Featured Post

Catatan Khotbah Minggu 12 Mei 2024

Gambar
 Minggu Eksaudi : Begiken Min O Jahwe Warna Mbentar Invocatio          :  “(Pilipi 3 : 16)” Ogen                     :  Perbahanen Rasul Rasul 1 : 1 - 5  (Tunggal )     Khotbah            :  Masmur 31 : 1 – 5      (Responsoria )     Thema                 :  Pemindon Lako Iampang-ampangi Tuhan              Khotbah : Masmur 31 : 1 – 5     Masmur Daud. Ku Kam aku cicio o TUHAN ula pelepas aku kemalun. Kam kap Dibata si bujur, mindo aku, maka IkeliniNdu aku. Begiken min pertotonku pedas min Kam reh mulahi aku. Jadi min Kam deleng batu inganku cicio, kubungku si nteguh inganku terkawal. Kam kap ingan cebuni dingen bentengku, tegu-tegu dingen babai aku erkiteken GelarNdu. Tegu-tegu aku maka ula aku kena siding itogeng kalak man bangku. Ampang-ampangi aku maka ula aku kena cilaka. Pembukaan   Syalomm mejuah juah senina ras turang, Kidekah nggeluh manusia ibas doni enda, lit lalap perbeben.  Lit nge lalap kiniseran, kiniseraan si mengancam keselamatan ta.  Tapi lit ka nge jalan keluar,

MEMPERTIMBANGKAN KEBERADAAN MILENIAL (1)

SupremeLearning Kolom  

MEMPERTIMBANGKAN KEBERADAAN MILENIAL

DALAM PERENCANAAN SDM:
STUDI KASUS PERUSAHAAN PERKEBUNAN SAWIT INDONESIA

Dr. Nopriadi Saputra, ST, MM


Perkembangan teknologi digital telah menghantarkan kita pada Revolusi Industri 4.0, yaitu kehidupan yang penuh dengan perubahan-perubahan continuous and disruptive (McCann & Selsky, 2012). Selain itu, teknologi digital juga telah menghadirkan generasi baru pada pasar dan angkatan kerja, yaitu generasi milenial. Suatu generasi yang memiliki karakteristik yang berbeda secara fundamental dari generasi sebelumnya - yaitu generasi Baby Boomer maupun Gen X. Generasi milenial ini tersebut juga dikenal dengan sebutan generasi Internet atau Native-Digital (Kemen PPPA, 2018)  Suatu generasi yang terlahir, bermain, belajar, dan bekerja dalam samudra byte data dan informasi sebagai konsekwensi dari  perkembangan teknologi digital.

Bagi Indonesia sendiri, generasi digital memiliki nilai stratejik. Karena sebagai negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia, Indonesia dihadapkan dengan fenomena istimewa dalam ranah sosio-ekonomi yaitu bonus demografi. Suatu peristiwa langka yang hanya erjadi satu kali saja dalam sejarah bangsa tersebut. Fenomena itu bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk melejitkan pertumbuhan untuk keluar dari middle class trap dan menjadi negara maju. Dan pada tahun 2020 ini, generasi milenial berada pada rentang usia 20 tahun sampai40 tahun. Usia tersebut merupakan usia produktif yang akan menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Begitu pula dalam hal komposisi penduduk, generasi milenial mencapai sekitar 88 juta jiwa atau 33,75 % dari total penduduk Indonesia. Hal itu lebih besar dari proporsi generasi lainnya (Kemen PPPA, 2018).

Sumber Photo : https://cdn.idntimes.com/

Karena kedua hal tersebutlah, maka ada penting bagi organisasi untuk memperhatikan hal tersebut dalam melakukan perencanaan sumber daya manusia untuk mempertimbangkan keberadaan generasi milenial, baik sebagai pelanggan yang menjadi tujuan organisasi maupun sebagai pegawai sebagai sumber daya organisasi.   Apa, mengapa, dan bagaimana generasi milenial ini berpikir, menilai dan berperilaku akan memberi warna tersendiri dalam perencanaan SDM.  Karenanya. bab ini akan memusatkan pembahasan empat pokok bahasan: Pertama, Milenial sebagai Fenomena Sosiologisbagaimana perspektif sosiologi dalam memahami keberadaan generasi milenial, Kedua, Milenial sebagai Suatu Generasi yang Unik – apa saja perbedaan karakteristik yang fundamental generasi milenial dibandingkan dengan generasi lainnya. Ketiga, Profil Generasi Milenial di Indonesia – apa saja karakteristik demografik dan psikografik dari generasi milenial di Indonesia. Keempat, Studi Kasus Perencanaan SDM di Perusahaan Perkebunan Sawit – bagaimana mempertimbangkan keberadaan milenial dalam perencanaan SDM dengan mengambil studi kasus pada  perusahaan perkebunan sawit di Indonesia.

 

Gambar 1 Bonus Demografi Indonesia

 Milenial sebagai Fenomena Sosiologis

 Istilah milenial pertama kali dikemukakan oleh Neil Howe dan William Strauss pada tahun 1991 lewat buku yang berjudul “Generations: The History of America’s Future 1584 – 2069”. Buku tersebut menjelaskan bahwa sejarah Amerika dibangun oleh generasi-generasi yang berbeda namun berulang. Perkembangan generasi-generasi tersebut akan kembali berulang lagi seperti halnya yang terjadi pada pada tahun 1584 sampai sekarang (Howe & Strauss, 1991). Kemudian, pada tahun 1997 William Strauss dan Neil Howe menyempurnakan gagasan pemikirannya mengenai generasi di Ameriak tersebut dengan menerbitkan buku Fourth Turning. Buku tersebut mengulas secara lebih spesifik bahwa sejarah Amerika dibangun oleh empat generasi yang berbeda namun berulang. Pemikiran Strauss dan Howe ini kemudian menjadi acuan dalam pengembangan Fourth Turning Theory atau yang dikenal juga dengan Strauss-Howe Generational Theory.

Pembahasan mengenai generasi dan perbedaan antar generasi sebenarnya sudah dirintis oleh sosiolog Jerman - Karl Mannheim. Beliau memaparkan pemikirannya lewat tulisan yang berjudul “Das Problem der Generationen” pada tahun 1928. Tulisan tersebut kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1952 menjadi “The Problems of Generations”. Tulisan tersebut sangat sistematis dan lengkap dalam menjelaskan generasi sebagai suatu fenomena sosiologis. Mannheim berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh socio-historical environment. Hal tersebut berupa peristiwa penting dalam sejarah yang melibatkan orang-orang yang hidup pada jaman tersebut secara aktif. Pengalaman melewati peristiwa penting tersebut menjadi pengalaman bersama yang membangun pola pikir maupun sistem nilai tertentu. Pola pikir atau sistem nilai tersebutlah yang kemudian akan menjadi acuan bagi orang-orang tersebut berperilaku di masa mendatang. Pemikiran Mannheim ini menjadi dasar bagi pengembangan Theory of Generations atau Sociology of Generations.

Para peneliti antropologi, sosiologi, dan psikologi sosial lebih sering menggunakan istilah cohort untuk menjelaskan fenomena generasi (Becton, Walker, & Jones-Farmer, 2014). Generasi atau cohort secara spesifik didefinisikan sebagai sebuah klaster atau kelompok orang-orang yang dilahirkan dan dibesarkan dalam suatu kondisi sosial-historis tertentu yang identik dengan periode waktu tertentu (Yogamalar & Samuel, 2016) dan menciptakan pola perilaku atau budaya yang khas di kemudian hari (Campbell, Campbell, Siedor, & Twenge, 2015).

Menurut Campbell et al. (2015) ada tiga model yang digunakan untuk menjelaskan perubahan dan perbedaan generasional. Pertama, Cyclic Model yang dikembangkan oleh Strauss & Howe (1991). Model ini bertumpu pada siklus ekonomi yang berpengaruh terhadap generasi, mulai dari greedbased economy, menuju overextended economy sampai akhirnya mencapai contractive or fear based economy. Kedua, Modernization Model yang dikembangkan oleh Inglehart & Welzel (2005). Model ini yang menjelaskan bahwa  generasi dipengaruhi oleh proses modernisasi dimana terjadi peningkatan individualisme, toleransi, dan keterlibatan masyarakat. Ketiga, Extrinsic Individualism Model yang dikembangkan oleh Twenge, Campbell, & Freeman (2012). Model ini memprediksi bahwa generasi akan berkembang ke arah yang lebih  extrinsic self-focus (seperti narsisme dan materialisme), kurang civic engagement, tidak mudah percaya pada orang lain, lebih berani mengekspresikan diri dan kurang inward focus. 

  Berdasarkan pandangan para ilmuwan tersebut, tulisan ini memetakan perkembangan generasi-generasi yang ada sejak awal abad ke-20 (tahun 1901) sampai sekarang (tahun 2020) menjadi lima generasi, yaitu Veteran, Baby Boomer, Gen-X, Millennial, dan Gen-Z.   Generasi Veteran merupakan generasi tertua dimana sebagian besar sudah wafat dan populasinya sangat sedikit. Generasi ini terlahir antara tahun 1900 sampai dengan tahun 1924. Perang dunia pertama dan kedua merupakan peristiwa sosio-historis yang membangun sistem nilai dan membentuk pola perilaku generasi ini kemudian. Di Indonesia, generasi ini mengalami situasi berakhirnya masa penjajahan Belanda – dimana budaya, nilai-nilai, dan bahasa Belanda atau Eropa berasimilasi dengan budaya lokal. Selain itu, pada masa ini juga merupakan masa penjajahan Jepang - dimana nilai-nilai, budaya, dan bahasa Jepang berasimilasi dengan budaya lokal. Pergerakan menjadi bangsa yang merdeka mewarnai suasana sosio-historis masa itu.

Selanjutnya, muncullah generasi Baby-Boomer.  Generasi ini terlahir antara tahun 1946 sampai 1964. Kondisi pasca perang dunia, dimana terjadi ledakan penduduk. Begitu banyak bayi-bayi yang terlahirkan setelah perang dunia berakhi. Hal ini dianalogikan dengan ledakan bom sehingga generasi ini dinamakan Baby Boomer. Amerika dan sekutu sebagai pemenang perang dunia menjadi penguasa sekaligus “polisi dunia”.  Jepang yang kalah perang dunia memilih untuk fokus membangun kekuatan ekonomi lewat manufaktur otomotif dan elektronik. Rivalitas antara Blok Barat dan Blok Timur memasuki episode terakhir.    Sedangkan di dalam negeri, Indonesia tengah berjuang mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda beserta sekutunya, Orientasi politik luar negeri bersifat mercu suar dan cenderung untuk bergabung dengan Blok Timur. Selain itu, di Indonesia juga terjadinya pemberontakan-pemberontakan di berbagai daerah terhadap pemerintahan pusat, timbulnya konfrontasi militer antara Indonesia dan Malaysia, terjadi upaya perebutan Irian Barat untuk kembali lagi dalam NKRI; serta megagalan Orde Lama dalam memperbaiki kesejahteraan rakyat merupakan peristiwa-peristiwa sosio-historis yang terjadi pada masa itu.

Selanjutnya berkembanglah Gen-X. Generasi ini terlahir antara tahun 1965 – 1979 yang merupakan periode perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Melalui sistem ekonomi liberal, Blok Barat berhasil mengalami pertumbuhan yang pesat.  Amerika Serikat, Eropa Barat, Australia dan Jepang menguasai perekonomian dunia. Di sisi lain, sistem ekonomi tertutup yang diterapkan oleh Blok Timur berimplikasi politik. Uni Sovyet dinyatakan bubar dan pecah menjadi negara-negara kecil. Selain itu juga terjadinya reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur. Semua peristiwa tersebut membuat dominasi Amerika Serikat menjadi semakin kuat. Dunia berkiblat kepada peradaban Amerika Serikat. Di Indonesia, kepemimpinan nasional dipegang oleh Pak Harto. Beliau mengutamakan program-program pembangunan ekonomi di sektor ril daripada kegiatan politik yang mercu-suar. Pak Harto melalui program PELITA mendorong terciptanya stabiltas poltik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan. Peristiwa pembangunan Bersama Orde Baru merupakan sosio-historis yang penting bagi Gen-X di Indonesia.

Kemudian, berkembang lagi generasi Milenial. Generasi ini dilahirkan antara 1980 – 2000 dan sangat dipengaruhi oleh semangat globalisasi, pasar bebas, demokrasi, hak asasi manusia, dan ketersetaraan gender.  Dominasi Amerika Serikat dalam perekonomian telah mendorong diketemukan dan dimasyarakatkannya teknologi internet. Teknologi yang memungkinkan manusia untuk berinteraksi tanpa dibatasi lagi oleh waktu dan tempat. Di Indonesia, peristiwa jatuhnya Order Baru dan terjadinya reformasi merupakan peristiwa sosio-historis yang membentuk generasi ini. Generasi ini sekarang berusia antara 20 tahun sampai 40 tahun dan merupakan generasi terbanyak yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.

Setelah generasi Milenial adalah Gen-Z. Generasi ini terlahir pada setelah tahun 2000. Dominasi Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang dalam perekonomian dan perpolitikan dunia mulai mengalami penurunan. Pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina dan Korea Selatan memberikan warna tersendiri. Perkembangan teknologi yang pesat, globalisasi ekonomi, demokratisasi politik, perdagangan bebas, hak azasi manusia, pemanasan global, terorisme, dan kesetaraan gender merupakan tem-tema yang jamak pada masa ini. Bukan hanya teknologi internet saja tetapi juga berkembanganya permainan digital atau games sangat berpengaruh terhadap perilaku Gen-Z.

Sebagai suatu generasi, Milenial berada di tengah. Milenial didahului oleh tiga generasi yaitu Veteran, Baby Boomer, dan Gen-X sekaligus juga diikuti oleh Gen-Z. Pemahaman yang tepat mengenai kekhasan dari Milenial bila dibandingkan dengan generasi sebelum dan sesudahnya akan sangat membantu organisasi dalam menghasilkan perencanaan SDM yang akurat dan relevan.

 

Milenial sebagai Suatu Generasi yang Unik

 

Sebagai generasi yang mendapat banyak pengaruh dari teknologi internet, generasi milenial mendapat beragam nama atau julukan. Di beberapa negara tertentu, generasi milenial memiliki julukan tersendiri. Di Swedia generasi milenial mendapat nama Curling, di Norwegia disebut generasi Serious, dan disebut sebagai generasi John Paul II di Polandia. Sementara itu di Cina generasi milenial disebut “Ken Lao Zu” yang berarti generasi yang memakan generasi yang lebih tua. Sedangkan, di Jepang generasi milenial disebut “Nagara Zoku” yang berarti orang-orang yang senang melakukan dua hal secara bersamaan (KPMG, 2017).

Tapscott (2009)  dalam bukunya yang berjudul “Grown-Up Digital” mengkaitkan fenomena generasi ini dengan pengaruh teknologi yang dominan berkembang. Suatu perusahaan dewasa ini setidaknya terdapat tiga generasi  sumber daya manusia yang berkiprah. Ketiga generasi tersebut adalah Baby Boom, Baby Bust, dan Baby Echo. Generasi Baby Boom sangat dipengaruhi oleh teknologi televisi. Sedangkan, generasi selanjutnya adalah Baby Bust. Generasi ini juga dikenal dengan Gen-X dan sangat dipengaruhi oleh teknologi komputer. Sedangkan generasi yang ketiga adalah Baby Ech atau generasi milenial sangat dipengaruhi oleh teknologi internet. Generasi ini menggunakan internet untuk sebagian besar kegiatan mereka, seperti:  bermain, belajar, bersosialisasi, bekerja maupun berbisnis.

Karena sangat dipengaruhi oleh teknologi digital atau internet, maka Tapscott (2009) menjelaskan bahwa pola perilaku generasi milenial sangat berbeda dari generasi lainnya. Ada delapan norma penting yang menjadi acuan generasi milenial dalam berperilaku, yaitu: kebebasan, kustomisasi, penyidikan, integritas, kolaborasi, hiburan, kecepatan, dan inovasi.

Petama, norma kebebasan atau freedom. Generasi milenial menuntut kebebasan lebih luas daripada generasi sebelumya. Kebebasan dalam segala hal, baik itu kebebasan untuk berbuat, kebebasan untuk memilih, atau pun kebebasan untuk berekspresi.  Teknologi internet memungkinkan generasi ini mendapatkan akses terhadap berbagai sumber informasi, tanpa dihalangi oleh dimensi ruang dan waktu. Karenanya, milenial dapat mengumpulkan lebih banyak alternatif atau pilihan untuk diputuskan daripada generasi sebelumnya.

Kedua, norma kustamisasi atau customization. Milenial senang membuat segala sesuatu sesuai dengan seleranya. Mereka hanya mau membeli atau mengakusisi segala sesuatu yang benar-benar sesuai selera dan kebutuhan mereka. Mereka tidak bersedia untuk membeli delapan lagu yang disimpan dalam sebuah kaset. Mereka hanya bersedia membeli lagu-lagu yang mereka sukai dan membiarkan lagu-lagu yang tidak sesuai dengan seleranya.

Ketiga norma menyelidiki atau scrutiny. Milenial selalu menyelidiki atau mencari informasi sebanyak mungkin dari berbagai sumber informasi mengenai obyek atau alternatif yang akan mereka putuskan. Berbeda dengan generasi sebelumnya, mereka memiliki informasi yang sangat terbatas sebelum membuat keputusan membeli atau mengakuisisi. Hal tersebut menyebabkan terjadinya banyak kerugian akibat ketidaktepatan keputusa karena terbatasnya informasi.

Keempat, norma integritas atau integrity. Milenial menyadari sepenuhnya bahwa apa yang mereka sampaikan atau putuskan di suatu waktu dan satu tempat akan sangat mudah diketahui oleh pihak lain di lain waktu dan/atau di lain tempat. Karena itu jujur dan terbuka apa adanya dengan penuh kesadaran membuat mereka nyaman untuk berinteraksi dengan siapa pun dan dimana pun.

Kelima, norma kolaborasi atau collaboration. Teknologi internet memungkinkan mereka untuk bekerja-sama dengan berbagai pihak manapun di waktu kapan saja. Karena permasalahan yang dihadapi sangat kompleks, maka tidak ada satu pun kecerdasan individual yang dapat mengalahkan kecerdasan kolektif yang terbangun atas kolaborasi beberapa orang dari beragam keahlian dalam suatu tim.

Keenam, norma kecepatan atau speed. Milenial adalah generasi yang sensitif dan tidak bersedia untuk menunggu segala sesuatu dalam waktu lama. Jika terlalu lama atau di luar ambang kesabarannya untuk menunggu; alternatif atau layanan atau keputusan yang telah ditetapkan dapat diubah atau diganti oleh mereka untuk memastikan permintaan mereka terlayani dengan cepat dan tepat.

Ketujuh, norma hiburan atau entertainment. Milenial merupakan generasi yang mengkonsumsi waktu lebih banyak untuk bermain daripada generasi sebelumnya. Mereka generasi yang cepat merasa bosan sehingga membutuhkan beragam hiburan. Hal tersebut dapat berupa permainan (games), film (video) atau pun juga jejaring sosial (social media).  Milenial membutuhkan hiburan untuk mengatasi kebosanan tersebut. Namun di sisi lain, hiburan sering menjadi ancaman atau gangguan bila milenial diharapkan untuk tetap fokus merampung pekerjaannya.

Kedelapan, norma innovator atau innovation. Mudah merasa bosan, membutuhkan banyak kebebasan, senang melakukan sesuatu sesuai seleranya, dan didukung oleh teknologi internet maka akan menghasilkan kebutuhan akan kemampuan berinovasi. Generasi milenial memiliki dorong untuk berinovasi lebih kuat daripada generasi sebelumnya.

Dari beragam hasil penelitian dikemukakan mengenai generasi milenial memiliki pola perilaku tertentu yang khas membedakannya dari generasi lainnya. Menurut Yogamalar & Samuel (2016) generasi milenial memiliki beberapa karakteristik atau pola perilaku sebagai  berikut : (1) memperjuangkan kesetaraan di tempat kerja, (2) quick learner, (3) cenderung tidak sabar untuk menunggu, (4) sangat membutuhkan otonomi dan work-life balance, (5) cenderung breaking the rules, (6) sangat  percaya diri, (7) sangat ekspresif, (8) menyukai kerja sama atau kolaborator yang baik, (9) mengharapkan rekognisi & perhatian personal.

Sedangkan menurut Ng & Johnson (2015), generasi milenial memiliki karakteristik sebagai berikut : (1) lebih menghargai pendidikan tinggi, (2) gemar mempertanyakan segala sesuatu, (3)  bersikap lebih egaliter terhadap kelompok minoritas, (4) memiliki self-esteem yang lebih tinggi, (5)  lebih puas terhadap kondisi saat ini, (6) mudah resah atau khawatir atau neuroticism, (7) lebih percaya diri dan lebih yakin atas pikiran mereka sendiri, (8) lebih berpandangan positif terhadap diri sendiri, (9) lebih menyukai hadiah yang bersifat ekstrinsik, dan (10) memiliki dorong kuat untuk menyelesaikan masalah dunia atau menolong orang lain.

Ada pun menurut Becton et al. (2014) generasi milenial memiliki karakteristik: (1) mengemari high-tech, (2) paling beragam secara ras maupun etnis, (3) kurang percaya terhadap organisasi, (4) memiliki dorongan kuat untuk mencari pekerjaan yang bermakna, dan (5) menghargai perbedaan, dan (6) lebih menghargai waktu luang. Menurut Twenge et al. (2010), generasi digital itu: (1) cenderung berperilaku individualistik dan self-focused, (2) menyukai informalitas,(3)  technology-savvy, (4) quick learner, (5) membutuhkan supervisi,  dan (6)  lebih menerima perbedaan / keragaman. 

Berdasarkan uraikan karakteristik atau pola perilaku dari para ilmuwan tersebut, tulisan ini mendefinisikan adan 22  karakteristik dari generasi digital yaitu : (1) cepat belajar akan hal-hal yang baru, (2) mengikuti perkembangan teknologi, (3) cenderung tidak sabar dalam menunggu,  (4) senang mempertanyakan banyak hal, (5) memilik rasa percaya diri yang lebih tinggi, (6) gemar berperilaku pamer, (7) lebih membutuhkan rekognisi atau perhatian personal, (8) lebih menghargai pendidikan tinggi, (9) mudah resah atau khawatir, (10) tidak mau terikat pada suatu perusahaan atau organisasi, (11) mencari makna melalui menolong orang lain, (12) cenderung tidak menghargai struktur, (13) lebih terbuka terhadap perbedaan maupun kelompok minoritas, (14) lemah dalam keterampilan sosial, (15) lebih menyukai informalitas, (16) melakukan pencarian informasi sebelum membuat keputusan, (17) tidak terikat pada aturan atau norma yang berlaku, (18) mempunyai cara tersendiri dalam ekspresi, (19) lebih menghargai kejujuran daripada kepura-puraan, (20) lebih mudah bekerjasama dengan orang yang baru dikenal, (21) menghabiskan banyak waktu dengan bermain-main,  dan (22) kreatif serta suka berinovasi (bersambung) 



Dr Nopriadi Saputra, ST, MM


Master trainer,
 Supreme Learning International. Salah satu lembaga Penyelenggara Pelatihan Soft Skills terbesar di Indonesia.  Kunjungilah Supreme Learning di https://www.supremelearning.co.id/#top,  Nopriadi Saputra dapat dihubungi melalui nopriadisaputra@gmail.com


 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indah Pada Waktunya / Pengkhotbah 3:11-15 ( Pekan Penatalayanan Hari Keempat)

Catatan Tambahan PJJ 1 – 7 Oktober 2023

Catatan Tambahan PJJ 27 Agustus – 2 September 2023