blok
Barat berhasil mengalami pertumbuhan yang pesat. Amerika Serikat, Eropa Barat, Australia dan
Jepang menguasai perekonomian dunia. Di sisi lain, sistem ekonomi tertutup yang
diterapkan oleh Blok Timur berimplikasi politik. Uni Sovyet dinyatakan bubar
dan pecah menjadi negara-negara kecil. Selain itu juga terjadinya reunifikasi
Jerman Barat dan Jerman Timur. Semua peristiwa tersebut membuat dominasi
Amerika Serikat menjadi semakin kuat. Dunia berkiblat kepada peradaban Amerika
Serikat. Di Indonesia, kepemimpinan nasional dipegang oleh Pak Harto. Beliau mengutamakan
program-program pembangunan ekonomi di sektor ril daripada kegiatan politik
yang mercu-suar. Pak Harto melalui program PELITA mendorong terciptanya
stabiltas poltik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan. Peristiwa
pembangunan Bersama Orde Baru merupakan sosio-historis yang penting bagi Gen-X di Indonesia.
Kemudian, berkembang lagi generasi
Milenial. Generasi ini dilahirkan antara 1980 – 2000 dan sangat dipengaruhi
oleh semangat globalisasi, pasar bebas, demokrasi, hak asasi manusia, dan
ketersetaraan gender. Dominasi Amerika
Serikat dalam perekonomian telah mendorong diketemukan dan dimasyarakatkannya
teknologi internet. Teknologi yang memungkinkan manusia untuk berinteraksi
tanpa dibatasi lagi oleh waktu dan tempat. Di Indonesia, peristiwa jatuhnya
Order Baru dan terjadinya reformasi merupakan peristiwa sosio-historis yang
membentuk generasi ini. Generasi ini sekarang berusia antara 20 tahun sampai 40
tahun dan merupakan generasi terbanyak yang menjadi tulang punggung
perekonomian Indonesia.
Setelah generasi Milenial adalah Gen-Z.
Generasi ini terlahir pada setelah tahun 2000. Dominasi Amerika Serikat, Eropa
Barat, dan Jepang dalam perekonomian dan perpolitikan dunia mulai mengalami
penurunan. Pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina dan Korea Selatan memberikan warna
tersendiri. Perkembangan teknologi yang pesat, globalisasi ekonomi,
demokratisasi politik, perdagangan bebas, hak azasi manusia, pemanasan global,
terorisme, dan kesetaraan gender merupakan tem-tema yang jamak pada masa ini. Bukan
hanya teknologi internet saja tetapi juga berkembanganya permainan digital atau
games sangat berpengaruh terhadap perilaku Gen-Z.
Sebagai suatu generasi, Milenial
berada di tengah. Milenial didahului oleh tiga generasi yaitu Veteran, Baby
Boomer, dan Gen-X sekaligus juga diikuti oleh Gen-Z.
Pemahaman yang tepat mengenai kekhasan dari Milenial bila dibandingkan dengan
generasi sebelum dan sesudahnya akan sangat membantu organisasi dalam menghasilkan
perencanaan SDM yang akurat dan relevan.
Milenial sebagai
Suatu Generasi yang Unik
Sebagai generasi yang mendapat banyak
pengaruh dari teknologi internet, generasi milenial mendapat beragam nama atau
julukan. Di beberapa negara tertentu, generasi milenial memiliki julukan
tersendiri. Di Swedia generasi milenial mendapat nama Curling, di Norwegia disebut generasi Serious, dan disebut sebagai generasi John Paul II di Polandia. Sementara
itu di Cina generasi milenial disebut “Ken Lao Zu” yang berarti generasi yang
memakan generasi yang lebih tua. Sedangkan, di Jepang generasi milenial disebut
“Nagara Zoku” yang berarti orang-orang yang senang melakukan dua hal secara
bersamaan (KPMG, 2017).
Tapscott (2009) dalam bukunya yang berjudul “Grown-Up Digital” mengkaitkan fenomena
generasi ini dengan pengaruh teknologi yang dominan berkembang. Suatu perusahaan
dewasa ini setidaknya terdapat tiga generasi sumber daya manusia yang berkiprah. Ketiga generasi
tersebut adalah Baby Boom, Baby Bust, dan Baby Echo. Generasi Baby Boom
sangat dipengaruhi oleh teknologi televisi. Sedangkan, generasi selanjutnya
adalah Baby Bust. Generasi ini juga
dikenal dengan Gen-X dan sangat dipengaruhi
oleh teknologi komputer. Sedangkan generasi yang ketiga adalah Baby Ech atau generasi milenial
sangat dipengaruhi oleh
teknologi internet. Generasi ini menggunakan internet untuk sebagian besar
kegiatan mereka, seperti: bermain,
belajar, bersosialisasi, bekerja maupun berbisnis.
Karena sangat dipengaruhi oleh
teknologi digital atau internet, maka Tapscott (2009) menjelaskan
bahwa pola perilaku generasi milenial sangat berbeda dari generasi lainnya. Ada
delapan norma penting yang menjadi acuan generasi milenial dalam berperilaku, yaitu:
kebebasan, kustomisasi, penyidikan, integritas, kolaborasi, hiburan, kecepatan,
dan inovasi.
Petama, norma kebebasan atau freedom.
Generasi milenial menuntut kebebasan lebih luas daripada generasi sebelumya.
Kebebasan dalam segala hal, baik itu kebebasan untuk berbuat, kebebasan untuk
memilih, atau pun kebebasan untuk berekspresi. Teknologi internet memungkinkan generasi ini
mendapatkan akses terhadap berbagai sumber informasi, tanpa dihalangi oleh
dimensi ruang dan waktu. Karenanya, milenial dapat mengumpulkan lebih banyak
alternatif atau pilihan untuk diputuskan daripada generasi sebelumnya.
Kedua, norma kustamisasi atau customization.
Milenial senang membuat segala sesuatu sesuai dengan seleranya. Mereka hanya
mau membeli atau mengakusisi segala sesuatu yang benar-benar sesuai selera dan kebutuhan
mereka. Mereka tidak bersedia untuk membeli delapan lagu yang disimpan dalam
sebuah kaset. Mereka hanya bersedia membeli lagu-lagu yang mereka sukai dan
membiarkan lagu-lagu yang tidak sesuai dengan seleranya.
Ketiga norma menyelidiki atau scrutiny.
Milenial selalu menyelidiki atau mencari informasi sebanyak mungkin dari
berbagai sumber informasi mengenai obyek atau alternatif yang akan mereka
putuskan. Berbeda dengan generasi sebelumnya, mereka memiliki informasi yang
sangat terbatas sebelum membuat keputusan membeli atau mengakuisisi. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya banyak kerugian akibat ketidaktepatan keputusa
karena terbatasnya informasi.
Keempat, norma integritas atau
integrity. Milenial menyadari sepenuhnya bahwa apa yang mereka sampaikan
atau putuskan di suatu waktu dan satu tempat akan sangat mudah diketahui oleh
pihak lain di lain waktu dan/atau di lain tempat. Karena itu jujur dan terbuka apa
adanya dengan penuh kesadaran membuat mereka nyaman untuk berinteraksi dengan
siapa pun dan dimana pun.
Kelima, norma kolaborasi atau collaboration.
Teknologi internet memungkinkan mereka untuk bekerja-sama dengan berbagai pihak
manapun di waktu kapan saja. Karena permasalahan yang dihadapi sangat kompleks,
maka tidak ada satu pun kecerdasan individual yang dapat mengalahkan kecerdasan
kolektif yang terbangun atas kolaborasi beberapa orang dari beragam keahlian dalam
suatu tim.
Keenam, norma kecepatan atau speed.
Milenial adalah generasi yang sensitif dan tidak bersedia untuk menunggu segala
sesuatu dalam waktu lama. Jika terlalu lama atau di luar ambang kesabarannya
untuk menunggu; alternatif atau layanan atau keputusan yang telah ditetapkan
dapat diubah atau diganti oleh mereka untuk memastikan permintaan mereka
terlayani dengan cepat dan tepat.
Ketujuh, norma hiburan atau entertainment.
Milenial merupakan generasi yang mengkonsumsi waktu lebih banyak untuk bermain
daripada generasi sebelumnya. Mereka generasi yang cepat merasa bosan sehingga
membutuhkan beragam hiburan. Hal tersebut dapat berupa permainan (games),
film (video) atau pun juga jejaring sosial (social media). Milenial membutuhkan hiburan untuk mengatasi kebosanan
tersebut. Namun di sisi lain, hiburan sering menjadi ancaman atau gangguan bila
milenial diharapkan untuk tetap fokus merampung pekerjaannya.
Kedelapan, norma innovator atau
innovation. Mudah merasa bosan, membutuhkan banyak kebebasan, senang melakukan
sesuatu sesuai seleranya, dan didukung oleh teknologi internet maka akan
menghasilkan kebutuhan akan kemampuan berinovasi. Generasi milenial memiliki
dorong untuk berinovasi lebih kuat daripada generasi sebelumnya.
Dari beragam hasil penelitian
dikemukakan mengenai generasi milenial memiliki pola perilaku tertentu yang
khas membedakannya dari generasi lainnya. Menurut Yogamalar
& Samuel (2016)
generasi milenial memiliki beberapa karakteristik atau pola perilaku
sebagai berikut : (1) memperjuangkan
kesetaraan di tempat kerja, (2) quick
learner, (3) cenderung tidak sabar untuk menunggu, (4) sangat membutuhkan
otonomi dan work-life balance, (5)
cenderung breaking the rules, (6)
sangat percaya diri, (7) sangat
ekspresif, (8) menyukai kerja sama atau kolaborator yang baik, (9) mengharapkan
rekognisi & perhatian personal.
Sedangkan menurut Ng & Johnson (2015),
generasi milenial memiliki karakteristik sebagai berikut : (1) lebih menghargai
pendidikan tinggi, (2) gemar mempertanyakan segala sesuatu, (3) bersikap lebih egaliter terhadap kelompok
minoritas, (4) memiliki self-esteem yang
lebih tinggi, (5) lebih puas terhadap
kondisi saat ini, (6) mudah resah atau khawatir atau neuroticism, (7) lebih percaya diri dan lebih yakin atas pikiran
mereka sendiri, (8) lebih berpandangan positif terhadap diri sendiri, (9) lebih
menyukai hadiah yang bersifat ekstrinsik, dan (10) memiliki dorong kuat untuk
menyelesaikan masalah dunia atau menolong orang lain.
Ada pun menurut Becton
et al. (2014) generasi
milenial memiliki karakteristik: (1) mengemari high-tech, (2) paling beragam secara ras maupun etnis, (3) kurang
percaya terhadap organisasi, (4) memiliki dorongan kuat untuk mencari pekerjaan
yang bermakna, dan (5) menghargai perbedaan, dan (6) lebih menghargai waktu
luang. Menurut Twenge et al. (2010),
generasi digital itu: (1) cenderung berperilaku individualistik dan self-focused, (2) menyukai
informalitas,(3) technology-savvy, (4) quick
learner, (5) membutuhkan supervisi,
dan (6) lebih menerima perbedaan
/ keragaman.
Berdasarkan uraikan karakteristik atau pola perilaku
dari para ilmuwan tersebut, tulisan ini mendefinisikan adan 22 karakteristik dari generasi digital yaitu :
(1) cepat belajar akan hal-hal yang baru, (2) mengikuti perkembangan teknologi,
(3) cenderung tidak sabar dalam menunggu, (4) senang mempertanyakan banyak hal, (5) memilik
rasa percaya diri yang lebih tinggi, (6) gemar berperilaku pamer, (7) lebih
membutuhkan rekognisi atau perhatian personal, (8) lebih menghargai pendidikan
tinggi, (9) mudah resah atau khawatir, (10) tidak mau terikat pada suatu perusahaan
atau organisasi, (11) mencari makna melalui menolong orang lain, (12) cenderung
tidak menghargai struktur, (13) lebih terbuka terhadap perbedaan maupun
kelompok minoritas, (14) lemah dalam keterampilan sosial, (15) lebih menyukai
informalitas, (16) melakukan pencarian informasi sebelum membuat keputusan,
(17) tidak terikat pada aturan atau norma yang berlaku, (18) mempunyai cara
tersendiri dalam ekspresi, (19) lebih menghargai kejujuran daripada
kepura-puraan, (20) lebih mudah bekerjasama dengan orang yang baru dikenal,
(21) menghabiskan banyak waktu dengan bermain-main, dan (22) kreatif serta suka berinovasi (bersambung)
Dr
Nopriadi Saputra, ST, MM
Komentar