STEPHEN
HAWKING yang meninggal pagi ini dan menjadi trending topic sepanjang
hari sungguh adalah celebrity sejati; dalam hal ini ia setaraf dengan
Einstein bahkan lebih. Bukunya The Brief History of Time terjual 10 juta
lebih, tak terdekati ilmuwan manapun sepanjang sejarah.
Secara
prestasi kefisikaan dalam 50 tahun terakhir, banyak yang melampaui
Hawking, terutama para pemenang Hadiah Nobel seperti Steven Weinberg dan
Samuel Perlmutter misalnya. Meski kuyup dengan penghargaan fisika lain
namun Hawking belum qualified mendapat Hadiah Nobel.
Apa yang
dikerjakan Hawking adalah elaborasi Teori Einstein, khususnya soal black
hole yang dikerjakannya bersama Roger Penrose.
Ini tidak
mengecilkan Hawking, karena jika ada 10 fisikawan terbesar sesudah
Einstein, fisikawan berkursi roda ini pastilah termasuk.
Yang membuatnya besar, dalam hal ini bahkan lebih besar dari Einstein, adalah semangat juangnya yang tiada tara.
Kata dokter paling bertahan hidup dua tahun lagi, semenjak penyakit
kelumpuhan motoriknya dikenali di usianya yang ke-22, Hawking
membuktikan bisa bertahan hingga mencapai 76 tahun; dengan pencapaian
yang mencengangkan.
Terpuruk di kursi roda, seluruh ototnya tak
bisa lagi digerakkan, kecuali yang di sekitar mata; tapi dari
kemustahilan itulah Hawking bekerja hingga membuat dunia geleng-geleng
kepala.
Meski lumpuh total, but in my mind I am free, katanya mengawali salah satu video dokumenternya.
Freedom of mind itulah yang melahirkan semangat hidupnya yang besar.
BBC berkata tadi pagi: dunia kehilangan a great mind and a wonderful
spirit; Hawking yang berpikiran besar dan bersemangat dahsyat.
Bercita rasa humor tinggi Hawking berkata: Saya tidak takut mati, tapi
saya juga tak ingin buru-buru pergi. Selalu ada harapan dan makin jauh
kita melangkah makin banyak alasan untuk hidup terus. Di usia 21 tahun
dulu, pernah ia merasa harapan buatnya sudah nihil.
Great mind
itu tidak saja, ke luar, berhasil menjelajahi kosmos matematis yang
tiada berbatas saking besarnya, yang berevolusi dari singularitas
mahakecil tiada tara sepanjang 13,8 miliar tahun; ke dalam ia berhasil
membuhul semangat akbar serta menggunakannya membekuk kemustahilan:
mengajar, membimbing mahasiswa, membangun teori, dan berkomunikasi
dengan dunia secara populer dan humoristik.
Bidang studinya,
kosmologi: evolusi dan nasib alam semesta yang memang memukau bagi
khalayak umum, kondisi fisiknya yang juga memukau saking tidak masuk
akalnya, namun tampil komunikatif secara enak dan perlu di panggung
dunia; keseluruhannya menjadi sungguh menakjubkan. Bukunya yang 10 juta
lebih menjadi buktinya, walau barangkali tak sampai 1 persen yang
membacanya sampai tuntas.
Stephen Hawking sungguh fantastis
sebagai manusia: membekuk kemustahilan dan menekuk ketidakmungkinan;
sepanjang 50 tahun lebih berkarya bagi sains dan kemanusiaan.
Takzim kami kepadamu wahai sang fisikawan!
Sthepen Hawking
Tulisan Kedua : ANWAR TJEN, Rohaniwan, PhD dari Universitas Cambridge
Sang
penjelajah jagad raya itu telah pergi di jalan bersama anak-anak
manusia. Dunia yang mengagumi pemikirannya yang hanya dipahami oleh
segelintir fisikawan teoretis, turut kehilangan salah seorang tokoh
mitologisnya.
Riwayat Hawking yang memancing
kekaguman sebenarnya juga menyimpan tragedi di mata mereka yang
mengetahui hidup pribadinya. Ilmuwan yang telah melegenda ini menyimpan
luka kehidupan keluarga yang mengenaskan. Hanya keangkuhan seorang
ternama yang tampaknya mampu menutupi semuanya sehingga tanda-tanda
penganiayaan pada tubuhnya tidak diproses tuntas sebagai kemungkinan
kasus KDRT, kekerasan dalam rumah tangga.
Hawking
niscaya ilmuwan brilian, tetapi tanpa ketangguhannya menghadapi penyakit
ALS (amyotrophic lateral sclerosis) yang melumpuhkan tubuhnya, boleh
jadi ia tidak akan menjulang di gemunung popularitas. Ia adalah sebuah
mitos yang dibutuhkan dunia masa kini yang memuja sains sebagai ilah
baru. Kepergiannya meninggalkan “ruang imajinasi mitologis” yang tak
mudah diisi oleh kolega-koleganya yang tak kalah briliannya.
MELEK BATIN
Di
luar dugaan banyak orang, ilmuwan secemerlang Hawking, ternyata adalah
pemikir yang tidak terkurung dalam menara gading penelitiannya yang
super-teoretis. Walau tidak percaya pada Tuhan, kecuali barangkali
sebagai suatu konstanta matematis dalam pencariannya akan jejak-jejak
awal semesta, Hawking tetaplah figur humanis yang melek batin untuk
melihat dampak-dampak yang ditimbulkan karya anak-anak manusia demi
impian ego-sentris akan kenyamanan dan kedigdayaan.
Ketika
perang Irak meletus (2004), misalnya, Hawking mengecam invasi yang
mengatasnamakan kepentingan “luhur” untuk memberantas senjata pemusnah
massal. Ia mengungkapkan bela sungkawa atas jatuhnya korban-korban yang
tak bersalah.
Siapa yang menyangka bahwa demi
mendukung perjuangan Palestina ia pernah menolak undangan untuk hadir
dalam satu konperensi di Universitas Ibrani, Jerusalem (2013)?
KEBEBASAN ILMIAH
Kepeduliannya
pun tak hanya berwujud kata-kata bernas di atas kertas. Hawking
mendukung kebebasan ilmiah yang tidak terpasung oleh sebentuk rasisme
dan melakukan penggalangan dana bagi pendidikan anak-anak Palestina.
Belum lama berselang, ia mengecam gerakan Brexit yang diyakininya akan
menciderai negaranya sendiri dalam kepentingan lintas-batas penelitian.
Jika
dunia kita kian memuja efisiensi dan produktivitas yang dihasilkan
teknologi, Hawking mengakui manfaatnya tanpa menutup mata pada
dampak-dampaknya yang amat destruktif. Akselerasi teknologi canggih
semisal kecerdasan artifisial, internet, dan teknologi digital
dilihatnya sebagai jalan pasti menuju tragedi kemanusiaan bila tidak
diantisipasi dengan visi dan strategi yang lebih manusiawi.
Kendati
tidak menawarkan jalan keluar – yang niscaya berada di luar
kompetensinya – Hawking menyuarakan peringatan profetis tentang deretan
malapetaka yang tengah membayangi planet kita, sebut saja: pencemaran
lingkungan, perubahan iklim, ledakan penduduk, krisis pangan, dan
pengangguran masif.
RUMAH BERSAMA
Sang
ateis bagaikan suara dari gurun yang berseru-seru mengingatkan kita
akan rumah kita bersama, kosmos yang senantiasa mencari kesetimbangan
entropik. Ia bukan pemercaya Tuhan tetapi bukan pula insan tanpa
spiritualitas.
Dalam pandangannya, kosmos tak layak
menjadi jagad raya kita bila tidak menjadi rumah bagi sesama yang kita
cintai. Spiritualitas “kosmik” yang dihayatinya setidaknya mempertemukan
dirinya dengan nasib bersama anak-anak manusia yang tak jarang terjebak
dalam perangkap ambisi dan ilusi yang ditenun dengan mengkhianati
kemanusiaan sendiri.
Visi kemanusiaan Hawking pantas
dikenang sebagai bagian dari pesan terakhirnya bagi pelakon-pelokan
kehidupan dalam meraih mimpi setinggi bintang, termasuk bagi umat
beragama yang mengklaim dirinya sebagai ahli waris nilai-nilai luhur di
balik visi etis agamanya. Bukankah para tokoh religius mengajarkan pula
betapa rakhmat ilahi menerbitkan matahari dan menurunkan hujan bagi
semua tanpa memilih-milih?
Hawking wafat pada 14 Maret lalu, tepat pada hari lahir Albert Einstein. Selamat jalan, Stephen William Hawking!
Komentar